Usai sudah pemilihan kepala daerah secara serentak (pilkada serentak) di seluruh Indonesia pada 9 Desember 2015. Untuk Jawa Timur, ada 19 kabupaten/kota yang menggelar pilkada serentak itu.
Salah satu daerah yang paling disorot dalam penyelenggaraan pilkada kali ini adalah pilkada dengan satu pasangan calon yang maju dalam pilkada. Akhirnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan boleh dengan cara referendum untuk calon tunggal itu.
Untuk pilkada serentak yang pertama kalinya itu, MK memutuskan tiga daerah yang melaksanakan referendum calon tunggal itu yakni Kabupaten Blitar (Jawa Timur), Kabupaten Tasikmalaya (Jawa Barat), dan Kabupaten Timor Tengah Utara (NTT).
Keputusan MK itu memberi angin segar bahwa hak konstitusional warga negara (sebagai calon) terpenuhi. Lawan tanding pasangan calon tunggal itu adalah kertas kosong atau yang dalam penyelenggaraan pemilihan kepala desa (pilkades) sering disebut dengan "bumbung kosong".
Namun, bumbung kosong di sini adalah warga Kabupaten Blitar memberikan hak suaranya untuk memilih "setuju" atau "tidak setuju" pada pasangan calon Bupati Rijanto dan calon Wakil Bupati Marhaenis Urip Widodo.
Sejatinya, pesta demokrasi dengan bumbung kosong itu tak menyurutkan pasangan itu untuk meraih simpati masyarakat. Sisa waktu sekitar dua bulan dimanfaatkan pasangan itu untuk sosialisasi. Sebelumnya, mesin partai total terhenti, karena tidak ada calon lain yang daftar. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 secara eksplisit mengatur bahwa pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah diikuti sekurang-kurangnya diikuti dua pasangan calon.
Akhirnya, Badan Saksi Pemilu Nasional (BSPN) DPC PDIP Kabupaten Blitar dalam hitung cepat mencatat 78 persen warga memilih setuju, sementara yang tidak setuju 14 persen, dan yang tidak sah adalah 8 persen. Tingkat partisipasi warga dari hasil hitung cepat itu juga diketahui cukup tinggi, sekitar 70 persen, dengan jumlah DPT yang terdata di KPU 964.928 orang.
"Angka itu cukup bagus, mengingat hanya sekitar 1,5 bulan waktu yang digunakan persiapan pilkada, namun kita menunggu hasil resmi oleh KPU pada 16 Desember 2015," ucap Koordinator BSPN DPC PDIP Kabupaten Blitar, Muhammad Taufik.
Namun, fakta berbeda terjadi pada sejumlah TPS yang menunjukkan warga yang datang memberikan hak pilihnya justru banyak yang absen.
Misalnya di TPS 3, Desa Sumberdiren, Kecamatan Garum, Kabupaten Blitar, diketahui jumlah daftar pemilih adalah 337 orang. Dari jumlah itu, yang menggunakan hak pilihnya 194 pemilih. Jumlah suara sah diketahui sampai 184, sementara suara tidak sah ada 10.
Hal senada juga terlihat di TPS 1, Desa Pojok, Kecamatan Garum, Kabupaten Blitar. Dari 307 pemilih yang terdata, hanya 193 pemilih yang menggunakan hak suaranya. Suara setuju diketahui ada 137, tidak setuju ada 52, dan tidak sah ada empat.
Panitia Pemungutan Suara (PPS) menyatakan sudah memberikan informasi terkait dengan pelaksanaan pencoblosan, namun sikap pemilih ini adalah hak pribadi. Siapapun berhak untuk menggunakan hak konstitusinya.
Namun, yang perlu dicermati, apakah mereka merasa tidak yakin dengan pilkada dengan calon tunggal ini, sebab mereka tidak mempunyai alternatif calon kepala daerah lain. Pilihannya, jika mereka tidak suka, mereka akan mencoblos tidak setuju, begitu sebaliknya yang suka akan mencoblos setuju.
Walaupun apatis, masih ada warga yang berharapan baik dengan pilkada ini. Sri Utami, misalnya. Warga Kecamatan Garum ini mengaku menggunakan hak pilihnya dan berharap kabupaten ini bisa lebih maju, kendati hanya ada satu pasangan sebagai calonnya.
"Saya berharap Kabupaten Blitar lebih baik lagi, warga miskin lebih diperhatikan, masyarakat banyak diberi kemudahan, misalnya untuk anak sekolah diberi bantuan untuk sekolah misalnya sepatu, seperti di kota," harap Sri Utami.
Pilkada dengan calon tunggal tidak berarti buruk. Toh, sebelumnya sudah ada tahapan yang dilalui misalnya dengan pendaftaran pasangan calon. Hanya saja, sampai dua kali dibuka pendaftaran, tetap tidak ada yang pasangan yang mendaftar.
