Pemerintah perlu segera membentuk peradilan khusus yang menangani perkara perselisihan sengketa hasil pemilihan kepala daerah.

Meski undang-undang memberi batas waktu pembentukan badan peradilan khusus ini selambat-lambatnya sebelum pelaksanaan pemilihan serentak nasional pada tahun 2027, alangkah baiknya pada tahun depan lembaga ini sudah ada.

Dengan demikian, pada pemilihan kepala daerah serentak tahap dua, 2017, Mahkamah Konstitusi (MK) tidak lagi menangani perkara perselisihan sengketa hasil pilkada.

Namun, sepanjang belum ada badan peradilan khusus, MK masih menangani perkara perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilihan, termasuk bila ada perkara perselisihan hasil pilkada serentak, 9 Desember lalu.

Hal itu sesuai dengan Putusan MK Nomor 97/PUU-XI/2013 yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Senin, 19 Mei 2014. Putusan MK itu menyebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi mengadili perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah selama belum ada undang-undang yang mengatur mengenai hal tersebut.

Kemudian, lahirlah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota menjadi Undang-Undang atau lebih populer dengan frasa UU Pilkada.

Dalam Pasal 157 Ayat (2) UU No. 8/2015, disebutkan bahwa badan peradilan khusus dibentuk sebelum pelaksanaan pemilihan serentak nasional pada tahun 2027 {vide Pasal 201 Ayat (7) UU No. 8/2015}.

Sekarang, peserta pilkada di 264 daerah, baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, masih bisa mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota ke Mahkamah Konstitusi.

Undang-undang memberi batas waktu kepada peserta pemilih untuk mengajukan permohonan itu ke MK paling lama 3 x 24 jam sejak pengumuman penetapan perolehan suara hasil pemilihan oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota.

Misalnya, pengumuman hasil rekapitulasi Pemilihan Wali Kota dan Wali Kota Semarang. Berdasarkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kota Semarang Nomor: 1/Kpts/KPU-Kota-012.329521/2015 pada tanggal 17--23 Desember 2015.

Dalam Keputusan KPU Kota Semarang tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tahun 2015, disebutkan bahwa waktu pengajuan pemohonan sengketa perselisihan hasil pemilihan (PHP) pada tanggal 18--21 Desember 2015.

    
Persyaratan

Pengajuan permohonan tersebut dilengkapi alat bukti dan Keputusan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota tentang hasil rekapitulasi penghitungan suara.

Apabila pengajuan permohonan itu kurang lengkap, pemohon dapat memperbaiki dan melengkapi permohonan paling lama 3 x 24 jam sejak diterimanya permohonan oleh Mahkamah Konstitusi.

Undang-undang juga memberi batas waktu kepada pihak MK untuk memutuskan perkara perselisihan sengketa hasil pilkada paling lama 45 hari sejak diterimanya permohonan. Putusan MK ini bersifat final dan mengikat.

Ditegaskan pula oleh UU Pilkada, KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota wajib menindaklanjuti putusan MK tersebut.

Dalam UU Pilkada juga disebutkan sejumlah ketentuan peserta pemilihan gubernur dan wakil gubernur dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara, antara lain provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan 2.000.000 jiwa, terdapat perbedaan paling banyak sebesar 2 persen dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi.

Dalam Pasal 158 UU No. 8/2015, disebutkan pula bahwa provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 2.000.000 sampai dengan 6.000.000 jiwa terdapa perbedaan paling banyak sebesar 1,5 persen; lebih dari 6.000.000 sampai dengan 12.000.000 (1 persen); lebih dari 12.000.000 jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 0,5 persen dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi.

Untuk peserta pilkada tingkat kabupaten/kota, persentase {vide Pasal 158 Ayat (2)} yang dipersyaratkan, yakni kabupaten/kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 250.000 jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan maksimal sebesar 2 persen dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Kabupaten/Kota.

Berikutnya adalah jumlah penduduknya sampai dengan 250.000 sampai dengan 500.000 jiwa, persentasenya sebesar 1,5 persen; 500.000 sampai dengan 1.000.000 jiwa (1 persen); dan lebih dari 1.000.000 jiwa maksimal sebesar 0,5 persen dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Kabupaten/Kota.

Aturan main dalam pengajuan PHP itu termuat dalam UU No. 8/2015. Namun, UU Pilkada yang berlaku sekarang ini belum ada pasal yang terkait dengan persyaratan menjadi anggota badan peradilan khusus.

Oleh karena itu, apabila pemerintah bersama DPR RI jadi merevisi UU No. 8/2015 pada tahun depan, seyogianya ada pasal yang mengatur pembentukan badan peradilan khusus dan perekrutan anggota institusi tersebut. Kalau perlu, mekanisme rekrutmen dan seleksi anggota badan tersebut seperti perekrutan hakim konstitusi. (*)

----------------
*) Penulis adalah Koordinator Divisi Analisis Lembaga Pemantau Pemilu (LPP) PWI Provinsi Jawa Tengah.

Pewarta: D.D. Kliwantoro *)

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015