Lumajang (Antara Jatim) - Almarhum Salim alias Kancil (52), warga Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, tidak pernah berharap namanya dikenal oleh masyarakat luas karena perjuangannya menolak tambang pasir di pesisir selatan kabupaten setempat.
     
"Pak Salim Kancil itu berjuang dengan ikhlas bersama warga karena tidak ingin penambangan pasir liar itu merusak lahan pertanian yang sudah digarap warga," ucap teman Salim Kancil, Hamid.

Keinginan warga di Desa Selok Awar-Awar sebenarnya cukup sederhana, yakni mereka ingin memanfaatkan potensi sumber daya alam dengan menggarap lahan pertanian untuk kelangsungan hidup mereka sehari-hari.

"Pak Salim yang tidak pernah duduk di bangku sekolah pun tahu kalau penambangan pasir itu dapat merusak lingkungan dan rawan bencana, sehingga kami sebanyak 12 orang membentuk Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Desa Selok Awar-Awar dan saya sebagai koordinatornya," tuturnya.

Melihat dampak yang cukup serius akibat penambangan pasir di Desa Selok Awar-Awar itu, beberapa warga tergerak untuk membentuk forum sebagai kekuatan melawan penambangan yang dikelola oleh kepala desa setempat.

"Kawasan pesisir selatan seharusnya tidak dieksploitasi karena ancaman tsunami bisa datang kapan saja, sehingga tidak boleh ada penambangan," tegasnya.

Dampak kerusakan lingkungan akibat penambangan pasir di Desa Selok Awar-Awar selama dua tahun itu sudah dirasakan oleh warga sekitar yang bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan.

"Irigasi pertanian menjadi rusak dan warga tidak bisa menanam padi karena air laut yang menggenangi areal persawahan," ucap Hamid yang juga Koordinator Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Desa Selok Awar-Awar.

Almarhum Salim Kancil dan warga sekitar yang sehari-hari bekerja di sawah tidak bisa memanen hasil padinya karena penambangan yang semakin merusak lingkungan dan irigasi pertanian. 

Awalnya, pihak kepala desa meminta persetujuan masyarakat setempat untuk membangun kawasan objek wisata di sekitar Pantai Watu Pecak, namun lama-kelamaan bukan wisata yang digarap, malah penambangan pasir yang dilakukan di sana.

Warga kemudian melakukan gerakan advokasi protes tentang penambangan pasir yang mengakibatkan rusaknya lingkungan di Desa Selok Awar-Awar dengan cara bersurat kepada pemerintahan desa setempat, Pemerintahan Kecamatan Pasirian, dan Pemerintahan Kabupaten Lumajang.

"Pada bulan Juni 2015, forum menyurati Bupati Lumajang untuk meminta audiensi tentang penolakan tambang pasir, tetapi tidak direspon dengan baik oleh Bupati yang diwakili oleh Camat Pasirian," paparnya.

Perjuangan Forum Komunikasi terus dilakukan hingga 9 September 2015 dengan melakukan aksi damai penghentian aktivitas penambangan Pasir dan penghentian truk bermuatan pasir di Balai Desa Selok Awar – Awar.

Kemudian pada 10 September 2015, adanya ancaman pembunuhan yang dilakukan oleh preman bayaran dari kepala desa setempat kepada Tosan dan beberapa anggota forum komunikasi lainya yang lantang menyuarakan penolakan tambang pasir yang diduga mengandung biji besi itu.

"Kami kemudian melaporkan kejadian tindak pidana pengancaman kepada Polres Lumajang. Saat itu Kasat Reskrim Polres Lumajang menjamin dan merespon pengaduan forum yang telah dikoordinasikan dengan pimpinan Polsek Pasirian," kenangnya.

Ancaman tersebut ternyata tidak hanya isapan jempol, karena preman bayaran itu benar-benar menindaklanjuti dengan melakukan penganiayaan terhadap dua aktivis antitambang tersebut pada 26 September 2015.

