Kalau "Pilkada Serentak 2015" itu diibaratkan sebuah film, maka "Petahana" (pejabat kini atau incumbent) bisa dibilang sebagai tokoh utama yang berperan dalam lakon tersebut.
Betapa tidak, Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Network dalam survei dan hitung cepat (quick count) Pilkada Serentak 2015 mencatat 70 persen pemenang adalah petahana.
Itu diperkuat dengan fakta di Jatim yang menunjukkan 15 dari 19 daerah di Jatim yang menggelar Pilkada Serentak 2015 itu "dikuasai" petahana.
Sebagai pengalaman pertama, "Pilkada Serentak 2015" dinilai banyak pihak cukup sukses, karena pilkada serentak yang kepanitiaannya sepenuhnya dipegang KPU itu "sukses" meminimalkan gesekan antarpendukung.
"Pilkada sekarang adem ayem ya," kata seorang jurnalis menanggapi fenomena pilkada serentak yang di Jatim digelar untuk 19 dari 38 kabupaten/kota yang ada.
Bahkan, prediksi Polda Jatim untuk lima daerah "rawan" pun teranulir yakni Kabupaten Mojokerto (ada calon yang dicoret KPU), Kota Blitar (calon tunggal), dan Situbondo, Sumenep, dan Banyuwangi/Jember (gesekan tajam).
Ya, Pilkada Serentak 2015 cukup sukses dengan dominasi Sang Petahana. Buktinya, 19 pilkada di Jatim itu hanya 3-4 petahana yang kalah. Jangan salah, fenomena itu juga bukan hanya di Jatim, tapi fenomena nasional.
Lihat saja, hanya 3-4 petahana di Jateng yang keok, bahkan semua petahana di Jabar dan Banten pun unggul, termasuk dari keluarga mantan Gubernur Banten Atut.
Di Jatim, petahana yang tersungkur adalah Kota Pasuruan, Trenggalek, dan Ponorogo. Mantan Wali Kota Pasuruan Hasani hanya mengantongi 42,74 persen dalam hitung cepat, sedangkan rivalnya yang mantan wakilnya menghimpun 55,79 persen.
Nasib serupa dialami mantan Bupati Ponorogo Amin yang harus puas hanya dengan 23,35 persen suara, sedangkan lawannya (pasangan Sugiri Sancoko-Sukirno) meraup 35,46 persen.
Di Trenggalek, hitung cepat faktual atau real count juga membuktikan mantan Bupati Trenggalek Kholiq kalah telak (hanya 24 persen) dari pasangan Emil Elestianto-Mochamad Nur Arifin yang meraih 76 persen suara.
Di Jateng, petahana yang sial pun hanya terjadi di Kabupaten Sragen, Grobogan, dan Kendal, bahkan petahana di Jabar dan Banten justru "menyapu bersih" kemenangan.
Yang menarik, ada petahana yang menunjukkan kehebatannya dengan kemenangan bukan sekadar formalitas, namun angka kemenangan yang didulang justru di atas 80 persen.
Sebut saja petahana Tri Rismaharini di Surabaya yang mencatat kemenangan hingga 86,34 persen. Atau, petahana di Banyuwangi, Abdullah Azwar Anas, yang meraup 88,96 persen dukungan.
Ada pula di Ngawi yakni pasangan Budi Sulistyono-Ony Anwar yang unggul hingga 87,65 perseb, lalu di Kota Blitar, pasangan Moh Samanhudi Anwar-Santoso mencatat 84,90 persen suara.
Bisa jadi, dominasi petahana di panggung politik "pilkada" itu lebih diuntungkan "kampanye" selama lima tahun masa kepemimpinnya. Ibaratnya, mereka sudah punya modal politik dengan "start" lebih awal.
Faktor lain, regulasi (dalam pencalonan peserta pilkada) yang cukup ketat sehingga "mempersulit" calon baru, bahkan calon perseorangan lebih "dibatasi" lagi.
Faktor lain lagi, rendahnya partisipasi pemilih akibat sosialisasi pilkada yang mepet juga turut memberi keuntungan bagi calon petahana yang lebih dikenal sebelumnya.
Namun, sejumlah pengamat mengakui Sang Petahana yang "asal menang" lebih disokong faktor investasi politik yakni jaringan birokrasi dan kekuatan masyarakat sipil serta bansos dan hibah yang berada di bawah kendalinya.
Itu berbeda dengan Sang Petahana yang "luar biasa" kemenangannya, tentu tidak dipilih hanya karena faktor 2-B (birokrasi dan bansos), melainkan lebih dikarenakan prestasi atau kualitas personal dari Sang Petahana itu sendiri.
Untuk sekadar menyebut contoh adalah Risma, Anas, Budi Sulistyono, dan Samanhudi. Tentu, kepemimpinan "periode kedua" mereka perlu prestasi "lebih fokus" lagi.
