"DESA KARANGLO KEC. KEREK", begitu tulisan berwarna emas berhuruf balok di sebuah gapura megah bercorak kuning dengan kombinasi biru, merah dan putih, yang menandai gerbang masuk area sebuah desa di Kabupaten Tuban, Jawa Timur itu.

Di sisi kanan kirinya, terdapat pepohonan besar yang daunnya tak berhenti melambai seolah berucap selamat datang kepada pengunjung yang baru memijakkan kakinya di tanah desa itu.

Masuk dari gapura, jalanan beraspal yang luasnya tidak lebih dari dua meter menunggu. Sepanjang jalan, berjajar berbagai macam jenis pohon, sawah, ladang, maupun tanah lapang yang rerumputannya dinikmati domba-domba.

Jalannya berkelok-kelok, banyak simpangan dan suasananya tenang. Tak ada suara bisingnya knalpot kendaraan dan klakson bersahutan, yang ada hanya riuhnya anak-anak berlari dengan menenteng tas berseragam sekolah sembari berkejaran saat siang menjelang.

Sekitar lima menit dari gapura (berkendara roda empat dengan kecepatan pelan), berdiri kantor kepala desa Karanglo, tepatnya berada di Jalan Pemuda 28, Tuban.

Berdasarkan data yang diperoleh dari sekretariat desa setempat, jumlah penduduk yang tinggal saat ini totalnya sebanyak 5.592 jiwa, yang rinciannya terdiri dari 2.891 orang laki-laki, dan 2.701 orang perempuan. Jumlah kepala keluarganya sendiri mencapai 1.459 kepala keluarga.

Desa Karanglo, Kecamatan Kerek, berada di Kabupaten Tuban, yang lokasi tepatnya berjarak sekitar dua kilometer dari pabrik Semen Indonesia di Tuban. Sedangkan dari area pertambangan, jaraknya tak lebih dari 200 meter.

"Jaraknya sangat dekat dengan pertambangan. Kalau ada ledakan saat menambang, suaranya terdengar, bahkan kadang bisa membangunkan bayi yang sedang tidur siang," ujar Wartono, salah seorang warga setempat ketika ditemui di Desa Karanglo.

Di sana, akhir-akhir ini menjadi buah bibir. Tidak hanya penduduk lokal, tapi masyarakat luar Tuban tengah membicarakannya, bahkan beberapa kali menjadi isu nasional di berbagai media massa.

Bagaimana tidak? Tercatat sejak Desember 2015 hingga April 2016, sebanyak 33 orang meninggal dunia secara beruntun.

Data terakhir yang diterima pada 4 Mei 2016, 32 orang di antaranya meninggal karena sakit, dan seorang lainnya akibat kecelakaan lalu lintas di jalanan tersebut.

Desa itu kini menjadi pembicaraan hangat berbagai pihak, karena peristiwa serupa belum pernah terjadi sebelum-sebelumnya.

Kembali ke belakang atau dibandingkan dengan tahun sebelumnya dengan periode bulan sama, yaitu Desember 2013-April 2014, jumlah kematian warga mencapai 14-15 orang.

"Kami terus terang kaget dengan meningkatnya jumlah kematian warga tahun ini. Tentu saja ini menjadi fenomena dan harus ada kajian medis mengenai apa faktor dibalik kematian beruntun warga," ucap Kepala Desa Karanglo, Sunandar, ketika ditemui di kantornya.

Berbagai isu simpang siur penyebabnya bermunculan, mulai dari pagebluk, yang juga merupakan istilah orang-orang Jawa tempo dulu, yaitu musim datangnya wabah penyakit mematikan yang melanda suatu desa atau wilayah.

Kemudian, isu kematian banyaknya warga akibat menghirup udara yang tercemar akibat proses pertambangan maupun di pabrik Semen Indonesia, hingga rumor-rumor yang menjadi penyebab lainnya.

