Jerman, negara yang menjadi tujuan untuk menimba ilmu demi sebuah cita-cita guna membanggakan orang tua oleh pemilik nama Anak Agung Ayu Widya Srikandi yang diterima sebagai mahasiswa S-1 di salah satu universitas di sana.
     
"Menjadi mahasiswa di luar negeri merupakan cita-cita yang harus saya capai dan selepas SMA pada tahun 2013 pun terwujud dengan diterima di sebuah universitas di Jerman," ucapnya.
     
Bertemu dan berbagi pengalaman dari beberapa mahasiswa yang berbeda negara seakan dunia memang selebar daun kelor, karena di Eropa pun bertemu kembali dengan mahasiswa dari Indonesia.
     
Itulah awal pertama, Widya mulai memahami tentang perbedaan agama hingga bertepatan dengan bulan Ramadhan pada tahun 2014, Widya pun mengucapkan syahadat untuk menjadi seorang Muslim di Jerman.
     
"Berawal dari percakapan tentang agama dan kitab sucinya, kami membicarakan beberapa konsep agama dan dari sana saya mulai penasaran dengan agama Islam," tuturnya.
     
Gadis kelahiran Bali pada 10 November 1995 itu beragama Hindu sesuai kepercayaan orang tuanya. Dewa Krisna adalah Dewa yang menjadi panutan dari keluarga Widya dengan Pura sebagai tempat kedua untuk berkomunikasi dengan Sang Dewa sebagai ritual pemujaan.
     
Sempat tergoyahkan keyakinannya tentang agama Hindu hingga ia mencoba membandingkan kandungan Injil, Wreda dan Al Quran sebagai cara penguatan keyakinan dirinya.
     
"Ternyata, ketiga kitab itu memiliki kandungan hampir sama, tapi Al Quran bukan hanya mengatur tentang ibadah dan hukum, melainkan juga mengatur tentang perilaku manusia, perekonomian, dan ilmu pengetahuan," kilahnya.
     
Sejak kalimat syahadat itu terucap, Widya benar-benar yakin tentan agama Islam dan berusaha mempelajari Al Quran secara detail walaupun dengan membaca tafsirnya karena Widya masih belum bisa membaca tulisan Arab dalam Al Quran.
     
Menjadi seorang mualaf di negeri orang memang bukan hal yang mudah menurut Widya. Cara beradaptasi dengan lingkungan dan ditambah dengan kebiasaan baru yakni cara beribadah yang baru.
     
"Pertama, saya membaca buku setiap akan shalat dan lama-lama sudah mulai hafal. Selain itu, saya selalu membaca arti dari Al Quran hingga sekarang sudah sampai Surat Ali Imron," paparnya.


Tidak Direstui
     
Dari bulan April sampai Desember 2014, Widya menjadi seorang mualaf dan belum menyampaikan hal ini kepada kedua orang tuanya di Bali.
     
Namun, status Widya yang Islami akhirnya terbaca oleh ayahnya di Bali hingga dipaksa untuk berhenti untuk kuliah di Jerman.
     
Desakan dari orang tua yang mengharuskan Widya pulang ke Bali dan mulai lagi dengan budaya agama Hindu.
     
"Saya merasa tidak nyaman ketika harus bersama keluarga di Bali dengan aktivitas pemujaan di Pura dan beberapa logika yang selalu diajarkan kepada saya setiap harinya tentang ajaran Krisna," timpalnya.
     
Rasa tidak nyaman itu membuat Widya beranjak keluar dari rumah menuju ke Kota Surabaya untuk belajar ilmu agama Islam dan mempelajari Islam secara menyeluruh.
     
Tepat di Bulan Februari 2015 saat Widya sudah berada di Surabaya, Widya menyampaikan kepada orang tuanya bahwa ia telah memeluk agama Islam sejak tahun 2014.
     
Sontak, kedua orang tua Widya merasa terkejut dan menyuruhnya untuk segera kembali ke Bali dengan nada suara memberontak dan marah kepadanya.
     
Keputusan telah menjadi sebuah keputusan. Di Surabaya, Widya bekerja sebagai pelayan di sebuah rumah makan untuk membiayai kebutuhan hidupnya dan belajar mengaji dengan salah satu ustaz di sebuah masjid di Surabaya.
     
Penolakan Widya kepada orang tuanya menjadikan ia harus menjadi seorang buronan yang harus ditemukan di Surabaya karena kedua orang tua mencari Widya bersama intelijen dan polisi di seluruh pelosok Surabaya.
     
Kedua orang tua Widya menyangka bahwa dia telah masuk ke dalam golongan ISIS atau Islam garis keras seperti teroris yang menjadikan kedua orang tuanya meminta pengawalan penuh pencarian Widya di Surabaya bersama aparatur negara.
     
Akhirnya, Widya ditemukan dengan kedua orang tuanya di Hotel Grand Pallace dengan penjagaan ketat dari polisi dan intelijen Surabaya dalam kondisi berhijab.
     
Pertemuan seorang anak dengan orang tuanya yang sangat berbeda. Bukan pelukan hangat dari orang tua kepada anaknya yang telah lama tidak berjumpa tetapi berubah dengan paksaan agar Widya melepas hijabnya.
     
