Surabaya (Antara Jatim) - "Deoxyribose-Nucleic Acid" (DNA) maupun "Ribose Nucleic Acid" (RNA) bisa menjadi alat bukti agar dapat melegalkan hak perdata anak dari status hukum pernikahan kontrak yang terjadi di beberapa wilayah di Indonesia, seperti di Kecamatan Rembang, Pasuruan maupun Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
"Sebelum tahun 2010 sulit bagi anak hasil perkawinan kontrak untuk mendapatkan haknya, namun sebenarnya anak di luar nikah dari perkawinan kontrak bisa tetap mendapatkan hak perdatanya karena ada UU yang mengaturnya. Setelah ada keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 46/PUU-VIII/2010 anak kawin kontrak ini bisa mendapatkan haknya dari ayah," kata mahasiswa Program Studi Hukum Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya, Ayu Taniza Devi, Rabu.
Ia mengatakan, keputusan MK itu benar-benar mendukung keberadaan anak dari hasil kawin kontrak yang selama ini tidak diakui ayahnya. Meski mereka lahir dalam status luar nikah, anak-anak ini tetap bisa mendapatkan hak perdata dari ayahnya yang dibuktikan dan dituangkan dalam tugas akhirnya yang berjudul Hak Keperdataan Anak dalam Perkawinan Kontrak.
"Meski putusan MK itu berlaku, namun dalam kenyataan di lapangan cukup sulit bagi ibu dan anak hasil kawin kontrak untuk mendapatkan hak perdatanya karena dinilai kurang sosialisasi, proses persidangan pengakuan hak perdata anak itu sulit dan membutuhkan biaya banyak," ujarnya.
Menurut dia, tidak sedikit pula ibu dan anak hasil kawin kontrak di Indonesia yang bisa mendapatkan haknya dengan proses yang cukup rumit, seperti seorang ibu di Cisarua, Bogor berhasil mendapatkan hak perdata anak dari ayah berkebangsaan Jerman melalui tes DNA setelah sebelumnya pernah terikat dalam perkawinan kontrak.
"Tentu tidak mudah bagi ibu untuk mendapatkan hak perdata, apalagi jika keluarga besar ayahnya tidak mau mengakui hasil DNA, maka anak kawin kontrak tetap tidak mendapatkan hak perdatanya. Sebaliknya, bila keluarganya menerima, maka anak kawin kontrak akan mendapatkan haknya seperti anak yang lahir dalam status pernikahan sah," paparnya,
Lebih lanjut dia mengungkapkan, tidak dapat dipungkiri banyak ibu di Indonesia yang enggan mengurus hak perdata anaknya karena tes DNA dinilai mahal serta tidak sedikit keluarga ayah yang menolak status anak kawin kontrak itu.
"Jika status hak anak dari perkawinan kontrak itu bisa diperjuangkan dengan cara tes DNA, maka seharusnya ibu-ibu yang menjadi korban perkawinan kontrak itu harus segera mengurusnya agar jika anak tersebut tumbuh besar nantinya tidak akan mengalami tekanan psikologis," jelasnya.
Ia menambahkan, faktor terjadinya pernikahan kontrak itu adalah faktor ekonomi, kepuasan biologis dari pihak laki-laki, tingkat pendidikan yang rendah dan tidak tersedianya lapangan pekerjaan yang layak.
"Biasanya perkawinan kontrak ini terjadi pada musim Arab atau pada bulan Agustus karena para turis dari Arab atau Timur Tengah sedang menikmati libur musim dingin di negaranya kemudian berlibur ke Kawasan Puncak Cisarua, Bogor kemudian terjadilah transaksi perkawinan kontrak," tandasnya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015
"Sebelum tahun 2010 sulit bagi anak hasil perkawinan kontrak untuk mendapatkan haknya, namun sebenarnya anak di luar nikah dari perkawinan kontrak bisa tetap mendapatkan hak perdatanya karena ada UU yang mengaturnya. Setelah ada keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 46/PUU-VIII/2010 anak kawin kontrak ini bisa mendapatkan haknya dari ayah," kata mahasiswa Program Studi Hukum Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya, Ayu Taniza Devi, Rabu.
Ia mengatakan, keputusan MK itu benar-benar mendukung keberadaan anak dari hasil kawin kontrak yang selama ini tidak diakui ayahnya. Meski mereka lahir dalam status luar nikah, anak-anak ini tetap bisa mendapatkan hak perdata dari ayahnya yang dibuktikan dan dituangkan dalam tugas akhirnya yang berjudul Hak Keperdataan Anak dalam Perkawinan Kontrak.
"Meski putusan MK itu berlaku, namun dalam kenyataan di lapangan cukup sulit bagi ibu dan anak hasil kawin kontrak untuk mendapatkan hak perdatanya karena dinilai kurang sosialisasi, proses persidangan pengakuan hak perdata anak itu sulit dan membutuhkan biaya banyak," ujarnya.
Menurut dia, tidak sedikit pula ibu dan anak hasil kawin kontrak di Indonesia yang bisa mendapatkan haknya dengan proses yang cukup rumit, seperti seorang ibu di Cisarua, Bogor berhasil mendapatkan hak perdata anak dari ayah berkebangsaan Jerman melalui tes DNA setelah sebelumnya pernah terikat dalam perkawinan kontrak.
"Tentu tidak mudah bagi ibu untuk mendapatkan hak perdata, apalagi jika keluarga besar ayahnya tidak mau mengakui hasil DNA, maka anak kawin kontrak tetap tidak mendapatkan hak perdatanya. Sebaliknya, bila keluarganya menerima, maka anak kawin kontrak akan mendapatkan haknya seperti anak yang lahir dalam status pernikahan sah," paparnya,
Lebih lanjut dia mengungkapkan, tidak dapat dipungkiri banyak ibu di Indonesia yang enggan mengurus hak perdata anaknya karena tes DNA dinilai mahal serta tidak sedikit keluarga ayah yang menolak status anak kawin kontrak itu.
"Jika status hak anak dari perkawinan kontrak itu bisa diperjuangkan dengan cara tes DNA, maka seharusnya ibu-ibu yang menjadi korban perkawinan kontrak itu harus segera mengurusnya agar jika anak tersebut tumbuh besar nantinya tidak akan mengalami tekanan psikologis," jelasnya.
Ia menambahkan, faktor terjadinya pernikahan kontrak itu adalah faktor ekonomi, kepuasan biologis dari pihak laki-laki, tingkat pendidikan yang rendah dan tidak tersedianya lapangan pekerjaan yang layak.
"Biasanya perkawinan kontrak ini terjadi pada musim Arab atau pada bulan Agustus karena para turis dari Arab atau Timur Tengah sedang menikmati libur musim dingin di negaranya kemudian berlibur ke Kawasan Puncak Cisarua, Bogor kemudian terjadilah transaksi perkawinan kontrak," tandasnya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015