Trenggale (Antara Jatim) - Pemerintah Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur menjadikan tradisi tahunan Lebaran Ketupat di Durenan dan Kelutan sebagai ikon wisata religi yang bisa menarik kunjungan wisatawan lokal maupun luar daerah, termasuk mancanegara.

"Sudah bertahun-tahun budaya Lebaran Ketupat ini, terutama yang di Durenan tumbuh dan berkembang. Jadi sudah patut dijadikan ikon Wisata Religi di Trenggalek," kata Kabag Humas Pemkab Trenggalek, Yuli Priyanto di Trenggalek, Rabu.

Tidak hanya berkembang di Durenan, tradisi Lebaran Ketupat juga mulai menyebar hingga wilayah kota setempat, terutama di Kelurahan Kelutan.

Penyelenggaraan Lebaran Ketupat di dua daerah itu selalu menarik perhatian puluhan ribu bahkan ratusan ribu pengunjung dari dalam maupun luar daerah.

Selain bertujuan anjangsana dalam rangka berlebaran atau halal bil halal, banyak warga yang menikmati suasana Lebaran Ketupat di Durenan maupun Kelutan untuk sekedar menikmati sajian ketupat sayur opor yang dihidangkan oleh setiap rumah maupun kelompok warga.

Tidak hanya itu, khususnya di Kelurahan Kelutan, warga dan pengunjung juga dihibur berbagai pertunjukkan kesenian tradisional, hadrah, musik dangdut, barongsai hingga pawai pemuda antarlingkungan dengan berbagai kostum.

"Semua merupakan inisiatif dan hasil swadaya masyarakat. Pemkab aktif melakukan pendampingan serta pembinaan melalui pemerintah desa/kelurahan serta kecamatan. Selebihnya merupakan kreatifitas warga dan tumbuh secara alami," terang Yuli.

Sesuai kesepakatan alim ulama setempat, Lebaran Ketupat yang sesuai ketentuan digelar pada H+8 Hari Raya Idul Fitri 1436 Hijriah jatuh pada Jumat (24/7).

Pelaksanaan Lebaran Ketupat dirayakan masyarakat Trenggalek setelah menunaikan ibadah sunah puasa Syawal selaman enam hari berturut, terhitung mulai H+2 Idul Fitri 1436 Hijriah yang jatuh pada Jumat (17/7).

Dalam sejarahnya, Lebaran Ketupat Durenan telah berusia sekitar dua abad lebih.

Tradisi Lebaran Ketupat yang berkembang sejak zaman Kerajaan Islam pertama di Jawa, Kerajaan Demak, yang disebarkan oleh seorang tokoh Islam asal Arjosari, Pacitan yang bermukim di daerah Durenan, Trenggalek, KH Abdul Masyir atau Mbah Mesir pada pertengahan abad 18 Masehi.

Saat itu, Mbah Mesir yang menjadi pemuka agama Islam dan panutan kaum muslim di pesisir selatan Jatim selalu menjalankan ibadah sunah  puasa syawal selama enam hari berturut, terhitung pada H+2 Hari Raya Idul Fitri dengan melakukan tirakatan bersama di pendopo Kabupaten Trenggalek.

Selesai menjalankan ibadah sunah puasa syawal, Mbah Mesir lalu pulang ke Pondok Pesantren Babul Ulum yang diasuhnya di Desa Durenan, Kecamatan Durenan dan merayakan Lebaran Ketupat bersama seluruh santri, sanak saudara, serta warga sekitar.

Ajaran KH Abdul Masyir itu selanjutnya diikuti oleh para pengikut serta sanak-saudaranya sehingga terus berkembang hingga sekarang. (*)

Pewarta: Destyan H. Sujarwoko

Editor : Tunggul Susilo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015