Banyuwangi (Antara Jatim) - Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas mengemukakan silang pendapat soal pencairan dana hibah dan bantuan sosial (bansos) membutuhkan penjelasan hukum baru agar tidak menimbulkan permasalahan hukum di kemudian hari.
"Ini sekaligus bisa tetap menjaga kontinuitas pembangunan dan pemberdayaan masyarakat," kata Anas saat dihubungi dari Banyuwangi, Jawa Timur, Rabu.
Ia bercerita bahwa dirinya sudah mengusulkan kepada pemerintah pusat agar ada penjelasan hukum baru yang mungkin lebih bisa menjamin pelaksanaan pencairan dana hibah dan bansos.
Anas mengatakan, dirinya pada Rabu (23/9), baru saja mengikuti Rapat Koordinaasi Pembahasan Penyerapan Anggaran di Gedung Negara Grahadi, Surabaya.
Rapat tersebut dihadiri oleh Menkopolhukam Luhut B Panjaitan, Mendagri Tjahjo Kumolo, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Jaksa Agung HM Prasetyo, Kapolri Badrodin Haiti, Plt Ketua KPK Taufiquerachman Ruki, Kepala BPKP Ardan Adiperdana, dan Gubernur Jatim Soekarwo.
Seperti diketahui, Mendagri telah menerbitkan Surat Edaran Nomor 900/4627/SJ yang menjelaskan soal mekanisme pencairan dana hibah dan bansos yang diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Dalam SE tersebut disampaikan bahwa pencairan dana hibah dan bansos kepada penerima mensyaratkan pihak penerima harus mempunyai Surat Keterangan Terdaftar (SKT) dari pemerintah daerah untuk badan/lembaga kemasyarakatan dan bila berbentuk ormas harus berbadan hukum dari Kementerian Hukum dan HAM.
Anas berharap, untuk nominal tertentu, dana hibah atau bantuan sosial bisa lebih mudah bagi masyarakat tanpa harus menghilangkan unsur-unsur transparansi dan anti-korupsi. Karena jika ada syarat yang berbelit, kelompok masyarakat tertentu cukup kesulitan.
"Mbok Nah, Mbok Yem, yang nilai hibahnya misalnya Rp2 juta atau Rp3 juta kan susah jika mereka harus mengurus surat segala macam. Saya kira asal penerimanya jelas, didokumentasikan dan dipertanggungjawabkan dengan baik, dana hibah akan sangat bermanfaat bagi masyarakat," katanya.
Dia juga mencontohkan adanya sejumlah mahasiswa yang mengajukan dana hibah penelitian untuk menunjang penyelesaian skripsi atau tugas akhirnya.
"Ada mahasiswa yang mengajukan penelitian skripsi, misalnya tentang peningkatan produktivitas buah naga Banyuwangi, nilainya Rp2 juta atau Rp3 juta, akan kesulitan jika harus mengurus surat-surat. Kan bisa misalnya cukup surat keterangan dari dekan atau rektornya, kemudian menyerahkan hasil penelitiannya ke Pemkab," kata Anas.
Oleh karena itu, Anas berharap pemerintah mengeluarkan peraturan menteri yang mengatur soal tersebut sebagai penerjemahan dari UU 23 Tahun 2014, khususnya pasal 298 yang membahas soal dana hibah.
"Penjelasan hukum baru ini penting agar masyarakat yang dalam kelompok paling rentan tidak kesulitan mengakses dana hibah untuk pemberdayaannya hanya gara-gara masalah prosedural atau administrasi. Tapi saya tekankan, relaksasi untuk kelompok tertentu ini tetap harus taat hukum dan patuh pada nilai-nilai antikorupsi," ujar Anas. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015
"Ini sekaligus bisa tetap menjaga kontinuitas pembangunan dan pemberdayaan masyarakat," kata Anas saat dihubungi dari Banyuwangi, Jawa Timur, Rabu.
Ia bercerita bahwa dirinya sudah mengusulkan kepada pemerintah pusat agar ada penjelasan hukum baru yang mungkin lebih bisa menjamin pelaksanaan pencairan dana hibah dan bansos.
Anas mengatakan, dirinya pada Rabu (23/9), baru saja mengikuti Rapat Koordinaasi Pembahasan Penyerapan Anggaran di Gedung Negara Grahadi, Surabaya.
Rapat tersebut dihadiri oleh Menkopolhukam Luhut B Panjaitan, Mendagri Tjahjo Kumolo, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Jaksa Agung HM Prasetyo, Kapolri Badrodin Haiti, Plt Ketua KPK Taufiquerachman Ruki, Kepala BPKP Ardan Adiperdana, dan Gubernur Jatim Soekarwo.
Seperti diketahui, Mendagri telah menerbitkan Surat Edaran Nomor 900/4627/SJ yang menjelaskan soal mekanisme pencairan dana hibah dan bansos yang diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Dalam SE tersebut disampaikan bahwa pencairan dana hibah dan bansos kepada penerima mensyaratkan pihak penerima harus mempunyai Surat Keterangan Terdaftar (SKT) dari pemerintah daerah untuk badan/lembaga kemasyarakatan dan bila berbentuk ormas harus berbadan hukum dari Kementerian Hukum dan HAM.
Anas berharap, untuk nominal tertentu, dana hibah atau bantuan sosial bisa lebih mudah bagi masyarakat tanpa harus menghilangkan unsur-unsur transparansi dan anti-korupsi. Karena jika ada syarat yang berbelit, kelompok masyarakat tertentu cukup kesulitan.
"Mbok Nah, Mbok Yem, yang nilai hibahnya misalnya Rp2 juta atau Rp3 juta kan susah jika mereka harus mengurus surat segala macam. Saya kira asal penerimanya jelas, didokumentasikan dan dipertanggungjawabkan dengan baik, dana hibah akan sangat bermanfaat bagi masyarakat," katanya.
Dia juga mencontohkan adanya sejumlah mahasiswa yang mengajukan dana hibah penelitian untuk menunjang penyelesaian skripsi atau tugas akhirnya.
"Ada mahasiswa yang mengajukan penelitian skripsi, misalnya tentang peningkatan produktivitas buah naga Banyuwangi, nilainya Rp2 juta atau Rp3 juta, akan kesulitan jika harus mengurus surat-surat. Kan bisa misalnya cukup surat keterangan dari dekan atau rektornya, kemudian menyerahkan hasil penelitiannya ke Pemkab," kata Anas.
Oleh karena itu, Anas berharap pemerintah mengeluarkan peraturan menteri yang mengatur soal tersebut sebagai penerjemahan dari UU 23 Tahun 2014, khususnya pasal 298 yang membahas soal dana hibah.
"Penjelasan hukum baru ini penting agar masyarakat yang dalam kelompok paling rentan tidak kesulitan mengakses dana hibah untuk pemberdayaannya hanya gara-gara masalah prosedural atau administrasi. Tapi saya tekankan, relaksasi untuk kelompok tertentu ini tetap harus taat hukum dan patuh pada nilai-nilai antikorupsi," ujar Anas. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015