Salim Kancil meninggal dunia setelah dianiaya oleh preman bayaran di Balai Desa Selok Awar-Awar, sedangkan Tosan mengalami luka parah hingga dilarikan ke rumah sakit setempat.

Forum Komunikasi Komunikasi Masyarakat Peduli Desa Selok Awar-Awar terus bergerak menyuarakan penolakan karena warga desa hanya ingin bisa bertahan hidup tanpa terusik dengan aktivitas penambangan pasir yang merusak lingkungan itu.

"Setelah meninggalnya Salim Kancil, warga sudah bertekad bulat untuk melanjutkan perjuangannya menolak tambang di Desa Selok Awar-Awar karena jalan itu yang akan membuka pada kesejahteraan warga setempat," katanya. 
     
Penutupan Tambang    
Pasca-terbunuhnya Salim Kancil, Bupati Lumajang As'at Malik menginstruksikan penutupan tambang pasir di tujuh kecamatan di pesisir selatan kabupaten setempat yang meliputi Kecamatan Yosowilangun, Kunir, Tempeh, Pasirian, Candipuro, Pronojiwo dan Tempursari. 

"Keputusan penutupan tambang pasir tidak berlaku di keseluruhan wilayah pertambangan karena yang ditutup adalah penambangan pasir di wilayah pesisir selatan Lumajang," kata As'at.

Di wilayah pesisir selatan Lumajang tersebut ada yang telah melakukan aktivitas penambangan pasir dan ada yang berhenti, serta gagal beraktivitas karena mendapat penolakan warga. 

"Soal penambangan pasir yang berada di daerah aliran sungai (DAS) Semeru masih diizinkan dan akan terus ditata karena pasir galian C di DAS Semeru harus terus dikeruk agar tidak terjadi pendangkalan," tuturnya.

Terkait lahan tambang pesisir yang masuk wilayah konsesi PT IMMS sesuai hasil investigasi dari Walhi, Bupati As'at menyatakan bahwa perusahaan tambang tersebut tidak lagi beroperasi karena PT IMMS saat ini masih dalam proses hukum.

"Saat ini yang menambang adalah kelompok warga, sehingga terjadi keributan karena ada warga yang mendukung tambang, namun ada juga yang menolak tambang," katanya.

Bupati Lumajang meminta agar seluruh Kepala Desa yang hadir bersama BPD (Badan Permusyawaratan Desa) yang wilayahnya terdapat penambangan pasir untuk segera menghentikan kegiatan penambangan yang ilegal. 

"Saya bersama Forkopimda sudah sepakat, bahwa kegiatan penambangan ilegal harus diakhiri. Kita harus menjadikan pelajaran kasus Desa Selok Awar-Awar kemarin," ujarnya. 

Ia juga meminta aparat kepolisian untuk menindak tegas dengan menertibkan penambang pasir yang masih membandel dan tetap beroperasi untuk menambang pasir di pesisir selatan Lumajang itu.

Ketua DPRD Lumajang, Agus Yuda Wicaksono mengatakan tragedi yang menimpa dua aktivis antitambang itu menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi Kabupaten Lumajang.

"Dulu saat almarhum Bupati Sjahrazad Masdar, kami sempat membentuk panitia khusus (Pansus) terkait dengan penambangan pasir karena banyak pengaduan dari masyarakat yang menolak aktivitas penambangan liar itu," tuturnya.

Rekomendasi penutupan penambangan pasir di pesisir selatan Lumajang itu tertuang dalam surat Pansus Nomor 12 Tahun 2014 karena penambagan tersebut ilegal dan tidak memiliki izin, serta berdampak pada kerusakan lingkungan.

"Pansus turun ke lapangan untuk melihat dampak kerusakan akibat penambangan dan memang benar terjadi kerusakan lingkungan yang meresahkan warga setempat," katanya.

