Surabaya (Antara Jatim) - "Kenapa (peringatan Hari Pahlawan) harus di Surabaya?," tanya Presiden Joko Widodo kepada Mensos Khofifah Indarparawansa.

Dialog itu diungkap Mensos di hadapan puluhan peserta diskusi kepahlawanan bertajuk "Kupas Tuntas Peristiwa 10 November" yang diadakan Perum LKBN Antara di Surabaya, 9 November 2015.

Jawaban atas pertanyaan Kepala Negara itu adalah "banyak". "Presiden masih bertanya lagi, siapa saja, lalu saya ungkapkan dan akhirnya beliau memberi paraf untuk peringatan di Surabaya," tuturnya.

Selain itu, susunan acara peringatan Hari Pahlawan Nasional juga dibuat lebih 'berwarna" yakni ada nasehat pahlawan dan harapan Generasi 2085 (Indonesia 70 tahun lagi) dalam upacara dengan Irup Presiden Joko Widodo itu.

Diskusi LKBN Antara itu pun ditandai dengan "kesaksian sejarah" oleh Ketua LVRI Surabaya Hartoyik saat turut berjuang mengangkat senjata dan pemutaran film "10 November" produksi Berita Film Indonesia (BFI) oleh sejarahwan UI Dr Roesdhy Hoesein yang diikuti penjelasan seperlunya.

"Saya adalah anak kuno yang lahir di Jombang pada 15 Maret 1929, lalu saya pensiun dari TNI pada tahun 1980, tapi anak buah saya, baik pejuang maupun pembela, masih ada 2.119 orang yang masih hidup di Surabaya," ucap Hartoyik.

Dalam perjuangannya sejak November 1945 hingga 27 Desember 1949 atau sekitar empat tahun dan empat bulan itu, ia mengaku tahu Proklamasi Kemerdekaan setelah dua hari dipublikasikan.

"Setelah kemerdekaan itu terbentuk barisan-barisan mulai dari BKR/TKR hingga terbentuk ABRI/TNI dengan dipersenjatai seadanya," kata anggota Laskar Hizbullah yang dipimpin KH Wahid Hasyim itu.

Namun, tentara NICA (Netherlands Indies Civil Administration) membonceng pasukan Sekutu untuk menjajah kembali dengan mengibarkan Bendera Merah-Putih-Biru di Hotel Orange (Hotel Majapahit) pada 18 September 1945 pukul 21.00 WIB.

Menyaksikan hal itu, Arek-Arek Suroboyo pun langsung melawan dengan melakukan Perobekan Bendera Merah-Putih-Biru pada 19 September 1945, karena pengibaran bendera tri-warna adalah penghinaan.

"Perlawanan sporadis pun terjadi dimana-mana pada kurun 27-29 Oktober 1945 hingga memaksa Pasukan Sekutu untuk menghadirkan Presiden Soekarno ke Surabaya untuk mendorong dialog," katanya.

Namun, Jenderal Mallaby selaku pimpinan Sekutu berusaha menggertak dengan rentetan tembakan, sehingga Arek-Arek Suroboyo pun tersinggung hingga akhirnya jenderal itu tewas pada 30 Oktober 1945 pukul 21.30 WIB.

Akhirnya, Pasukan Sekutu pun mengamuk dan melontarkan ultimatum kepada Arek-arek Suroboyo untuk menyerahkan senjata paling lambat 10 November 1945, namun ultimatum itu dijawab Bung Tomo dengan "pidato perlawanan".

Tidak hanya itu, KH. Hasyim Asy'ari dan ratusan kiai Jawa-Madura juga mengerahkan santri dan rakyat untuk melawan hingga pihak Sekutu (Inggris) tidak dapat menaklukkan perlawanan di Surabaya dalam tiga minggu. Perlawanan Surabaya itu menginspirasi perlawanan rakyat di seluruh Indonesia.

Realitas sejarah yang dituturkan Hartoyik itu dibenarkan sejarahwan UI Roesdhy Hoesein dengan membandingkan dengan fakta dalam film buatan Berita Film Indonesia (BFI).

"Visual 10 November 1945 itu sebenarnya banyak, tapi sejarah adalah diskusi yang selalu ada perkembangan baru, namun Peristiwa 10 November 1945 itu ada tiga fakta penting," ungkapnya.

Tiga fakta penting adalah perobekan bendera (19 September 1945), peristiwa heroik 27-29 Oktober 1945 (semuanya dimenangkan Indonesia), dan tewasnya Jenderal Mallaby (30 Oktober 1945) hingga terjadi ultimatum yang justru menyulut Peristiwa 10 November 1945.


Momentum

Dalam diskusi yang cukup "gayeng" itu, Arek-Arek Suroboyo dari kalangan akademisi, pers, seniman, santri, pelaku sejarah, dan sebagainya mengapresiasi diskusi kepahlawan Perum LKBN Antara di Surabaya.

