Surabaya (Antara Jatim) - Agaknya, polemik Surat Edaran (SE) Kepala Kepolisian RI (Kapolri) Nomor 6/X/2015 tentang "Hate Speech" atau Ujaran Kebencian diwarnai kekhawatiran yang tidak berdasar.

Warna kekhawatiran paling kentara adalah SE itu akan menjadi "alat" untuk kriminalisasi. Ini kekhawatiran yang menyamakan istilah "kebencian" dalam SE itu sebagaimana "benci" pada umumnya.

Yang tidak kalah kentara lagi adalah SE itu akan menjadi "alat" untuk membungkam kebebasan berpendapat atau berekspresi. Ini mengidentikkan "benci" dengan "tindakan" menghentikan kebencian untuk selamanya.

Bahkan, kekhawatiran terkait pembungkaman berekspresi itu diikuti dengan kecurigaan bahwa SE "Hate Speech" akan menjadi regulasi yang mengalahkan regulasi di atasnya yang justru lebih demokratis, sehingga demokrasi menjadi terkebiri.

Semua itu tidak benar dan terlalu berlebihan. "Hate Speech itu bukan kebencian yang sifatnya personal, melainkan kebencian yang bersifat serangan pada primordial (SARA)," kata kriminolog UI Prof Dr Adrianus Meliala di Surabaya (4/11/2015).

Artinya, benci (tidak suka) kepada seseorang itu merupakan hal biasa, tapi kalau benci itu diwujudkan dengan ungkapan yang berunsur suku/etnis, agama, ras/golongan, dan "kelemahan fisik", maka hal itulah yang dimaksud dengan "Hate Speech".

"Jadi, SE 'Hate Speech' itu bukan kriminalisasi," katanya di hadapan 200-an peserta workshop 'Peran Polri dalam Melindungi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan' yang diselenggarakan oleh Imparsial di Surabaya, 4-5 November 2015.

Tidak hanya 'serangan terhadap SARA', kebencian dalam 'Hate Speech' itu merupakan prasangka aktif atau prasangka yang dimunculkan (dalam bentuk orasi, spanduk/pamflet, khutbah/ceramah, media sosial, dan sejenisnya).

"Jadi, bukan sekadar me-reply email, meng-hashtag twitter, men-like FB, mem-posting WA, dan lainnya, tapi juga di luar media sosial. Hanya saja, targetnya sama yakni serangan terhadap SARA," kata anggota Kompolnas itu.

Bahkan, regulasi "Hate Speech" itu sendiri merupakan rancangan Kompolnas, sehingga bukan "rekayasa" Polri untuk membungkam kebebasan berekspresi.

"Awalnya, kami menerima banyak pengaduan dari dalam dan luar negeri pada tahun 2013. Orang asing itu heran, kenapa orang menghujat orang lain dengan idiom primordial (SARA) di Indonesia kok dibiarkan," katanya.

Menyikapi hal itu, Kompolnas pun melihat regulasi "Hate Speech" di dalam dan luar negeri, terutama Eropa. "Eropa paling ketat dalam Hate Speech, sedang Amerika tidak begitu, tapi Indonesia juga sudah punya KUHP dan UU ITE," katanya.

Namun, aparat penegak hukum di Indonesia agaknya tidak paham "Hate Speech" itu, karena itu Kompolnas merancang "Hate Speech" dengan memasukkan regulasi yang ada dalam KUHP dan UU ITE, tapi dengan diberi petunjuk teknis di lapangan.

"Hasilnya, kami berikan rancangan itu ke Kapolri, namun bentuknya terserah mereka, apakah SE, Perkap (Peraturan Kapolri), atau lebih tinggi dari itu. Akhirnya, Polri memilih SE Hate Speech," katanya.

    
Merawat Kebhinnekaan

Walhasil, Ujaran Kebencian (Hate Speech) itu bukan kebencian pada umumnya yang bersifat personal, tapi kebencian dengan ciri serangan terhadap SARA dan dimunculkan dalam berbagai bentuk media.

