Surabaya (Antara Jatim) - Legislator Kota Surabaya beretnis Tionghoa Vinsensius Awey menyatakan dalam rangka memperingatan Hari Raya Imlek agar semua pihak tidak melupakan etnis Tionghoa yang sudah berperan penting dalam sejarah perlananan bangsa Indonesia.
    
"Semua orang mempunyai ruang yang sama, untuk bersama-sama, bergotong royong membangun bangsa," ujar Vinsensius Awey, anggota Komisi C DPRD Surabaya di Surabaya, Senin.
    
Menurut dia, Presiden RI ke-4 K.H. Abdurahman Wahid (Gus Dur) dinilai telah berjasa oleh etnis tionghoa, karena membawa negara mengakui budaya Tionghoa sebagai bagian budaya Indonesia.
    
Sekretaris DPC Partai Nasdem Surabaya ini mengatakan kebijakan Gus Dur mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967 tentang agama, kepercayaan dan adat istiadat cina, kemudian mengeluarkan kepres  Nomor 6 Tahun 2000 menunjukkan tidak ada lagi diskriminasi.
    
Ia mengatakan sejak kepemimpinan Gus Dur, etnis Tionghoa bebas merayakan Imlek atau pergantian tahun dengan meriah. "Momen Imlek, saat yang tepat untuk mengingat bahwa Indonesia tidak dibangun bukan dari satu suku, agama, maupun golongan saja," katanya.
    
Menurutnya, etnis Tionghoa juga mempunyai peran yang penting dalam sejarah perjalanan bangsa. Mantan aktivis Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) ini mengatakan di era perjuangan beberapa orang etnis Tionghoa justru terlibat dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia.
    
"Empat orag etnis Tionghoa terlibat dalam BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Kemudian, satu orang masuk PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia)," katanya.
    
Awey menambahkan dalam berbagai diplomasi politik perundingan antara pemerintah Indonesia dengan Belanda semasa zaman penjajahan, beberapa orang etnis terliabat di dalamnya.
    
"Dr. Tjoa Siek in yang ditunjuk pemerintah Indonesia dalam perundiangan renville. Kemudian Dr. Sim kie Ay ditunjuk sebagai anggota delegasi  RI dalam Konferensi meja Bunda di Den Haag," katanya.
    
Bahkan, di masa Demokrasi Parlementer tahun 1950–1959, sedikitnya ada delapan orang peranakan Tionghoa yang menjadi anggota legislatif. Namun, menurutnya sejak tahun 1970 ketika era Orde Baru kiprah etnis Tionghoa dalam politik Nasional hilang.
    
"Di era orde baru, etnis Tionghoa justru diwajibkan memiliki SBRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia) untuk membuktikan kewarganegaraan," katanya.
    
Awey mengakui meski kepemimpinan Gus Dur hanya beberapa tahun, namun  perannya dalam menghargai keberagaman sangat besar. Untuk itu, ia mengharapkan generasi muda meneruskan nnilai kejuangan yang telah dirintis cucu pendiri Nahdlatul ulama tersebut .
    
"Kita beruntung, Imlek di Indonesia tak lepas dari peran Gus Dur," katanya. (*)

Pewarta: Abdul Hakim

Editor : Tunggul Susilo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016