Surabaya (Antara) - Pengamat UIN Sunan Ampel Surabaya Dr KH Imam Ghazali Said MA menilai perizinan gereja (rumah ibadah) sering diremehkan, padahal hal itulah yang mampu menjadi solusi untuk mengatasi konflik seperti kasus Singkil di Aceh.

"Konflik Singkil-Aceh itu terjadi karena perizinan rumah ibadah sudah lama tidak diurus dan Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) juga tidak mengevaluasi hal itu," kata tokoh FKUB Surabaya itu kepada Antara di Surabaya, Minggu.

Menurut Dekan Fakultas Adab dan Ilmu Humaniora UIN Sunan Ampel Surabaya itu, konflik bernuansa agama seperti Singkil (Aceh), Tolikara (Papua), sandal berlafadz mirip "Allah" (Gresik), dan semacamnya umumnya disebabkan faktor teknis.

"Umumnya konflik bernuansa agama itu memang bersumber dari faktor teknis seperti perizinan atau komunikasi yang buntu dalam waktu berlarut-larut yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan optimalisasi peran FKUB," katanya.

Ia menilai apa yang terjadi di Tolikara adalah persoalan komunikasi antara Muslim yang menjadi minoritas dan non-Muslim yang mayoritas, namun kaum Muslim tidak menyadari posisi minoritas dengan mengumandangkan azan cukup keras, padahal di kanan-kiri banyak rumah ibadah lain.

"Karena itu, pemerintah daerah hendaknya menghidupkan FKUB dan mengoptimalkan perannya, baik dalam fasilitas pertemuan maupun dukungan anggaran untuk pertemuan antarpihak yang bersengketa, karena pengalaman saya menunjukkan pertemuan antarpihak dalam sengketa bernuansa agama itu bisa 5-7 kali," katanya.

Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya yang juga pengasuh Pesantren Mahasiswa An-Nur, Wonocolo, Surabaya itu menegaskan bahwa sengketa antarpihak dalam masalah pendirian rumah ibadah sebenarnya sudah diatur dalam PBM (Peraturan Bersama Menteri) antara Mendagri dan Menag.

"Untuk gereja baru itu akan mendapatkan izin bila dalam proposal pendirian mencantumkan 90 pengguna (pemeluk agama yang bersangkutan) dan 60 pendukung (masyarakat di sekitar lokasi rumah ibadah). Itu sebelum rumah ibadah ada," katanya.

Proposal pendirian itu disampaikan ke FKUB, lalu FKUP mengadakan pertemuan dan juga survei lokasi. "Kalau layak, FKUB akan menyerahkan rekomendasi kepada kepala daerah, lalu kepala daerah akan mengeluarkan IMB khusus rumah ibadah," katanya.

Untuk gereja lama, panitia pembangunan tetap mengajukan proposal kepada FKUB bahwa rumah ibadah yang ada merupakan bangunan lama, maka FKUB akan langsung mengeluarkan rekomendasi.

"Nah, apa yang terjadi di Singkil, Aceh itu adalah bangunan lama, tapi perizinan baru tidak diurus. Soal perizinan itu juga berlaku untuk masjid yang sudah lama berdiri tapi belum memiliki izin. Ini persoalan yang juga ada di daerah lain dan bisa meledak sewaktu-waktu," katanya.

Secara terpisah, Sobat Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan (SobatKBB) menolak pemusnahan gereja di Singkil yang bermula dari kebakaran gereja di Singkil (19/10) hingga akhirnya tiga gereja telah dieksekusi dari total 10 gereja yang rencananya akan dihancurkan.

"Itu bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945 dan syariah Islam sebagaimana Quran 22:40 bahwa 'Sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid'," kata Ketua Seknas SobatKBB Palti Panjaitan, didampingi Sekretaris,  Firdaus Mubarik.

Temuan SobatKBB menunjukkan beberapa gereja yang berencana untuk dihancurkan dengan dalih penerapan syariah Islam di Nanggroe Aceh Darussalam itu  sudah berdiri sebelum proklamasi RI 1945, diantaranya GKPPD Siatas (1940), GKPPD Kuta Tinggi (1943), GKPPD Tuhtuhan (1948), GKPPD Sukamakmur Gunung Meriah (1960), GKPPD Siompin (1964), dan GKPPD Situbuh-tubuh (1989). (*)

Pewarta: Edy M Yakub

Editor : Endang Sukarelawati


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015