Menurutnya, lokasi penambangan yang tidak dikelola oleh PT IMMS akhirnya dijadikan penambangan liar oleh pihak-pihak tertentu, bahkan penambangan itu mengatasnamakan warga yang menyebabkan pihak Pemkab Lumajang kesulitan untuk menertibkan.

"Akhirnya meletus peristwa Salim Kancil yang menghentakkan semua pihak, termasuk anggota dewan. Sebenarnya persoalan tambang sudah lama terjadi di Lumajang," katanya.

Saat ini, lanjut dia, seluruh penambangan pasir di pesisir selatan Kabupaten Lumajang sudah ditutup oleh pemerintah setempat dan berharap tidak ada lagi penambangan liar yang dapat memicu konflik antarwarga.

Sementara pengamat lingkungan dari Universitas Jember Dr Abdul Qodim Manembojo mengatakan kasus pembunuhan Salim Kancil bermula dari konflik sumber daya alam (lahan pertanian) yang berhadapan dengan Kepala Desa Selok Awar-Awar cs yang ingin menguasai bisnis pasir desa setempat.

"Salim tidak sendirian dalam konflik itu karena sekitar lima warga lainnya juga memiliki lahan yang luasnya sekitar 1 hektare, sehingga enam orang yang bersuara lantang menolak tambang dan menjadi target operasi dari kelompok penambang pasir yang dikendalikan kades setempat," tuturnya.

Kades menghendaki agar lahan Salim dan warga lainnya dijual atau diserahkan untuk ditambang dengan alat berat, namun bagi aktivis antitambang itu, menyerahkan lahan kepada kades sama saja merusak lahan bertani mereka yang berada di bibir Pantai Watu Pecak karena terjadi abrasi.

"Kasus tersebut menggambarkan konflik sumber daya antara Salim cs dengan akses sosial ekonomi politik terbatas melawan kades cs yang memiliki akses dan otoritas yang kuat di desa setempat," tukasnya.

Konflik itu juga bersumber dari kelangkaan sumber daya karena kades setempat merasa lahan yang mereka kuasai sudah sangat terbatas dan tidak mampu lagi memenuhi permintaan pasir Lumajang yang berkualitas selama lima tahun terakhir.

Salim cs bertahan dengan cara hidup agraris karena tidak mau melepas lahan pertanian sebagai basis hidup mereka, sedangkan kades cs menganggap lahan Salim lebih menguntungkan dengan cara ditambang daripada dikelola sebagai lahan pertanian.

"Menurut saya konflik pasir berdarah di Lmajang itu merupakan konflik sumber daya lahan pertanian antarelit lokal desa yang telah mengalami proses ramifikasi dengan menyentuh isu lingkungan, sehingga menimbulkan ledakan kades cs sebagai perusak lingkungan vs Salim cs sebagai pejuang lingkungan," paparnya.

Abdul menegaskan masyarakat pesisir lebih paham tentang bagaimana menjaga lingkungan karena mereka bertahan hidup dengan bergantung pada sumber daya alam setempat.

Terbunuhnya pejuang antitambang itu juga membuka lebar kepada publik, bahwa penambangan liar tanpa izin yang dikelola oleh pihak-pihak tertentu masih marak di pesisir pantai selatan Lumajang dan tidak ada tindakan tegas dari pemerintah setempat untuk menertibkan hal itu.

"Kasus Salim Kancil menjadi momentum introspeksi semua pihak untuk lebih peka terhadap masalah lingkungan dan tidak mengabaikan kaum minoritas yang berjuang hanya untuk mempertahankan hidup mereka," ucap dosen FKIP Universitas Jember itu.

Ia berharap  kasus Salim Kancil dan Tosan menjadi pelajaran penting dan terakhir bagi semua pihak, tentang perlunya perlindungan terhadap para aktivis kemanusiaan dan manajemen pengelolaan tambang yang lebih baik ke depan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan.(*)

Pewarta: Zumrotun Solichah

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015