Malang (Antara Jatim) - Dewan daerah Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jatim simpul Malang meminta PT Amerta Indah Otsuka bertanggung jawab dan harus segera melakukan pemulihan ekologi di kawasan Hutan Kota Malabar Kota Malang.

"PT Otsuka terlibat sejak awal dalam upaya revitalisasi Hutan Kota Malabar tersebut, sehingga tidak bisa lepas tangan begitu saja terhadap kerusakan ekologinya. Kalau sampai PT Otsuka lepas tangan, kita akan kampanyekan jika PT Otsuka tidak bertanggung jawab," kata Dewan Daerah Walhi Jatim simpul Malang Purnawan D Negara di Malang, Jumat.

Purnawan yang akrab dipanggil Pupung itu menilai pencabutan CSR PT Otsuka terhadap program revitalisasi Hutan Kota Malabar itu bukan atas dasar kesadaran ekologis, namun menghindari konflik dan polemik yang terjadi di kalangan masyarakat.

Menurut dia, tindakan PT Otsuka yang menghindari polemik semakin menunjukan bahwa konsep green management perusahaannya hanya di bibir saja. "Otsuka menjadikan lingkungan sebagai 'fashion branding', hal itu menunjukan Otsuka bukan perusahaan yang memiliki kesadaran ekologi," ujarnya.

Sebab, lanjut Pupung, dengan dana CSR sebesar Rp2,5 miliar, PT Otsuka diiming-imingi iklan dan branding terselubung oleh Pemkot Malang. Jika Otsuka adalah perusahaan yang mengerti benar lingkungan, seharusnya Otsuka tidak bersedia memberikan dana untuk revitalisasi yang cenderung mengarah pada renovasi.

Oleh karena itu, lanjutnya, Walhi akan terus menuntut Otsuka untuk melakukan pemulihan dan surat aduan kepada Konjen Jepang tetap diteruskan. "Isi surat diubah, yang menunjukan bahwa penjarahan ekologi di Malang dilakukan oleh salah satu perusahaan Jepang yang juga nyaris berkontribusi dalam perusakan ekologi di Malang," ucapnya.

Selain menuntut PT Otsuka, Walhi juga menuntut pertanggungjawaban Pemkot Malang yang telah memicu awal kerusakan di Hutan Kota Malabar. Pemkot Malang harus melakukan restorasi ekologi Malabar sesegera mungkin. "Lebih baik pemkot secepatnya berbenah dan melakukan restorasi, jangan malah menyalahkan pihak lain atas pencabutan dana CSR," tegasnya.

Ia mengatakan dalam Perda No 4 Tahun 2011 dijelaskan bahwa revitalisasi penguatan  fungsi ekologis harus dilanjutkan, jika tidak ada dana dari pihak lain, maka dapat menggunakan APBD. "Kalau pemkot enggan menggunakan APBD dan menunggu adanya dana CSR lagi itu menunjukan rendahnya kepedulihan pemkot terhadap lingkungan, kalaupun peduli lingkungan, itu hanya bahan pencitraan saja," katanya.

Jika pemkot beralasan tidak ada dana CSR dan APBD berpotensi mengundang tuntutan hukum, yakni pembohongan publik yang merugikan masyarakat dan pemkot tidak menjalankan amanat UUD.

Sementara itu, Wali Kota Malang Moch Anton mengaku kecewa dengan sikap masyarakat yang mengakibatkan pemberhentian revitalisasi Hutan Kota Malabar. Pemberhentian revitalisasi itu karena ketidaksetujuan masyarakat.

"Kerja sama Pemkot Malang terkait pembenahan Malabar, pada prinsipnya merupakan permintaan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk bekerjasama dengan investor. Kerjasama yang dijalin ini dalam rangka untuk pertumbuhan ekonomi," kata Anton.

Anton mengaku pemkot sudah berbuat untuk masyarakat, namun keberadaan investor ditolak masyarakat. Cari CSR itu tidak mudah, tapi kalau sudah kehendak masyarakat, pemkot akan tetap menerima. "CSR sudah lari, jadi ya terpaksa masyarakat harus menerima, karena ternyata masyarakat tidak setuju dengan program ini," pungkasnya.

 Pemkot Malang berencana melakukan revitalisasi kawasan Hutan Kota Malabar menjadi Taman Kota yang asri dan dilengkapi berbagai fasilitas arena permainan dengan menggandeng PT Otsuka melalui dana CSR-nya sebesar Rp2,5 miliar. Namun, kebijakan itu ditolak warga karena akan berpengaruh terhadap area lahan resapan dan ruang terbuka hijau (RTH).(*)

Pewarta: Edang Sukarelawati

Editor : Tunggul Susilo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015