"Hanya, isu karena pencemaran udara ini yang mengemuka. Kami sebagai orang awam yang tidak tahu dunia medis tidak mau gegabah menyimpulkannya, karena bukan bidangnya sehingga harus ada kajian lebih dalam," kata kepala desa yang setiap akhir pekannya mengajar di sebuah madrasah itu.

Penelitian pun dilakukan. Mulai dari tim Dinas Kesehatan Kabupaten Tuban, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, hingga Kementerian Kesehatan RI.

Selain itu, lembaga sekelas Komisi Nasional dan Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga tak luput memberi pengamatan dan perhatian di desa tersebut.

Sekretaris Perusahaan PT Semen Indonesia, Agung Wiharto, kepada media membantah tudingan tersebut dan menjelaskan bahwa selama ini PT Semen Indonesia menggunakan alat pengukur tekanan yang tidak bisa diubah oleh siapa pun.

"Alat itu dimonitor setiap detik selama 24 jam untuk memantau emisi debu yang dikeluarkan. Empat cerobong asap yang dimiliki selalu diperiksa badan independen dan terakreditasi. Jika melebihi ambang batas maka pasti ditutup pabriknya," katanya.

Menurut dia, kalau memang kematian warga itu karena debu pabrik semen maka hal itu justru dinilai aneh karena pabrik sudah lama berdiri, yaitu sejak 1994.

Hasil Kajian Medis
Berdasarkan siaran pers yang diterima Antara di Surabaya dari Kementerian Kesehatan RI, hasil verifikasi rumor yang dilakukan Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan Pengendalian Penyakit (BBTKLPP) Surabaya, Subdit Surveilans Direktorat Surveilans dan Karantina Kesehatan, dan Tim Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur menemukan bahwa kematian 32 penduduk di Desa Karanglo disebabkan penyakit jantung dan pembuluh darah (PJPD) serta penyakit degeneratif lainnya.

Kematian tersebut tidak ada hubungannya dengan faktor pencemaran lingkungan, dan sebagian besar kematian terjadi pada usia tua yaitu 61 sampai lebih dari 80 tahun.

Direkrur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan, dr. M. Subuh menjelaskan, pemantauan kualitas lingkungan dilakukan dengan mengukur kualitas lingkungan udara dan air untuk mengetahui kemungkinan dampak risiko lingkungan terhadap kesehatan.

Pemantauan dilakukan di tiga lokasi terdekat, tengah dan terjauh dari paparan penambangan bahan baku pabrik semen, yang hasilnya menunjukkan semua parameter Fisik dan Kimia serta kebisingan memenuhi baku mutu Pergub Jatim Nomor 10/2009.

"Demikian pula dengan pengamatan terhadap kualitas air, memenuhi batas syarat Permenkes RI No. 492/MENKES/PER/IV/2010," katanya.

Hasil pengukuran kualitas udara ruang untuk parameter angka kuman, lanjut dia, masih memenuhi batas syarat sesuai dengan PERMENKES RI No. 1077/Menkes/SK/XI/2002 yaitu 700 cfu.

"Sedangkan parameter jamur tidak memenuhi syarat, hal ini disebabkan kondisi rumah penduduk yang lembab, disebabkan luas jendela dan pencahayaan tidak memenuhi syarat sanitasi serta sebagian rumah berlantai tanah liat sehingga sebagian besar rumah tidak memenuhi syarat sanitasi," katanya.

Sebagai rencana tindak lanjut, Kemenkes melakukan "screening" faktor risiko Penyakit Tidak Menular (PTM) melalui Posbindu PTM dalam monitoring dan evaluasi deteksi dini penyakit degeneratif serta Surveilans ketat pemantauan 24 jam kualitas udara di lokasi kejadian dan daerah kontrol sekitarnya pada musim kemarau.

Menurut dia, dalam laporan tim yang diterima Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, verifikasi dilakukan melalui melakukan wawancara dengan petugas pelayanan kesehatan, aparat desa, serta keluarga penderita dan masyarakat di sekililingnya.