Prestasi "lebih fokus" yang dimaksud itu bukan lagi sekadar menata "wajah" daerah (infrastruktur, TIK, dan wisata), tapi menata "kemajuan" lebih menukik ke kampung per kampung, kelurahan per kelurahan, atau desa per desa. Dengan begitu, Sang Petahana bukan PHP (Pemberi Harapan Palsu)...! (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015
Betapa tidak, Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Network dalam survei dan hitung cepat (quick count) Pilkada Serentak 2015 mencatat 70 persen pemenang adalah petahana.
Itu diperkuat dengan fakta di Jatim yang menunjukkan 15 dari 19 daerah di Jatim yang menggelar Pilkada Serentak 2015 itu "dikuasai" petahana.
Sebagai pengalaman pertama, "Pilkada Serentak 2015" dinilai banyak pihak cukup sukses, karena pilkada serentak yang kepanitiaannya sepenuhnya dipegang KPU itu "sukses" meminimalkan gesekan antarpendukung.
"Pilkada sekarang adem ayem ya," kata seorang jurnalis menanggapi fenomena pilkada serentak yang di Jatim digelar untuk 19 dari 38 kabupaten/kota yang ada.
Bahkan, prediksi Polda Jatim untuk lima daerah "rawan" pun teranulir yakni Kabupaten Mojokerto (ada calon yang dicoret KPU), Kota Blitar (calon tunggal), dan Situbondo, Sumenep, dan Banyuwangi/Jember (gesekan tajam).
Ya, Pilkada Serentak 2015 cukup sukses dengan dominasi Sang Petahana. Buktinya, 19 pilkada di Jatim itu hanya 3-4 petahana yang kalah. Jangan salah, fenomena itu juga bukan hanya di Jatim, tapi fenomena nasional.
Lihat saja, hanya 3-4 petahana di Jateng yang keok, bahkan semua petahana di Jabar dan Banten pun unggul, termasuk dari keluarga mantan Gubernur Banten Atut.
Di Jatim, petahana yang tersungkur adalah Kota Pasuruan, Trenggalek, dan Ponorogo. Mantan Wali Kota Pasuruan Hasani hanya mengantongi 42,74 persen dalam hitung cepat, sedangkan rivalnya yang mantan wakilnya menghimpun 55,79 persen.
Nasib serupa dialami mantan Bupati Ponorogo Amin yang harus puas hanya dengan 23,35 persen suara, sedangkan lawannya (pasangan Sugiri Sancoko-Sukirno) meraup 35,46 persen.
Di Trenggalek, hitung cepat faktual atau real count juga membuktikan mantan Bupati Trenggalek Kholiq kalah telak (hanya 24 persen) dari pasangan Emil Elestianto-Mochamad Nur Arifin yang meraih 76 persen suara.
Di Jateng, petahana yang sial pun hanya terjadi di Kabupaten Sragen, Grobogan, dan Kendal, bahkan petahana di Jabar dan Banten justru "menyapu bersih" kemenangan.
Yang menarik, ada petahana yang menunjukkan kehebatannya dengan kemenangan bukan sekadar formalitas, namun angka kemenangan yang didulang justru di atas 80 persen.
Sebut saja petahana Tri Rismaharini di Surabaya yang mencatat kemenangan hingga 86,34 persen. Atau, petahana di Banyuwangi, Abdullah Azwar Anas, yang meraup 88,96 persen dukungan.
Ada pula di Ngawi yakni pasangan Budi Sulistyono-Ony Anwar yang unggul hingga 87,65 perseb, lalu di Kota Blitar, pasangan Moh Samanhudi Anwar-Santoso mencatat 84,90 persen suara.
Bisa jadi, dominasi petahana di panggung politik "pilkada" itu lebih diuntungkan "kampanye" selama lima tahun masa kepemimpinnya. Ibaratnya, mereka sudah punya modal politik dengan "start" lebih awal.
Faktor lain, regulasi (dalam pencalonan peserta pilkada) yang cukup ketat sehingga "mempersulit" calon baru, bahkan calon perseorangan lebih "dibatasi" lagi.
Faktor lain lagi, rendahnya partisipasi pemilih akibat sosialisasi pilkada yang mepet juga turut memberi keuntungan bagi calon petahana yang lebih dikenal sebelumnya.
Namun, sejumlah pengamat mengakui Sang Petahana yang "asal menang" lebih disokong faktor investasi politik yakni jaringan birokrasi dan kekuatan masyarakat sipil serta bansos dan hibah yang berada di bawah kendalinya.
Itu berbeda dengan Sang Petahana yang "luar biasa" kemenangannya, tentu tidak dipilih hanya karena faktor 2-B (birokrasi dan bansos), melainkan lebih dikarenakan prestasi atau kualitas personal dari Sang Petahana itu sendiri.
Untuk sekadar menyebut contoh adalah Risma, Anas, Budi Sulistyono, dan Samanhudi. Tentu, kepemimpinan "periode kedua" mereka perlu prestasi "lebih fokus" lagi.
Prestasi "lebih fokus" yang dimaksud itu bukan lagi sekadar menata "wajah" daerah (infrastruktur, TIK, dan wisata), tapi menata "kemajuan" lebih menukik ke kampung per kampung, kelurahan per kelurahan, atau desa per desa. Dengan begitu, Sang Petahana bukan PHP (Pemberi Harapan Palsu)...! (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015