Banyuwangi (Antara Jatim) - Di tengah gempuran budaya pop dan moderen, tidak mudah mengumpulkan 1.000 lebih penari gandrung untuk mendukung kegiatan festival seperti yang digelar oleh Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.

Bupati Abdullah Azwar Anas mengakui sulitnya mencari ribuan penari untuk tampil bersama pada awal pelaksanaan Festival Gandrung Sewu, yakni tahun 2012. Festival Gandrung Sewu merupakan agenda wisata tahunan yang masuk dalam rangkaian Banyuwangi Festival.

Setelah berjalan beberapa tahun dan kini menginjak tahun keempat, kondisinya justru berbeda. Kaum muda begitu antusias belajar kembali kekayaan leluhurnya dan ketika festival tahunan yang bersifat kolosal itu digelar, pesertanya membeludak.

Untuk menampung animo yang tinggi dari kalangan pelajar yang didukung para orang tua, Unit Pelaksana Teknis Daerah Pendidikan di Banyuwangi menerapkan seleksi di setiap kecamatan.

Budianto, salah seorang anggota tim seleksi mengaku setiap tahun didatangi para ibu yang protes lantaran anak mereka tidak lolos untuk tampil di Festival Gandrung Sewu.

"Mereka sampai berkata berapa pun biayanya yang dikeluarkan, tidak masalah asal anaknya tampil. Tapi kami menolak dengan halus. Kami besarkan hati para peserta yang tidak lolos dengan membuka peluang untuk ikut serta pada ajang kebudayaan yang lain," katanya.

Sistem seleksi lewat audisi untuk bisa tampil dalam festival yang tahun 2015 digelar di Pantai Boom, Sabtu (26/9) sore itu, menunjukkan berhasilnya regenerasi. Festival yang berlangsung meriah itu telah merangsang anak-anak muda untuk belajar tari gandrung.

"Ini menjadi sebuah bukti pengembangan budaya yang telah dilakukan mampu membangkitkan perkembangan budaya itu sendiri dengan banyaknya anak-anak kita yang bersemangat untuk mempelajari seni-budaya daerahnya," kata Anas.

Ia berharap budaya Banyuwangi akan terus menjadi tuan rumah di daerahnya sendiri dan ikut mengharumkan budaya Indonesia di mata dunia.

Menurut dia, ide menampilkan ribuan penari gandrung itu telah berhasil menjadi magnet dan para penari merasa bangga ikut ambil bagian dalam festival.

Selain karena kemasan pertunjukannya yang unik, para penontonnya juga khalayak nasional. Anak-anak muda yang biasanya hanya tampil untuk dilihat tetangganya, kini ditonton wisatawan dari berbagai daerah dan mancanegara.

"Itu menambah kebanggaan mereka," kata Anas.

Kebanggaan sebagai penari ditampakkan oleh Gayatri Yogantari, salah satu penari di Festival Gandrung Sewu yang terlihat sangat ceria. Siswi SMPN 4 Rogojampi itu begitu antusias dan riang saat akan memasuki Pantai Boom, tempat festival itu digelar.

"Lega sekali akhirnya kesampaian saya bisa tampil pada Gandrung Sewu tahun ini. Meski latihannya seminggu tiga kali seusai sekolah, tetap menyenangkan karena saat latihan bersama saya bisa bertemu dengan penari dari sekolah lain. Jadi, menambah teman," kata Gayatri setelah pertunjukan usai.

        
Peran Senior

Lestarinya seni gandrung di Banyuwangi disadari tidak lepas dari peran para senior yang rela hati menularkan ilmunya kepada generasi muda.

Karena itu, Pemkab Banyuwangi memberikan penghargaan kepada para seniman sepuh, diantaranya dua penari gandrung Poniti (66) dan Kusniah (60).

Penghargaan itu diberikan sebagai bentuk apresiasi atas dedikasi mereka pada pelestarian seni tradisi. Selain piagam penghargaan, kedua penari senior itu juga mendapatkan uang dari pemerintah daerah.

Para penari senior selama ini gigih memberikan pelajaran kepada anak-anak muda di sekolah untuk belajar tarian yang pada 2013 masuk sebagai "warisan budaya takbenda" itu. Pemkab Banyuwangi juga memberikan dana pendampingan untuk pembinaan bagi sanggar-sangar seni.

Tidak hanya itu, setiap malam Minggu, seniman tradisional Banyuwangi diberi kesempatan tampil bergiliran di Taman Blambangan, Kota Banyuwangi.

Sementara itu, Festival Gandrung Sewu 2015 mengambil tema "Podo Nonton" atau nonton bareng. "Podo Nonton" merupakan salah satu tembang wajib yang mengiringi tarian gandrung dengan makna tentang perjuangan.

Tidak hanya menyuguhkan tarian, pertunjukkan ini juga sarat pesan yang disuguhkan melalui drama teatrikal yang begitu atraktif. Selama satu jam, ribuan wisatawan yang menyaksikan Gandrung Sewu terkesima.

Festival diawali dengan masuknya ribuan penari gandrung ke arena dari segala penjuru, lalu disusul dengan fragmen "Podo Nonton" yang menceritakan bagaimana makmurnya rakyat Banyuwangi sebelum kedatangan Belanda, hingga penjajah Belanda datang merusak tatanan kehidupan rakyat. Dalam fragmen juga dipertontonkan perjuangan rakyat Banyuwangi melawan penjajahan Belanda.

Selama fragmen berlangsung, ribuan penari gandrung itu tetap menari menjadi latar pertunjukan. Sesekali mereka membentuk formasi di tengah pertunjukan sambil memainkan kipas warna-warninya.

Di akhir cerita, ribuan penari gandrung tersebut menjelma menjadi lautan ombak, yang memvisualisasikan para pejuang Banyuwangi yang di akhir peperangan mereka dibuang ke Selat Bali.

Sukses Banyuwangi dalam mengelola kebudayaan dan melakukan regenerasi gandrung itu mendapat apresiasi Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Kacung Marijan.

Guru besar ilmu politik Universitas Airlangga (Unair) Surabaya itu mengatakan Banyuwangi telah berhasil membangun sebuah ekosistem kebudayaan. Ekosistem itu terbentuk lewat keterlibatan banyak pihak, mulai sekolah, sanggar, hingga pelaku wisata dalam perhelatan ini.

"Festival Gandrung Sewu bahkan juga mampu menyumbangkan perputaran ekonomi bagi masyarakat. Ekosistem ini menjadi dasar bagi pengembangan budaya yang kuat," katanya saat hadir dalam Festival Gandrung Sewu.

Ia menilai Banyuwangi berhasil meletakkan kebudayaan sebagai bagian penting dari pembangunan. Kebudayaan tidak dipinggirkan tapi dikedepankan, menjadi pondasi sekaligus arah bagi pembangunan. "Kalau daerah mau maju harus menjadikan kebudayaan bagian dari pembangunan," ujar Kacung. (*)

Pewarta: Masuki M. Astro

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015