Surabaya (Antara Jatim) - Pengamat Politik Universitas Airlangga (Unair) Hariadi menyatakan munculnya satu pasangan calon dalam pemilihan kepala daerah dan wakilnya di beberapa daerah di Indonesia akibat dari adanya pergeseran orientasi partai politik dari upaya menggapai kekuasaan berubah optimalisasi raihan material.

"Memang tak disangka ada pergeseran orientasi, bukan lagi kekuasaan tapi duit," kata Hariadi kepada wartawan di Surabaya, Rabu.
    
Menurut dia, momentum pilkada saat ini dimanfaatkan untuk mengoptimalisasi raihan material. Meski sejatinya, dalam kontestasi pilkada partai politik berupaya menggapai kekuasaan.
    
Berdasarkan sejarah pembuatan UU 8 Tahun 2015 tentang Pilkada,  konstestasi pesta demokrasi itu minimal diikuti dua pasangan calon, karena partai politik kala itu bersemangat menggapai kekuasaan.
    
Ia menegaskan, pilkada dijadikan sarana untuk menegosiasi raihan material dengan memanfaatkan celah undang-undang yang ada. Ia mengakui, berdasarkan aturan hukum, karena merujuk undang-undang, tidak ada yang salah dalam PKPU 12 Tahun 2015 tentang pencalonan kepala daerah, yang isinya menyebutkan jika  hanya ada satu pasangan calon dalam pilkada, semua proses tahapan ditunda hingga 2017.
    
Namun, lanjut dia, dari kacamata politik, fenomena tersebut dinilai sebagai petaka dalam peradaban politik. "Ini petaka, karena aturan itu memfasilitasi orang untuk bernegosiasi dengan kekuatan politik yang ada," tegasnya.
    
Padahal sebelumnya, pada PKPU 9 tahun 2015 jika ada satu pasangan, jadwal pendaftaran diundur. Tetapi aturan itu akhirnya diubah menjadi PKPU 12 tahun 2015.
    
Hariadi menilai munculnya satu pasangan calon dalam pilkada menunjukkan kelemahan kaderisasi partai politik. Anggota  Asosiasi Ilmu Politik (AIPI) Jatim ini apabila berorientasi materi, partai politik hanya berpikir untuk kepentigan jangka pendek.
    
Ia menambahkan orientasi material  parpol ditunjukkan dalam bentuk menggalang koalisi antara beberapa parpol untuk menegosiasi. Apabila tujuan tersebut tidak tercapai maka akan menghambat proses pemilihan.
    
"Raihan material parpol dengan menggalang koalisi apapun namanya, kalau kamu tidak kasih uang, maka akan saya hambat," kata Hariadi.
    
Menanggapi perlu tidaknya peraturan pengganti undang-undang guna mengantisipasi munculnya hanya satu pasangan calon dalam pilkada, dosen Unair ini mengaku tidak selaras dengan pendapat Mendagri yang menyatakan, Perppu belum urgen, karena dari 269 pilkada, hanya ada 7 daerah yang pasangan calon hanya satu, dan satu daerah yang tidak mempunyai pasangan sama sekali.
    
"Pernyataan itu kurang pas, mestinya aturan kontestasi tidak boleh ada satu pun pasangan calon yang dirugikan," katanya.
    
Dalam prinsip kontestasi, menurutnya harus ada pasangan calon yang menang. Ia menegaskan, jika Mendagri dan KPU berkaca pada pengalaman di beberapa negara lain, seperti  Amerika Serikat, Kanada, Malaysia dan Filipina. Untuk mengatasi munculnya satu pasangan calon, negera-negara tersebut mempunyai skenario.
    
Ia menyebut di Amerika dikenal "Uncontested Election" (pemilu tanpa kontestasi), dimana karena hanya ada satu pasang calon setelah masa pendaftaran habis, yang bersangkutan ditetapkan sebagai pemenang.
    
"Di AS namanya Work over atau WO, sedangkan di Kanada Aclamation (Aklamasi)," katanya.
    
Hal itu terjadi karena hak sudah diberikan untuk berkontestasi. Jika tidak digunakan , maka yang mendaftar dinyatakan sebagai pemenang. Pria berkacamata ini mengakui, idealnya  untuk memperbaiki sistem pelaksanaan pilkada, yang diubah adalah konstruksi undang-undangnya.
    
Namun, ia memperkirakan saat ini untuk mengubah undang-undang waktunya terbatas. "Untuk ubah undang-undang waktunya mepet sekali, gak mungkin," ujarnya.
    
Hariadi mengungkapkan solusi yang bisa ditempuh untuk mengatasi masalah munculnya satu pasangan calon, padahal dalam undang-undnag minimal dua pasangan adalah dengan terbitnya peraturan pengganti undnag-undang (Perppu), yang isinya menyebutkan, jika hanya ada satu pasangan calon, dinyatakan sebagai pemenang (uncontested Election).
    
"Rujukan historisnya ada, base practised di dunia juga ada," tegasnya.
    
Hanya saja, setelah 30 hari Perppu terbit akan dibahas di DPR-RI. Ia menduga peluang  perppu disetujui sangat besar. Jika tidak, yang akan dirugikan beberapa partai politik.
    
"Di Jatim dari 3 daerah yang hanya ada satu pasanga calon, dua daerah, yakni Surabaya dan Kabupaten Blitar berasal dari PDIP. Di Pacitan, Partai Demokrat dan beberapa daerah lain di luar Jawa dikuasai Partai Golkar," terangnya.
    
Hariadi menambahkan, alternatif lain untuk mendorong partai politik terlibat dalam persaingan dalam pilkada adalah dengan membuat PKPU atau Perppu, yang menegaskan, petahana mundur dari jabatannya setelah ada penetapan sebagai pasangan calon dari KPU.
    
Apabila hanya ada satu pasangan calon, lanjut dia, petahana akan melanjutkan jabatannya hingga pelaksanaan pilkada. "jika PKPU itu dibuat, partai akan berkepantingan menjadi pasangan calon," katanya. (*)

Pewarta: Abdul Hakim

Editor : Endang Sukarelawati


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015