"Jadi, Hate Speech itu bukan kriminalisasi, karena bukan benci yang bersifat personal. Hate Speech juga bukan membungkam demokrasi (kebebasan ekspresi), namun pilihan untuk merawat kebhinnekaan," kata Prof Dr Adrianus Meliala.

Pandangan itu juga dibenarkan Direktur Program Imparsial, Al Araf. "Hate Speech itu berasal dari kasus rasial Apartheid di Afrika dan Suku Aria pada era Hitler (Jerman/Eropa)," katanya.

Oleh karena itu, Eropa sangat ketat dalam mengatur "Hate Speech" yang berbeda sama sekali dengan Amerika yang mempunyai mazhab sangat longgar, sebab menilai Ujaran Kebencian itu membelenggu Kebebasan Berekspresi.

"Tapi, Amerika juga tidak konsisten, karena merativikasi Konvensi Antidiskriminasi. Nah, Hate Speech di Indonesia itu memilih jalan tengah yakni mengatur tapi tidak berlebihan, mengatur tapi tidak mengancam kebebasan berekspresi," katanya.

Bahkan, "Hate Speech" yang diatur dalam SE Kapolri itu juga dilakukan bertahap mulai dari persuasif (mediasi), sanksi administrasi (perdata), dan pemidanaan. Proses pemidaan menjadi alternatif paling akhir setelah ada proses mediasi para pihak yang bersengketa.

"Itu (SE Kapolri) bukan kriminalisasi, karena peraturan hukum yang dipakai bukan baru yakni KUHP dan UU ITE, namun ada petunjuk tentang 'Hate Speech' untuk aparat yang sesuai KUHP dan UU ITE," kata Kepala Biro Lemtala Srena Kepolisian RI (Polri) Brigjen Pol Gatot Eddy Pramono.

Saat berbicara dalam workshop yang dihadiri Asrena Kapolri Irjen Pol Arif Wachyunadi itu, ia menjelaskan SE "Hate Speech" itu diperlukan karena tiga hal yakni perkembangan teknologi informasi, geografis, dan pengetahuan aparat kepolisian di lapangan.

"Bagaimanapun teknologi informasi itu membuat hasutan kebencian dan ajaran radikal yang ada di ruang publik sudah mengarah pada diskriminasi, kekerasan, dan konflik sosial, bahkan ISIS-Alqaeda mengajarkan kekerasan dengan menghalalkan segala cara," katanya.

Contoh untuk Indonesia adalah konflik agama di Cikeusik yang dipicu Facebook (teknologi informasi) yang begitu cepat "memprovokasi" massa yang berjauhan lokasinya untuk satu tujuan.

Selain itu, kondisi geografis dan dinamika urbanisasi juga membuat polisi kalah gesit dengan pelaku kekerasan atas nama agama.

"Konflik masyarakat pribumi dan pendatang di Bali, konflik komunitas di NTB yang dikemas dengan kecelakaan tapi mengarah pada konflik SARA, dan konflik Syiah di Sampang itu dipicu kondisi geografis yang menyulitkan polisi bergerak cepat, apalagi bila pelaku bekerja menggunakan media sosial," katanya.

Faktor yang juga tidak kalah penting adalah keterbatasan pengetahuan aparat kepolisian tentang "Hate Speech" sehingga polisi di lapangan menjadi ragu dan akhirnya tindakan "Hate Speech" tidak tertangani secara tepat hingga muncul tuduhan pembiaran atau polisi cari aman.

Agaknya, SE Kapolri menjadi pedoman penting bagi aparat kepolisian di lapangan dalam menangani Ujaran Kebencian yang dimaksudkan bukan untuk melalukan kriminalisasi, melainkan ikhtiar merawat kebhinnekaan dari "permainan" yang mengatasnamakan kebebasan tanpa batas. (*)

Pewarta: Edy M Yakub

Editor : Akhmad Munir


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015