Rombongan wisatawan dari Surabaya sedikit cemas menunggu kedatangan pemandu wisata dari Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disparta) Kabupaten Banyuwangi yang tak kunjung tiba, yakni  Achmad Rofiq.

Masalahnya, ia minta  semua peserta harus sudah siap "check out" dari hotel pukul  07.00 WIB, karena akan diajak mengunjungi lokasi wisata alam yang membutuhkan waktu agak lama. Namun, yang ditunggu tidak kunjung datang.

"Wah....maaf, kami datang terlambat, karena sepanjang jalan menuju hotel, jalan kami terhambat arak-arakan 'endog-endogan',"  ujar Rofiq, pemandu wisata yang sejak empat tahun terakkhir ini mendapat tugas mengawal tamu asing dan tamu kehormatan yang ingin melihat objek-objek wisata di tanah paling ujung  timur Pulau Jawa ini.  (Endog merupakan istilah Jawa yang bila di-Indonesia-kan berarti telur).

Beberapa peserta sempat bertanya apa "endog-endogan" itu.Tak seberapa lama, saat bus yang membawa rombongan melintas di jalan berpapasan dengan beberapa arak-arakan sejumlah siswa sekolah yang membawa lampion berwarna-warni dan terlihat mengkilap, sedangkan ujung-ujung lampion itu tersusun rapi rangkaian bunga mawar yang terbuat dari kertas.

Kertas lampion-lampion itu berfungsi membungkus telur rebus sehingga terlihat menggantung dan bergoyang-goyang saat rangkaian lampion itu dibawa bergerak untuk diarak di sepanjang jalan di kawasan kota di kabupaten yang berjuluk "The Sunrise of Java" itu.

"Arak-arakan endog-endogan itu adalah tradisi masyarakat  Banyuwangi dalam menyambut  kelahiran Nabi Muhammad SAW yang jatuh pada tanggal 12 Rabiul Awal. Selama bulan kelahiran nabi,  masyarakat setempat selalu merayakan 'Tradisi Muludan Endog-endogan', sekalipun tidak secara bersamaan," ujar Rofiq yang berupaya menguraikan sejarah dan adat istiadat yang masih dilestarikan masyarakat setempat.

Memeriahkan upacara menyambut kelahiran Nabi Muhammad SAW tidak hanya dilakukan oleh para siswa dari beberapa sekolahan, tetapi juga para karyawan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi juga  ikut turun ke jalan menyambut  gembira tradisi tersebut seraya mengenakan pakaian putih bersih dan tak lupa hiasan pohon "berbuah" telur yang dihias dengan kertas warna-warni.

"Tradisi endog-endogan yang tersebar di wilayah Banyuwangi, terutama di wilayah-wilayah yang ditempati suku asli Banyuwangi (Suku Osing), itu biasanya digelar  mulai dari mushalla dan masjid tingkat desa, hingga organisasi Islam," ujarnya.

Hiasan kertas berbentuk mawar yang membungkus telur rebus dan diletakkan pada tusukan bambu kecil yang selanjutnya ditancapkan pada sebuah batang pisang  atau disebut "jodang" hingga membentuk sebuah pohon itu merupakan hiasan wajib yang harus ada pada arak-arakan itu.

Menurut Rofiq, digunakannya telur rebus dalam upacara tradisi itu,  karena filosofi telur memiliki makna dalam. "Telur memiliki tiga lapisan, yakni kulit (cangkang), putih, dan kuning. Ketiganya dinilai sebagai simbol dari nilai-nilai Islam. Kulit bermakna Iman, putih telur adalah Islam, dan kuning telur diartikan Ihsan," jelas Rofiq mengutip makna simbolik yang dituturkan para sesepuh dan alim ulama di daerah tersebut.

Ia mengatakan bahwa masyarakat setempat masih memegang erat warisan leluhurnya melalui wejangan atau nasihat yang disampaikan oleh para kiai dan tokoh masyarakat melalui simbol-simbol yang mudah dipahami oleh mereka.

Seperti, "pohon" yang berisi telur  berhias bunga mawar  berwarna warni merupakan bentuk nasihat bagi umat Islam agar dapat mencapai kehidupan  yang penuh keselamatan dan kesejahteraan karena mampu menjalani tiga tahapan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu memegang teguh iman kepada Allah (Iman) dengan tetap menjalani perintah-Nya sesuai tuntunan Agama (Islam), sehingga menjadi orang yang baik (Ihsan).

Sementara itu, Anisah Mufid, salah seorang warga setempat yang ikut mengantar putrinya merayakan peringatan tersebut, mengatakan kembang endog yang telah diarak keliling kampung dengan menggunakan becak serta diiringi dengan alat musik tradisional, seperti alat musik patrol, terbang, ataupun rebana, itu akan berhenti di masjid atau mushalla.

"Setelah diarak keliling kampung, jodang yang dihias tegak dan diibaratkan pohon kurma itu biasanya diletakkan di serambi masjid atau mushala dan akan dibagikan kepada masyarakat setelah acara pengajian dan usai makan bersama," paparnya.

Tradisi endog-endogan ini mirip dengan yang dilakukan di beberapa kota lain di Indonesia dalam memperingati kelahiran Nabi Muhammad, seperti di Yogyakarta yang dikenal dengan upacara Sekaten yang ditandai dengan Gunungan yang berisi makanan. Gunungan itu diarak dari Keraton Yogyakarta menuju Masjid Gedhe. Setelah upacara ritual  Gunungan itu dibawa keluar untuk diperebutkan oleh masyarakat yang mempercayai akan mendapat berkah dari Gunungan itu.

Seperti juga Gunungan onde-onde saat tradisi Kenduri Maulid Nabi Muhammad SAW di Kota Mojokerto, Jawa Timur . Gunungan onde-onde setinggi tiga meter itu sebagai simbol jajanan khas Kota Mojokerto dan dijadikan sebagai agenda pariwisata tahunan setiap Maulid Nabi.

"Kami sangat mengapresiasi acara-acara tradisi yang dilestarikan oleh masyarakat itu, karena hal itu bisa menjadi 'umpan' bagi wisatawan mengunjungi kota kami," ucap Bupati Banyuwangi H Abdullah Azwar Anas. (*).

Pewarta: FAROCHA

Editor : Chandra Hamdani Noer


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016