Surabaya (Antara Jatim) - Mayoritas Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) tidak menghadiri pengukuhan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) periode 2015-2020 di Masjid Istiqlal Jakarta, Sabtu.

"Bagaimana kami mau menghadiri, karena kami tidak mengakui," kata Juru Bicara Forum Lintas Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (FL-PWNU), Andi Jamaro Dulung, dalam keterangan pers yang diterima Antara di Surabaya, Sabtu.

Misalnya, Rais Syuriah PWNU Papua Barat, KH. Ahmadi, mengaku tidak hadir karena kepengurusan PBNU itu hasil produk dari muktamar yang tidak konstitusional dan tidak elegan.

"Keputusan yang kami ambil itu memang pahit, tapi hal itu dalam konteks untuk 'katakanlah kebenaran walaupun itu pahit' (qulil haqqa walau kaana murron)," katanya.

Ia mengalami sendiri  proses Muktamar ke-33 NU di Jombang, Jawa Timur pada 1-6 Agustus 2015 yang berjalan dengan penuh pemaksaan, pelanggaran, dan konspirasi untuk mengegolkan kepentingan tertentu.

Hal sama ditegaskan oleh PWNU Jawa Tengah. "Keputusan untuk tidak hadir itu kami ambil sebagai bagian dari sikap konsisten kami tidak mengakui hasil muktamar, karena banyak pelanggaran," kata  Wakil Sekretaris PWNU Jateng, Amiq Mukhlishin.

Menurut dia, sikap PWNU Jateng itu juga direstui oleh sesepuh NU Jawa Tengah yang menyadari adanya ketidakberesan dalam Muktamar NU sehingga produk yang dihasilkan, termasuk kepengurusan PBNU patut dipertanyakan keabsahannya.

Senada dengan itu, Ketua PWNU Riau Tarmizi Tohor menyatakan tidak hadir dalam pengukuhan PBNU yang tidak sah. "PWNU Riau melalui saya dihubungi berkali-kali oleh pihak yang mengatasnamakan PBNU dan memaksa untuk hadir pada acara pengukuhan," katanya.

Sikap serupa juga ditunjukkan PWNU Kalbar. "Kami ditelepon oleh oknum PBNU yang mengancam akan men-delete PWNU Kalbar kalau tidak hadir. Tapi tetap kita putuskan tidak hadir, kalau ada yang mengaku-aku berarti itu rekayasa mereka," kata Sekretaris PWNU Kalbar, H. Suryansyah.

Tidak jauh berbeda juga disampaikan Rais Syuriah PWNU Bengkulu, KH. Abdul Munir, Ketua PWNU Banten, KH. Makmur Masyhar, dan PWNU Kepri.

"Kami dari PWNU Kepri, Rois Syuriah dan Ketua PWNU sudah memutuskan untuk tidak hadir dan tidak akan mewakilkan," kata Sekretaris PWNU Kepri, H. Syafruddin.

Secara terpisah, pengasuh Pesantren Tebuireng, Jombang, KH Salahuddin Wahid (Gus Solah), mengaku pengacara FL-PWNU telah mengirim surat kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia cq Ditjen Administrasi Hukum Umum perihal Permohonan Pemblokiran (Penundaan) Persetujuan Perubahan AD/ART dan Kepengurusan Perkumpulan NU pada 21 Agustus 2015.

Pada 23 Agustus 2015, pengacara juga telah mengirim surat kepada Kapolri perihal : Laporan Dugaan Terjadinya Tindak Pidana, di mana "Terlapor 1" adalah Panitia Nasional Penyelenggara Muktamar ke 33 NU dan "Terlapor 2" adalah Panitia Daerah Penyelenggara Muktamar ke 33 NU.

"Pengacara pun telah memasukkan surat kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat perihal Gugatan Perbuatan Melawan Hukum, dimana "Tergugat 1" adalah PBNU Masa Khidmah 2010-2015 dan "Tergugat 2" adalah Panitia Nasional Penyelenggara Muktamar ke 33 NU serta "Tergugat 3" adalah Panitia Daerah," tambahnya.

Gugatan Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan oleh Tergugat antara lain adalah pemilihan Rais Aam dan Ketua Umum PBNU yang bertentangan dengan AD/ART dan penetapan materi tentang Khashaish (kekhususan) Ahl Al Sunnah Wa Al Jamaah (Aswaja) yang ternyata mengabaikan tanggapan dan sumbangan pemikiran yang telah disampaikan oleh Forum Lintas Pimpinan Wilayah NU.

Oleh karena itu, KemenkumHAM harus memberi perhatian yang cukup besar terhadap permohonan pemblokiran tersebut di atas. Penyelesaian hukum harus lebih didahulukan dibanding penyelesaian politik. Penyelesaian politik antara lain Presiden menerima "PBNU Hasil Muktamar ke 33" di Istana pada 27 Agustus 2015, atau Wapres Jusuf Kalla menghadiri pelantikan PBNU di Masjid Istiqlal, Jakarta, 5 September 2015. (*)

Pewarta: Edy M Yakub

Editor : Tunggul Susilo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015