Optimisme juga datang dari pakar hukum Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Yohanes Sogar Simamora saat berbicara dalam seminar memperingati Hari Antikorupsi se-Dunia di Kediri.
"Pilkada dengan calon tunggal ini cukup bagus dari sisi biaya sekaligus rapi, namun lemah dari sisi publikasi. Itulah yang memicu kurang maksimalnya partisipasi warga," tukasnya.
Ia justru melihat untuk pilkada calon tunggal adalah angin segar bagi demokrasi di Indonesia. Partai tidak perlu memaksakan untuk mengajukan calon sebagai peserta pilkada. Selain itu, adanya calon tunggal juga tidak bertentangan dengan demokrasi.
"Jika memang masyarakat atau partai tidak melihat ada pasangan yang bisa diajukan, dengan calon tunggal tetap sah," ujarnya.
Jika ada kecurangan, bagaimana mungkin bisa menggugat hasil pilkada calon tunggal potensi itu? Peneliti dari Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Ari M Haikal menyebut warga yang menemukan kecurangan bisa mengajukan gugataan sengketa pilkada ke MK.
"Siapa yang berwenang mengajukan sengketa politik? Ada beberapa prosedur yang bisa dipakai yakni prosedur hak gugat warga negara atau 'Citizen Law Suit', atau bisa juga class action atau hak gugat peradilan kelompok," ujar Ari M Haikal seperti dilansir medanbisnis.com.
Namun, pelaksanaan pilkada tunggal itu juga bukan tanpa masalah teknis, di antaranya banyaknya surat suara yang tertukar dan kurang. Hal itu terjadi di sejumlah TPS di Kecamatan Gandusari dan Kesamben. Di TPS Kecamatan Gandusari, TPS 4 kurang 138 surat suara, TPS 22 kurang 100 surat suara, dan TPS 10 kurang 15 surat suara.
"Temuan kekurangan itu menunjukkan KPU kurang cermat dalam melaksanakan pilkada. Temuan ini akan menjadi bahan evalusi yang selanjutnya akan kami laporkan ke Bawaslu Jatim," ungkap Ketua Panwaslu Kabupaten Blitar Hadi Santoso.
Apapun, pilkada serentak sudah berlangsung dengan hak warga tidak "dihilangkan", meski dengan pasangan calon tunggal. Tentu, kekurangan masih ada, apalagi pilkada serentak kali ini merupakan pengalaman pertama. (*).
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015
Salah satu daerah yang paling disorot dalam penyelenggaraan pilkada kali ini adalah pilkada dengan satu pasangan calon yang maju dalam pilkada. Akhirnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan boleh dengan cara referendum untuk calon tunggal itu.
Untuk pilkada serentak yang pertama kalinya itu, MK memutuskan tiga daerah yang melaksanakan referendum calon tunggal itu yakni Kabupaten Blitar (Jawa Timur), Kabupaten Tasikmalaya (Jawa Barat), dan Kabupaten Timor Tengah Utara (NTT).
Keputusan MK itu memberi angin segar bahwa hak konstitusional warga negara (sebagai calon) terpenuhi. Lawan tanding pasangan calon tunggal itu adalah kertas kosong atau yang dalam penyelenggaraan pemilihan kepala desa (pilkades) sering disebut dengan "bumbung kosong".
Namun, bumbung kosong di sini adalah warga Kabupaten Blitar memberikan hak suaranya untuk memilih "setuju" atau "tidak setuju" pada pasangan calon Bupati Rijanto dan calon Wakil Bupati Marhaenis Urip Widodo.
Sejatinya, pesta demokrasi dengan bumbung kosong itu tak menyurutkan pasangan itu untuk meraih simpati masyarakat. Sisa waktu sekitar dua bulan dimanfaatkan pasangan itu untuk sosialisasi. Sebelumnya, mesin partai total terhenti, karena tidak ada calon lain yang daftar. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 secara eksplisit mengatur bahwa pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah diikuti sekurang-kurangnya diikuti dua pasangan calon.
Akhirnya, Badan Saksi Pemilu Nasional (BSPN) DPC PDIP Kabupaten Blitar dalam hitung cepat mencatat 78 persen warga memilih setuju, sementara yang tidak setuju 14 persen, dan yang tidak sah adalah 8 persen. Tingkat partisipasi warga dari hasil hitung cepat itu juga diketahui cukup tinggi, sekitar 70 persen, dengan jumlah DPT yang terdata di KPU 964.928 orang.
"Angka itu cukup bagus, mengingat hanya sekitar 1,5 bulan waktu yang digunakan persiapan pilkada, namun kita menunggu hasil resmi oleh KPU pada 16 Desember 2015," ucap Koordinator BSPN DPC PDIP Kabupaten Blitar, Muhammad Taufik.