Hijab yang dikenakan Widya sebagai lambang bahwa ia adalah Muslim harus rela dilepas paksa oleh orang tuanya pada siang itu juga, tanpa mau mendengarkan alasan Widya memeluk agama Islam.
     
"Begitulah wujud kekecewaan orang tua kepada putrinya, ketika tidak sesuai dengan yang diharapkan. Hijab saya yang dilepas paksa menjadi konsekuensi saya mempertahankan Islam sebagai agama keyakinan setelah Hindu," ujarnya.


Universitas Islam
     
Semenjak kejadian itu, Widya dipaksa tinggal di Bali bersama keluarganya dan harus mengikuti ritual ibadah di Pura seperti pemeluk agama Hindu setiap harinya.
     
Tangisan Widya setiap kali diajak ke pura tidak pernah menjadikan luluh kedua orang tuanya tentang keinginan Widya untuk tetap menjadi seorang Muslim.
     
"Upacara pemujaan harus saya ikuti setiap hari bersama orang tua dan harus melepas hijab selama dua bulan saat dipaksa pulang ke Bali saat itu dan akhirnya saya memutuskan untuk kabur lagi ke Surabaya dengan alasan mendaftar kuliah," ungkapnya.
     
Sembari mencoba mencari kesibukan, Widya pun mendaftar di beberapa perguruan tinggi Islam di Jawa Timur dengan prioritas tujuan di Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Ibrahim, Malang dan UIN Sunan Ampel, Surabaya dengan jurusan Ekonomi Syariah.
     
"Mendaftarkan diri di beberapa Universitas Islam di Jawa Timur ini, saya berbohong kepada orang tua. Mereka mengizinkan saya kuliah di sekitar Pulau Bali, sehingga saya mengatakan iya, padahal saya mendaftar di luar Bali," katanya.
     
Bulan Juli pengumuman penerimaan mahasiswa baru di beberapa perguruan tinggi dan nama Widya tercatat sebagai salah satu calon mahasiswa di UIN Sunan Ampel Surabaya.
     
Keinginan untuk melarikan diri dari rumah sudah menjadi tekad kala itu dan dilaksanakan oleh Widya.
     
Berbekal uang seadanya dan perlengkapan seadanya, Widya berangkat menuju Surabaya untuk melakukan regitrasi di UIN Sunan Ampel (UINSA) Surabaya.
     
Biaya awal kuliah saat itu dibayar dengan menjual handphone (HP) miliknya. Widya pun resmi menjadi mahasiswa UINSA Surabaya dengan jurusan Ekonomi Syariah.


Konsep "Saling Membantu"
     
Ekonomi Syariah menjadi jalan untuk Widya memahami tentang Islam, karena konsep Islam tentang ekonomi adalah saling gotong royong.
     
"Bagi Muslim yang kaya membantu yang miskin, bagi Muslim yang miskin menerima bantuan yang kaya dengan ikhlas," tandasnya.
     
Konsep inilah yang menjadikan Widya tertarik untuk mempelajari Islam secara menyeluruh dengan sudut pandang ekonomi.
     
"Dalam Ekonomi Syariah, Islam diimplementasikan dalam kajian rahmatan lil alamin yang bermanfaat bukan hanya untuk dirinya sendiri tetapi bermanfaat untuk orang lain, seperti konsep sedekah bahwa harta tidak akan berkurang jika digunakan membantu orang lain, namun harta akan bertambah karena Allah SWT," urainya.
     
Bertemu dengan orang-orang baru dan mendapat suasana Islami di UINSA menjadikan Widya merasa tenang dan nyaman, apalagi hijab sudah menjadi pilihan baju Widya untuk mengaplikasikan agamanya kepada banyak orang.
     
Keadaan orang tua yang masih belum bisa menerima perubahan Widya menjadikan dia lebih kreatif untuk mempertahankan hidupnya, sekaligus kuliah.
     
Biaya hidup dan biaya kuliah Widya di Surabaya harus ditanggung sendiri olehnya, karena orang tua Widya tidak mau membantu biaya hidup dan biaya kuliahnya selama Widya masih Islam.
     
Hal inilah yang menjadikan Widya mampu berinovasi untuk menerapkan sistem dalam Ekonomi Syariah, yakni berwirausaha.
     
Jika tahun pertama kuliah Widya harus menjual handphone maka tahun kedua Widya harus mampu membayar dengan uang hasil kerja kerasnya hidup di Surabaya.
     
Di sela jadwal kuliah, Widya mencoba menawarkan jasa menjadi guru privat untuk siswa SD dan berjualan online dengan sistem drop out. Widya hanya bertugas mempromosikan dan menjadi perantara antara penjual dan pembeli.
     
Dari situlah, kebutuhan hidup dan biaya kuliah Widya bisa terbayarkan sambil mendoakan kedua orang tuanya segera mendapat hidayah untuk menjadi Muslim juga.
     
"Komunikasi saya dengan orang tua sampai sekarang masih berlangsung baik, hanya saja tetap ada sekat untuk bisa membuat orang tua luluh dan mau menerima keputusan saya," ucapnya.
     
Ya, Widya sudah memilih dan merasa tertarik dengan "saling membantu" dalam Islam. Baginya, Islam itu bukan hanya ibadah dan hukum, tapi juga mengatur perilaku manusia, termasuk perekonomian dan ilmu pengetahuan. (*)

Pewarta: Hesty Putri Utami

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016