Apresiasi datang dari Sabrot D Malioboro (seniman/Pusura) itu, Ismet (Rakyat Batak yang juga mengaku "Arek Suroboyo"), Bambang Sulistomo (putra Bung Tomo), KH Hasib Wahab (Pesantren Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang), Sumarno (akdemisi/Kepala Jurusan Sejarah Unesa), dan sebagainya.

"Ini diskusi yang sangat memprovokasi kita, karena itu LKBN Antara mempunyai tanggung jawab untuk mengawal Peristiwa 10 November menjadi sejarah sesungguhnya, bukan hanya dongeng," ujar seniman Sabrot D Malioboro.

Untuk itu, ia berharap LKBN Antara membukukan peristiwa bersejarah itu dari bukti-bukti yang didapat dari berbagai sumber, termasuk kliping media massa pada masa itu.

"Misalnya, terbunuhnya Jenderal Mallaby itu ada banyak versi, ada yang ditembak, ada yang dicekik, ada yang dibuang ke kali, dan sebagainya. Nah, Antara harus menelusuri bukti-bukti yang akurat agar hal itu tidak hanya menjadi dongeng," katanya.

Dukungan juga datang dari Ismet asal Batak yang juga mengaku sebagai "Arek Suroboyo". "Peristiwa 10 November 1945 itu merupakan peristiwa bonek atau bondo nekat untuk perjuangan menegakkan kemerdekaan," katanya.

Dalam konteks itu, ia menilai LKBN Antara melalui wartawannya bernama Wiwiek Hidajat memiliki peran yang sangat penting dalam peristiwa bersejarah itu. "Pak Wiwiek terlibat dalam melakukan provokasi kepada masyarakat untuk melawan Sekutu," katanya.

Menurut dia, provokasi itu tidak hanya dilakukan dengan memompa semangat masyarakat, namun juga menyebarkan pamflet-pamflet hingga menyemangati masyarakat untuk menjebol LP Kalisosok. "Penyebaran pamflet itu peran wartawan," katanya.

Harapan lebih menantang datang dari Kepala Jurusan Sejarah Universitas Negeri Surabaya (Unsesa) Sumarno. Ia mengharapkan LKBN Antara untuk memperluas peran kesejarahan hingga peran kekinian.

"Misalnya, LKBN Antara bisa mendorong pemerintah untuk mewajibkan pakaian pejuang pada setiap 9-10 November bukan hanya bagi pelajar, tapi seluruh masyarakat, baik di kantor, kampus, perusahaan, maupun perkampungan," katanya.

Selain itu, LKBN Antara juga harus "memprovokasi" pemerintah untuk menggelar "Surabaya Festival Heroik", serta mewajibkan seluruh toko dan kantor memasang simbol kepahlawanan seperti foto Bung Tomo berpidato.

"LKBN Antara juga harus 'memprovokasi' masyarakat untuk memasang bendera di seluruh kampung seperti halnya HUT Kemerdekaan. LKBN Antara juga harus mengusulkan Doel Arnowo, Mayjen Sungkono, dan Arek Suroboyo lainnya untuk menjadi Pahlawan Nasional," katanya.

Sementara itu, Direktur Utama Perum LKBN Antara H Saiful Hadi mengatakan generasi muda banyak yang lupa pada sejarah tentang bagaimana pejuang masa lalu, karena itu LKBN Antara menyelenggarakan diskusi dan pameran foto kepahlawanan.

Diskusi kepahlawanan bertajuk "Kupas Tuntas Peristiwa 10 November" di kantor biro LKBN Antara Jatim di Surabaya pada 9 November 2015 dan pameran foto bertajuk "70 Tahun Histori Masa Depan" digelar di Galeri "House of Sampoerna" pada 6-29 November 2015.

"Generasi muda itu hanya mendengar dan baca dan tak sepenuhnya memahami dan merealisasikan pada zaman kekinian, karena itu kita melawan lupa dengan mempersembahkan kepada masyarakat, tidak hanya berita kekinian tapi foto dan film masa lalu," katanya.

Agaknya, peringatan Hari Pahlawan di Kota Pahlawan Surabaya mulai tahun 2015 harus dapat menjadi momentum untuk melakukan serangkaian diskusi dan penelitian sejarah untuk akhirnya "mengemas" bukti sejarah itu dengan cara-cara kekinian guna menumbuhkan nilai-nilai kejuangan bagi generasi masa kini.

"Ikhtiar membangun semangat heroik itu harus dilakukan dengan berbagai cara, karena itu saya sering menerima anak-anak muda untuk ketemu di TMP Kalibata. Di dalam TMP Nasional Utama di Kalibata itu ada "teater room" yang bisa memutar film kepahlawanan sesuai daftar dan daftar mana yang dipilih, sehingga terjadi alih nilai-nilai kejuangan secara menyenangkan," kata Khofifah. (*)

Pewarta: Edy M Yakub

Editor : Akhmad Munir


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015