"Observasi lokasi kejadian dan lingkungan sekitar kasus, identifikasi kondisi pernafasan keluarga korban dan lingkungan sekeling, serta pengumpulan dan pengujian data faktor risiko lingkungan meliputi kualitas udara dan air," katanya.

Ia juga menegaskan Pemerintah memperhatikan kesehatan lingkungan, namun diharapkan tiap individu turut menjaga kebersihan lingkungan.

"Meski tinggal di rumah yang sederhana, namun masyarakat tetap harus selalu menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat dan memperhatikan sanitasi yang baik," imbaunya.

Hal senada disampaikan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Tuban dr Saiful Hadi, yang menegaskan bahwa kematian beruntun warga Karanglo bukan akibat pencemaran udara yang dihasilkan proses produksi di pabrik semen.

"Tim kesehatan sudah turun dan hasilnya memang bukan karena pencemaran udara. Sangat salah kalau cepat-cepat disimpulkan karena sesuatu hal yang belum dilakukan kajian mendalam dengan melakukan uji statistik," katanya ketika ditemui di Kantor Desa Karanglo.

Dokter yang pernah berprofesi sebagai wartawan itu berharap perangkat desa, mulai dari camat, kepala desa hingga forum eksekutif maupun legislatif tingkat kabupaten memberikan rekomendasi agar rutin dilakukan kajian atau pantauan periodik.

"Lakukan rutin dan bekerja sama dengan ahlinya, seperti Badan Lingkungan Hidup (BLH) yang memang ahli di bidang udara, air dan daratan," katanya.

Klarifikasi Legislatif
Dipimpin Wakil Ketua Komisi C DPRD Kabupaten Tuban, Sri Astuti, sejumlah legislator mendatangi Desa Karanglo dan meminta klarifikasi kepada aparat desa setempat terkait kematian beruntun di sana.

"Selama ini kami memantau dari media, dan sudah menjadi kewajiban untuk turun ke lokasi menindaklanjuti sekaligus mencari tahu fakta," kata Tutik, sapaan akrabnya.

Di hadapan Camat Kerek, Rohman Ubaid dan Kepala Desa Karanglo Sunandar, politisi asal Partai Gerindra tersebut mengaku lega setelah mendapatkan hasil klarifikasi dan akan menyampaikannya ke publik.

"Kami ke sini mencari tahu faktanya dan setelah didapat, ternyata kematian bukan akibat pencemaran udara. Tapi, kami tetap memantau perkembangannya lebih lanjut," kata perempuan berjilbab tersebut.

Pihaknya juga mengaku sepakat dilakukan identifikasi atau penelitian tidak hanya dari Desa Karanglo, tapi di sejumlah desa sekitarnya, terutama kawasan ring I dari Pabrik Semen Indonesia.

Selain itu, ia juga menerima hasil investigasi pelacakan kejadian kematian beruntun dari perangkat desa setempat, pada periode Desember 2015 sampai Maret 2016.

Merujuk data tersebut, jumlah penduduk yang meninggal dunia dalam waktu tiga bulan yang jumlahnya 28 orang, digolongkan berdasarkan usia yakni orang berusia 40-50 tahun sebanyak dua orang (7,1 persen), usia 51-70 tahun sebanyak 12 orang (42,9 persen), dan lebih dari 71 tahun sebanyak 14 orang (50 persen).

Kemudian, terkait penyebab kematian yang didata berdasarkan keterangan keluarga dan petugas yang menanganinya, yaitu karena usia tua sebanyak 12 orang (42,8 persen), stroke empat orang (14.2 persen), prostat dua orang (7,1 persen), dan sesak nafas dua orang (7,1 persen).

Berikutnya, berturut-turut satu orang atau masing-masing 3,5 persen kematian diakibatkan karena diabet, kecelakaan lalu lintas, sakit lambung kronis, darah tinggi, hepatitis serta kesulitan menelan. (*)

Pewarta: Fiqih Arfani

Editor : Tunggul Susilo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016