Surabaya (Antara) - Wakil Rais Aam Syuriah PBNU KH Miftachul Akhyar meminta pemerintah untuk lebih tegas lagi pada kelompok-kelompok sempalan agar kasus bom Thamrin dan kasus bernuansa SARA tidak terus terjadi.

"Kasus pemboman di Jalan Thamrin Jakarta dan kasus Gafatar merupakan kasus yang bersumber dari pemahaman yang salah terhadap agama," katanya kepada Antara di Surabaya, Kamis.

Ditanya tentang solusi penanganan kasus bernuansa SARA dan radikalisme di Tanah Air, pengasuh Pesantren Miftachussunnah, Kedungtarukan, Surabaya itu menilai kasus bom Thamrin dan kasus Gafatar harus menjadi pelajaran bersama.

"Bom Thamrin dan Gafatar hanyalah dua kasus yang muncul belakangan ini, tapi di luar itu masih banyak kasus lain, seperti kelompok Zaytun, ISIS, NII, dan kelompok lain yang ingin mendirikan khilafah di Negara Pancasila. Mereka sama dalam pemikiran, meski beda dalam gerakan," ujarnya.

Ia mengatakan mereka merupakan kelompok kecil yang terus bergerak lincah dengan seribu satu macam cara. "Di sisi lain, masyarakat masih suka kagetan, mudah menyukai hal-hal yang dianggap baru dan aneh. Masyarakat masih mudah dibohongi dengan hal-hal baru yang terlihat menarik," katanya.

Kondisi itu membuat setiap kali muncul kelompok sempalan di Indonesia akan selalu mendapatkan pengikut. "Ada orang mengaku nabi, ada pengikutnya. Ada tokoh ingin mendirikan Negara Islam, ada pengikutnya. Ingin mendirikan khilafah, ada pengikutnya. Ada kelompok yang suka mengolok-olok sahabat nabi, juga ada pengikut. Itu karena di sini memang tidak ada radarnya," katanya.

Menurut sebuah penelitian, kata Kiai Miftah, sampai saat ini sudah ada 400 orang yang mengaku nabi di Indonesia. "Sudah ada 144 aliran di Jawa Barat yang dinilai sempalan oleh MUI. Belum lagi sempalan-sempalan yang lain. Kalau ini terus dibiarkan, mau jadi apa Indonesia ke depan?," katanya.

Menurut dia, semua pihak hendaknya menjadikan masalah ini sebagai pelajaran. Para ulama tidak boleh lagi hanya memikirkan rebutan umat, karena umat membutuhkan perlindungan akidah. Umat tidak boleh dibiarkan berjalan sendiri tanpa bimbingan.

"Begitu pula pemerintah, tidak boleh membiarkan ulama berjalan sendirian. Kalau aliran-aliran sempalan yang beraneka macam itu dibiarkan, maka ulama akan kewalahan membendung. Kalau perlu, pemerintah lebih tegas lagi menindak mereka, bahkan rancang juga peraturan lebih tegas, seperti Revisi UU Terorisme," katanya.

Ia menyatakan pemerintah tidak perlu takut dengan tuduhan melanggar HAM, sebab HAM itu juga ada batasan tidak boleh melanggar HAM orang lain. "Jangan lupa, tegas, itu artinya juga melindungi, bahkan melindungi masyarakat yang lebih besar," katanya.

Dalam pandangannya, bila semua aliran dibiarkan masuk dengan alasan toleransi, hak asasi manusia, atau supaya dibilang Indonesia negara yang bebas berekspresi, maka justru akan menjadi "bom waktu" di tengah masyarakat dan Indonesia akan terpecah belah.

"Efek negatifnya akan jauh lebih besar. Bahkan dapat membahayakan keutuhan negara di masa mendatang. Jadi, pemerintah dan ulama harus bekerja sama, karena dapat saling mendukung," kata mantan Rais Syuriah PWNU Jawa Timur itu.

Ia berharap nasib ulama tidak hanya seperti tandem roller (mesin perata tanah, mobil selender) yang ditinggalkan setelah jalan rata, apalagi seperti robot yang dijalankan hanya ketika dibutuhkan, setelah itu ditinggalkan.

"Ulama dan pemerintah harus bergandengan, namun tetap dengan porsi masing-masing," katanya. (*)

Pewarta: Edy M Yakub

Editor : Endang Sukarelawati


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016