"Tidak
pro-rakyat," ujar Koordinator Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Watch Jatim, Jamaludin, menanggapi kenaikan iuran Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN) per 1 April 2016.
Karena itu, ia menolak kenaikan iuran JKN antara 19 persen hingga 34 persen yang sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 19 Tahun 2016 itu.
"Kami jelas menolak kenaikan iuran JKN itu, karena tidak pro rakyat dan pelaksanaan JKN selama ini belum berjalan baik terlihat dari aspek pelayanan di beberapa rumah sakit," timpalnya (14/3).
Ia mengaku masih menemukan pasien yang ditolak dan diminta untuk membayar sejumlah administrasi maupun biaya pengobatan lainnya.
Selain itu kepesertaan warga miskin yang belum tepat sasaran dan minimnya kepesertaan pekerja atau buruh.
"Adanya permasalahan kebocoran dalam pembayaran klaim rumah sakit maupun kapitasi yang didistribusikan, kepada puskesmas atau klinik yang tidak digunakan sepenuhnya untuk program promotif dan preventif kesehatan, menjadi beberapa penyebab juga," tukasnya.
Karena itu, kenaikan iuran JKN harus dikaji lebih lanjut agar tidak semakin membebani masyarakat.
Selain itu, ia menambahkan pihaknya juga mendesak realisasi pembiayaan kesehatan yang tidak dibebankan kepada rakyat, tetapi ditanggung negara sebagaimana amanat UU Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009, bahwa anggaran kesehatan minimal 5 persen dari APBN dan 10 persen dari APBD.
Pihaknya juga mendesak pemerintah dan BPJS Kesehatan untuk segera memperbaiki data warga miskin dan tidak mampu, karena selama ini masih ada beberapa data yang rancu sehingga terkadang data tersebut tidak bisa dipertanggungjawabkan.
"Berkenaan dengan kenaikan iuran JKN kami meminta Gubernur Jatim, Soekarwo agar menyampaikan keberatan kepada Presiden," tandasnya. (*)
Karena itu, ia menolak kenaikan iuran JKN antara 19 persen hingga 34 persen yang sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 19 Tahun 2016 itu.
"Kami jelas menolak kenaikan iuran JKN itu, karena tidak pro rakyat dan pelaksanaan JKN selama ini belum berjalan baik terlihat dari aspek pelayanan di beberapa rumah sakit," timpalnya (14/3).
Ia mengaku masih menemukan pasien yang ditolak dan diminta untuk membayar sejumlah administrasi maupun biaya pengobatan lainnya.
Selain itu kepesertaan warga miskin yang belum tepat sasaran dan minimnya kepesertaan pekerja atau buruh.
"Adanya permasalahan kebocoran dalam pembayaran klaim rumah sakit maupun kapitasi yang didistribusikan, kepada puskesmas atau klinik yang tidak digunakan sepenuhnya untuk program promotif dan preventif kesehatan, menjadi beberapa penyebab juga," tukasnya.
Karena itu, kenaikan iuran JKN harus dikaji lebih lanjut agar tidak semakin membebani masyarakat.
Selain itu, ia menambahkan pihaknya juga mendesak realisasi pembiayaan kesehatan yang tidak dibebankan kepada rakyat, tetapi ditanggung negara sebagaimana amanat UU Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009, bahwa anggaran kesehatan minimal 5 persen dari APBN dan 10 persen dari APBD.
Pihaknya juga mendesak pemerintah dan BPJS Kesehatan untuk segera memperbaiki data warga miskin dan tidak mampu, karena selama ini masih ada beberapa data yang rancu sehingga terkadang data tersebut tidak bisa dipertanggungjawabkan.
"Berkenaan dengan kenaikan iuran JKN kami meminta Gubernur Jatim, Soekarwo agar menyampaikan keberatan kepada Presiden," tandasnya. (*)
Pewarta: Laily Widya Arisandhi
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016