Banyuwangi (Antara Jatim) - Bupati terpilih Banyuwangi Abdullah Azwar Anas mengatakan program pengembangan kebudayaan yang digerakkan pemerintah daerah harus berujung pada upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
     
"Dengan demikian, kebudayaan tidak dimaknai sempit dengan penyelenggaraan acara kesenian semata," katanya saat dihubungi Antara dari Banyuwangi, Jawa Timur, Senin, terkait pokok-pokok pikirannya yang disampaikan pada diskusi kebudayaan dalam rangkaian Hari Pers Nasional di Mataram, Nusa Tenggara Barat.
     
Menurut dia, kebudayaan mesti didefinisikan secara luas, yakni terkait dengan sistem, gagasan, dan hasil karya masyarakat. Karena itu kebudayaan bukan hanya dimaknai sebagai seni tari atau jenis seni-seni lainnya.
     
"Akan tetapi lebih luas dari itu. Karena salah satu tugas bupati adalah menyejahterakan masyarakat, maka program pengembangan kebudayaan yang digerakkan pemerintah juga harus mampu meningkatkan kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat," ujar alumnus Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia tersebut.
     
Anas menegaskan, pembangunan dengan pendekatan budaya bukan sesempit misalnya tatkala pemerintah daerah menggelar pertunjukan seni. Pendekatan kebudayaan harus menjadi hulu sekaligus hilir bagi semua aspek pembangunan.
     
Sebagai hulu, katanya, kebudayaan menjadi sumber referensi program-program yang dicanangkan, dan sebagai hilir, kebudayaan "menganak sungai" dalam wujud beragam program yang dilaksanakan.
     
Oleh karena itu, kata Anas, di Banyuwangi kebudayaan menjadi strategi untuk melakukan tiga konsolidasi. Pertama, konsolidasi masyarakat. Dengan pendekatan kebudayaan, masyarakat merasa lebih terlibat dalam pembangunan daerah. Masyarakat ikut andil dalam mengkreasi program pengembangan daerah.
     
Kedua, konsolidasi birokrasi. Dengan program-program pengembangan kebudayaan, birokrasi tak lagi terjebak ego sektoral. Pasalnya, program pengembangan budaya pastilah berdimensi multisektor.
     
"Pengembangan kebudayaan membutuhkan pembangunan infrastruktur jalan, teknologi informasi, peningkatan SDM warga, dan sebagainya. Contoh konkrit, misalnya, bagaimana budaya agraris masyarakat bisa saling dukung dengan kemasan wisata, maka muncullah konsep agrotourism. Inilah yang mengikis ego sektoral birokrasi, karena melibatkan banyak dinas sekaligus," katanya.
     
Politisi yang terpilih kembali dalam Pilkada Banyuwangi 9 Desember 2015 dengan suara 88,96 persen itu menjelaskan konsolidasi ketiga adalah penguatan ekonomi rakyat. Dengan pendekatan budaya, Banyuwangi ingin berkreasi menjadi daerah yang maju secara ekonomi dengan akar budaya yang tetap membumi.
     
Dia mengatakan data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan pendapatan per kapita Banyuwangi melonjak 62 persen dari Rp20,8 juta (2010) menjadi Rp33,6 juta (2014). Kalkulasi pemerintah daerah, pada 2015 diprediksi bisa menembus Rp38 juta hingga Rp29 juta. Berdasarkan data BPS, pendapatan per kapita Banyuwangi sudah berhasil melampaui sejumlah kabupaten/kota di Jatim yang sebelumnya selalu di atas Banyuwangi.
     
"Setelah peningkatan secara statistik kuantitatif itu, kita harus mendorongnya ke arah kualitatif. Maka kita bicara pemerataan ekonomi. Ini menjadi pekerjaan rumah kami ke depan dengan terus mengembangkan daerah berbasis pendekatan budaya," katanya.
     
Dia mengatakan pendekatan budaya dalam pembangunan sangat relevan karena pendekatan budaya mengharuskan pemahaman terhadap masing-masing kelompok masyarakat tidak digeneralisasi, namun dibikin unik berdasarkan karakter dan potensinya.
     
"Misalnya, di kawasan utara, didekati dengan kebijakan A. Adapun di kawasan selatan, dengan karakter dan potensi yang berbeda, didekati dengan kebijakan B. Ini yang sedang terus kami lakukan, tentu dengan masih banyak kekurangan di sana-sini," katanya. (*)

Pewarta: Masuki M. Astro

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016