Ponorogo (Antara Jatim) - Panitia Festival Reog Nasional XXII menegaskan, fenomena penggunaan seniman "bon-bonan" (beli pemain) dari lokal Ponorogo oleh delegasi reog luar daerah sulit dihindari mengingat kualitas seniman masing-masing peserta belum/tidak merata sehingga layak tampil dalam tingkat festival.
"Kami sudah pernah coba membuat aturan ketat terkait administrasi kepesertaan FRN, tapi itu justru dikeluhkan delegasi luar daerah karena mereka biasanya tidak memiliki pemain lengkap dan layak tampil di festival," ungkap Sekretaris Yayasan Reog Ponorogo, Budi Satrio dikonfirmasi Antara melalui telepon, Rabu (28/10).
Penegasan Budi mengacu pada polemik seputar hasil penyelenggaraan FRN XXII yang diduga diwarnai manipulasi kepesertaan delegasi luar daerah yang menyewa seniman atau bahkan "membeli" grup reog lokal Ponorogo untuk tampil dalam festival atas nama daerah bersangkutan.
Kritik terbuka bahkan disampaikan delegasi Reog Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi) melalui sejumlah media sosial karena mencurigai munculnya juara umum dari reog Pemkab Lamandau, Kalimantan Tengah yang diyakini menggunakan satu grup reog lokal Ponorogo, untuk tampil di panggung FRN atas nama Lamandau.
"Karena semangat FRN adalah melestarikan budaya reog secara nasional serta ajang silaturahmi komunitas seniman reog se-Indonesia, maka untuk daerah yang baru pertama kali tampil di FRN diperkenankan memakai kelompok reog lokal Ponorogo," cetus Budi Satrio menggarisbawahi.
Namun, lanjut dia, pada tahun kedua dan ketiga porsi penggunaan seniman bon-bonan dari lokal Ponorogo harus terus dikurangi hingga delegasi luar daerah tersebut mampu memiliki kelompok seniman reog utuh dan tampil di panggung FRN mewakili daerah asal masing-masing.
"Masalahnya memang sebagian besar delegasi luar daerah ini rata-rata tidak memiliki pemain lengkap sehingga tetap harus menggunakan jasa seniman lokal Ponorogo agar bisa tampil utuh di atas panggung FRN. Itulah kenapa kami tetap bersikukuh penggunaan jasa seniman lokal tidak bisa dihilangkan begitu saja," ujarnya.
Dari lima unsur dalam kesenian reog, lanjut Budi, penari klono, bujang ganong dan pembarong adalah yang paling sulit dimiliki delegasi reog luar daerah.
Mereka bisa saja memiliki pembarong dengan kualitas cukup baik atau bahkan baik, namun menurut Budi, biasanya delegasi luar daerah kesulitan pada unsur penari lain, terutama klono dan bujang ganong yang membutuhkan keahlian dan kecakapan khusus.
"Kami tidak memungkiri bahwa ada latar belakang ekonomi, terutama bagi seniman lokal Ponorogo atas setiap gelaran FRN yang biasa dipinjam jasanya oleh delegasi luar daerah," ujarnya.
Namun fakta selama gelaran FRN sejak pertama diselenggarakan pada 1995 hingga sekarang, lanjut Budi, memang rata-rata delegasi luar daerah tidak bisa tampil lengkap, hanya beberapa daerah yang sudah mampu termasuk DKI Jakarta atau Jabodetabek.
"Sekali lagi karena misi FRN adalah pelestarian dan menyebarkan budaya reog, penggunaan seniman lokal tetap diperbolehkan dengan syarat mereka memiliki komitmen untuk melakukan pembinaan (kesenian reog) di daerah asal masing-masing," tandasnya.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015
"Kami sudah pernah coba membuat aturan ketat terkait administrasi kepesertaan FRN, tapi itu justru dikeluhkan delegasi luar daerah karena mereka biasanya tidak memiliki pemain lengkap dan layak tampil di festival," ungkap Sekretaris Yayasan Reog Ponorogo, Budi Satrio dikonfirmasi Antara melalui telepon, Rabu (28/10).
Penegasan Budi mengacu pada polemik seputar hasil penyelenggaraan FRN XXII yang diduga diwarnai manipulasi kepesertaan delegasi luar daerah yang menyewa seniman atau bahkan "membeli" grup reog lokal Ponorogo untuk tampil dalam festival atas nama daerah bersangkutan.
Kritik terbuka bahkan disampaikan delegasi Reog Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi) melalui sejumlah media sosial karena mencurigai munculnya juara umum dari reog Pemkab Lamandau, Kalimantan Tengah yang diyakini menggunakan satu grup reog lokal Ponorogo, untuk tampil di panggung FRN atas nama Lamandau.
"Karena semangat FRN adalah melestarikan budaya reog secara nasional serta ajang silaturahmi komunitas seniman reog se-Indonesia, maka untuk daerah yang baru pertama kali tampil di FRN diperkenankan memakai kelompok reog lokal Ponorogo," cetus Budi Satrio menggarisbawahi.
Namun, lanjut dia, pada tahun kedua dan ketiga porsi penggunaan seniman bon-bonan dari lokal Ponorogo harus terus dikurangi hingga delegasi luar daerah tersebut mampu memiliki kelompok seniman reog utuh dan tampil di panggung FRN mewakili daerah asal masing-masing.
"Masalahnya memang sebagian besar delegasi luar daerah ini rata-rata tidak memiliki pemain lengkap sehingga tetap harus menggunakan jasa seniman lokal Ponorogo agar bisa tampil utuh di atas panggung FRN. Itulah kenapa kami tetap bersikukuh penggunaan jasa seniman lokal tidak bisa dihilangkan begitu saja," ujarnya.
Dari lima unsur dalam kesenian reog, lanjut Budi, penari klono, bujang ganong dan pembarong adalah yang paling sulit dimiliki delegasi reog luar daerah.
Mereka bisa saja memiliki pembarong dengan kualitas cukup baik atau bahkan baik, namun menurut Budi, biasanya delegasi luar daerah kesulitan pada unsur penari lain, terutama klono dan bujang ganong yang membutuhkan keahlian dan kecakapan khusus.
"Kami tidak memungkiri bahwa ada latar belakang ekonomi, terutama bagi seniman lokal Ponorogo atas setiap gelaran FRN yang biasa dipinjam jasanya oleh delegasi luar daerah," ujarnya.
Namun fakta selama gelaran FRN sejak pertama diselenggarakan pada 1995 hingga sekarang, lanjut Budi, memang rata-rata delegasi luar daerah tidak bisa tampil lengkap, hanya beberapa daerah yang sudah mampu termasuk DKI Jakarta atau Jabodetabek.
"Sekali lagi karena misi FRN adalah pelestarian dan menyebarkan budaya reog, penggunaan seniman lokal tetap diperbolehkan dengan syarat mereka memiliki komitmen untuk melakukan pembinaan (kesenian reog) di daerah asal masing-masing," tandasnya.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015