Namun, fakta berbeda terjadi pada sejumlah TPS yang menunjukkan warga yang datang memberikan hak pilihnya justru banyak yang absen.
Misalnya di TPS 3, Desa Sumberdiren, Kecamatan Garum, Kabupaten Blitar, diketahui jumlah daftar pemilih adalah 337 orang. Dari jumlah itu, yang menggunakan hak pilihnya 194 pemilih. Jumlah suara sah diketahui sampai 184, sementara suara tidak sah ada 10.
Hal senada juga terlihat di TPS 1, Desa Pojok, Kecamatan Garum, Kabupaten Blitar. Dari 307 pemilih yang terdata, hanya 193 pemilih yang menggunakan hak suaranya. Suara setuju diketahui ada 137, tidak setuju ada 52, dan tidak sah ada empat.
Panitia Pemungutan Suara (PPS) menyatakan sudah memberikan informasi terkait dengan pelaksanaan pencoblosan, namun sikap pemilih ini adalah hak pribadi. Siapapun berhak untuk menggunakan hak konstitusinya.
Namun, yang perlu dicermati, apakah mereka merasa tidak yakin dengan pilkada dengan calon tunggal ini, sebab mereka tidak mempunyai alternatif calon kepala daerah lain. Pilihannya, jika mereka tidak suka, mereka akan mencoblos tidak setuju, begitu sebaliknya yang suka akan mencoblos setuju.
Walaupun apatis, masih ada warga yang berharapan baik dengan pilkada ini. Sri Utami, misalnya. Warga Kecamatan Garum ini mengaku menggunakan hak pilihnya dan berharap kabupaten ini bisa lebih maju, kendati hanya ada satu pasangan sebagai calonnya.
"Saya berharap Kabupaten Blitar lebih baik lagi, warga miskin lebih diperhatikan, masyarakat banyak diberi kemudahan, misalnya untuk anak sekolah diberi bantuan untuk sekolah misalnya sepatu, seperti di kota," harap Sri Utami.
Pilkada dengan calon tunggal tidak berarti buruk. Toh, sebelumnya sudah ada tahapan yang dilalui misalnya dengan pendaftaran pasangan calon. Hanya saja, sampai dua kali dibuka pendaftaran, tetap tidak ada yang pasangan yang mendaftar.
Optimisme juga datang dari pakar hukum Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Yohanes Sogar Simamora saat berbicara dalam seminar memperingati Hari Antikorupsi se-Dunia di Kediri.
"Pilkada dengan calon tunggal ini cukup bagus dari sisi biaya sekaligus rapi, namun lemah dari sisi publikasi. Itulah yang memicu kurang maksimalnya partisipasi warga," tukasnya.
Ia justru melihat untuk pilkada calon tunggal adalah angin segar bagi demokrasi di Indonesia. Partai tidak perlu memaksakan untuk mengajukan calon sebagai peserta pilkada. Selain itu, adanya calon tunggal juga tidak bertentangan dengan demokrasi.
"Jika memang masyarakat atau partai tidak melihat ada pasangan yang bisa diajukan, dengan calon tunggal tetap sah," ujarnya.
Jika ada kecurangan, bagaimana mungkin bisa menggugat hasil pilkada calon tunggal potensi itu? Peneliti dari Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Ari M Haikal menyebut warga yang menemukan kecurangan bisa mengajukan gugataan sengketa pilkada ke MK.
"Siapa yang berwenang mengajukan sengketa politik? Ada beberapa prosedur yang bisa dipakai yakni prosedur hak gugat warga negara atau 'Citizen Law Suit', atau bisa juga class action atau hak gugat peradilan kelompok," ujar Ari M Haikal seperti dilansir medanbisnis.com.
Namun, pelaksanaan pilkada tunggal itu juga bukan tanpa masalah teknis, di antaranya banyaknya surat suara yang tertukar dan kurang. Hal itu terjadi di sejumlah TPS di Kecamatan Gandusari dan Kesamben. Di TPS Kecamatan Gandusari, TPS 4 kurang 138 surat suara, TPS 22 kurang 100 surat suara, dan TPS 10 kurang 15 surat suara.
"Temuan kekurangan itu menunjukkan KPU kurang cermat dalam melaksanakan pilkada. Temuan ini akan menjadi bahan evalusi yang selanjutnya akan kami laporkan ke Bawaslu Jatim," ungkap Ketua Panwaslu Kabupaten Blitar Hadi Santoso.
Apapun, pilkada serentak sudah berlangsung dengan hak warga tidak "dihilangkan", meski dengan pasangan calon tunggal. Tentu, kekurangan masih ada, apalagi pilkada serentak kali ini merupakan pengalaman pertama. (*).
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015