Tulungagung (Antara Jatim) - Bupati Tulungagung, Syahri Mulyo rupanya pernah meminta agar jadwal kegiatan siraman barongan yang rutin digelar masyarakat lereng Gunung Wilis diganti pada bulan Suro dalam penanggalan Jawa dan bukan pada 17 Agustus, namun ditolak pemuka adat setempat.
    
"Memang pernah ada permintaan dari Bupati Syahri soal pergantian waktu pelaksanaan siraman barongan, namun kami tidak berani meluluskannya karena ini menyangkut tradisi dan adat-istiadat," kata pemuka adat lereng Gunung Wilis di Kecamatan Sendang, Suryani Adi usai kegiatan siraman barongan di Dusun Gondang, Desa Sendang, Kecamatan Sendang, Senin.
    
Ia mengungkapkan, tradisi siraman barongan memiliki sejarah panjang. Pada zaman penjajahan Belanda, tutur dia, tradisi siraman barongan biasanya digelar setiap bulan Juli.
    
Jadwal kegiatan tradisional tahunan di lingkungan masyarakat lereng Gunung Wilis itu kemudian diganti saat penjajahan Jepang, menjadi setiap tahun baru.
    
"Pelaksanaan siraman barongan setelah Indonesia merdeka diganti lagi menjadi setiap 17 Agustus, bersamaan dengan perayaan kemerdekaan RI. Sejak itu tidak pernah berubah lagi hingga sekarang," ujarnya.
    
Alasan munculnya wacana pergantian jadwal tradisi siraman barongan yang diusulkan Bupati Syahri Mulyo menurut Suryani pada dasarnya bisa dimengerti, karena sebagai kepala daerah ia selalu tidak bisa menghadiri ritual adat tersebut lantaran bersamaan dengan upacara bendera peringatan HUT Kemerdekaan RI di halaman pemkab.
    
"Kalau diubah, kami tidak berani dengan 'bala' atau dampaknya karena bisa menyalahi tradisi serta adat-istiadat," ujarnya.
    
Suryani menggambarkan, tradisi siraman barongan memiliki keterkaitan dengan peristiwa sejarah kembalinya Prabu Tribuana Tungga Dewi ke Kerajaan Majapahit bersama seluruh bala pasukannya setelah menepi di lereng Gunung Wilis, persis di lokasi situs Mbah Bodo tempat dilakukannya ritual siraman. (*)

Pewarta: Destyan H. Sujarwoko

Editor : Tunggul Susilo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015