Surabaya (Antara Jatim) - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya menyerukan independensi pers saat pilkada serentak, karena itu politisasi pers saat pilpres jangan sampai terulang dalam pilkada.
     
"Kami sudah melayangkan surat seruan kepada pasangan calon kontestan pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Surabaya agar tidak menyeret jurnalis dan pers ke ranah politik," kata Ketua AJI Surabaya, Prasto Wardoyo, di Surabaya, Kamis.
     
Ia mengatakan seruan tentang pentingnya sikap independensi jurnalis di era rezim pilkada itu ditujukan kepada pasangan calon plus tim sukses, KPU, Panwaslu Surabaya sampai Dewan Pers.
     
"Kami mendesak rekan-rekan pasangan calon dan tim yang terlibat dalam gelaran pemilihan kepala daerah (pilkada) Surabaya agar ikut menjaga independensi pers," ujarnya.
     
Menurut Prasto, independensi pers itu merupakan marwah (kehormatan) demokrasi, karena itu pengalaman Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 harus menjadi pembelajaran.
     
"Saat pilpres, pers hancur di titik paling rendah karena terlibat dukung-mendukung pasangan calon. Pers menjadi kehilangan marwahnya dan akibatnya rakyat tidak percaya pada pers," ucapnya.
     
Terkait pilkada serentak, AJI Surabaya menolak segala bentuk penyensoran, pemaksaan dan penggiringan materi penulisan. "Intervensi terhadap kerja jurnalis dan ruang redaksi mencederai kemerdekaan pers dan demokrasi," katanya.
     
AJI Surabaya juga meminta calon dan timnya tidak menjalin kerja sama dengan media massa tertentu yang melanggar UU Nomor 40/1999 tentang Pers, misalnya menjadikan perusahaan media atau jurnalis tertentu sebagai corong.
     
"Kami juga meminta para calon tidak melibatkan jurnalis aktif sebagai tim sukses, baik yang masuk struktur maupun yang tidak. Pelibatan jurnalis sebagai tim sukses pasangan calon tertentu, jelas melanggar UU Nomor 40/1999 tentang Pers, Kode Etik Jurnalistik dan Pedoman Perilaku Jurnalistik yang disusun Dewan Pers," ujar Prasto.
     
AJI Surabaya juga meminta semua pihak yang terlibat dalam pilkada tidak memberi suap, imbalan, janji dan atau fasilitas lain kepada jurnalis peliput, redaktur, editor sampai level teratas. AJI paling sering mendapatkan aduan terkait imbalan terhadap jurnalis itu.
     
"Saya pikir aneh juga kalau ada jurnalis mau terima suap atau imbalan. Jurnalis itu terikat kode etik. Kita dinamakan jurnalis karena kode etik dan perilaku itu. Kalau kita tidak menjalankan kode etik tersebut, apa pantas disebut jurnalis sekali pun dia bekerja di perusahaan media besar?," katanya.
     
Terkait iklan yang telah ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU), AJI menolak adanya intervensi terhadap jurnalis dan ruang redaksi dengan modus pemasangan iklan atau kerja sama lainnya. (*)

Pewarta: Edy M Yakub

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015