Lamongan (Antara Jatim) - "Maqom Raden Qosim, Sunan Derajat, Sunan Mayang Madu Bin Sunan Ampel. Dilarang mengambil gambar". Demikian tulisan yang terukir di atas papan kayu jati di pintu masuk cungkup Makam Sunan Drajat, di Desa Drajat, Kecamatan Paciran, Lamongan, Jawa Timur.

"Tulisan itu dipasang untuk mencegah agar di depan makam tidak dimanfaatkan peziarah untuk berfoto. Tapi, kalau makamnya mau difoto tidak apa-apa kok," ucap seorang pekerja di kompleks Makam Sunan Drajat, Syamsul Arif, dalam perbincangan.

Ia menjelaskan sangat tidak pantas, apabila makam seorang tokoh agama yang dikenal sebagai Wali Allah, dimanfaatkan untuk berfoto, karena akan mengurangi kekhusukan peziarah lainnya, yang berdoa di makam.

"Peziarah baru mulai ramai beberapa hari terakhir ini terutama malam hari, dengan jumlah rata-rata sekitar 100 peziarah per hari dari berbagai daerah," jelas Juru Kunci Makam Sunan Drajat, Maslukhin (50).  

Sebelumnya, katanya, sejak awal Puasa Ramadhan, sampai beberapa hari, Makam Sunan Drajat hanya dikunjungi warga lokal. "Di awal puasa jumlah pengunjungnya bisa dihitung dengan jari," ucapnya.

Berkurangnya jumlah peziarah, menurut dia, juga membawa pengaruh omzet sekitar 200 pedagang cendera mata juga makanan di kompleks Makam Sunan Drajat.

Begitu pula, pedagang yang menempati tanahnya sendiri, termasuk penjual jasa parkir dan penginapan di sekitar kompleks Makam Sunan Drajat, juga pendapatannya menyusut drastis dibandingkan hari-hari biasa.

Namun, menurut Maslukhin, kalau hari-hari biasa, atau hari Sabtu dan Minggu, jumlah peziarah yang datang dari berbagai daerah di Tanah Air, dari berbagai kalangan, mencapai ribuan.

Tidak kurang pejabat negeri ini, juga mengunjungi  Makam Sunan Drajat, di antaranya, mantan Gubernur DKI Sutiyono yang kini Kepala BIN, dan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang datang ke makam setempat pada 2014.

"Datanya ada di kantor, tapi kalau hari Sabtu dan Minggu, jumlah peziarah bisa mencapai ribuan peziarah yang datang dengan kendaraan pribadi dan bus," tandasnya.

Peziarah, lanjut dia, bisa juga memanfaatkan mobil penumpang umum (MPU) dari Jalan Raya Sokodadi, Lamongan, menuju makam yang jaraknya sekitar 35 kilometer, dengan ongkos Rp12.000/orang.

Peziarah Kalimatan
Ia menyebutkan peziarah yang datang ke Makam Sunan Drajat, selain dari berbagai daerah di Jawa, dan Madura, juga banyak dari luar Jawa, seperti Kalimantan."Pengunjung luar negeri belum pernah ada," ucapnya.

"Selama puasa saya hanya berjualan malam hari, ya wajar kalau omzet menurun dibandingkan hari biasa," kata seorang pedagang makanan di depan Makam Sunan Drajat, Imron, menambahkan.

Sebagaimana dijelaskan Imron, keberadaan Makam Sunan Drajat, mampu menciptakan lapangan pekerjaan bagi warga di Desa Drajat, dengan menjual berbagai aneka makanan juga cendera mata.

"Sebagian besar penjual makanan dan cinderamata yang lokasinya di terminal juga Warga Drajat. Kalau ada warga dari luar jumlahnya sedikit," jelas dia.

Hanya saja, ia mengakui produk batik Sendangduwur, juga di Kecamatan Paciran, yang jaraknya hanya sekitar 7 kilometer, belum pernah dipasarkan pedagang di kompleks Makam Sunan Drajat.

Pedagang pakaian di kompleks makam, lanjut dia, lebih banyak menerima pasokan batik, berupa kain, kaos, juga pakaian dari Solo, Jawa Tengah dan Tuban.

"Saya kurang tahu pasti penyebab batik Sendangduwur tidak dipasarkan di sini. Mungkin batiknya bagus dan harganya mahal," paparnya.

Dari data yang ada, menurut Muslikhun, Makam Sunan Drajat yang terbagi dalam dalam tiga halaman dengan posisi tertinggi berdiri di atas lahan sekitar 5 hektare, termasuk terminal.

Di bagian selatan, terdapat sejumlah bangunan rumah joglo, termasuk di bagian timurnya terdapat masjid dari kayu. Bangunan cungkup Makam Sunan Drajat, berukuran 9,4x9,4 meter dengan tinggi tinggi 7 m, atap model joglo terbuat dari kayu jati berpenutup sirap.

Menurut Muslikhun, pengelola Makam Sunan Drajat yaitu mantan Kepala Desa (Kades) Desa Drajat, Haji Bakrim.

Tapi, katanya, lokasi tanah Makam Sunan Drajat termasuk terminal milik Pemkab Lamongan, sehingga dalam pengelolaannya perolehan pendapatan dari peziarah dibagi antara pengelola dengan pemkab.

 "Makam Sunan Drajat dikelola Haji Bakrim sejak 2006. Sebelumnya dikelola pemkab," ucapnya.

Meskipun Makam Sunan Drajat dikelola perseorang, tetapi pembenahan lingkungan kompleks makam terus dilakukan, agar semakin mampu menarik jumlah wisatawan domestik (wisdom).

Seperti juga dijelaskan pekerja Syamsul, dirinya selama Puasa Ramadhan ini, bersama dengan tujuh pekerja lainnya, membangun teras peneduh di bagian utara.

Teras dibagian utara itu, lanjut dia, untuk menambah atap besi berukuran sekitar 30 x 30 meter, yang dibangun sejak setahun lalu, untuk mengamankan peziarah agar tidak kepanasan dan kehujanan.

"Pembangunan atap sejak setahun lalu. Informasinya menghabiskan biaya Rp1 miliar lebih," jelasnya.

Dimintai konfirmasi, Pimpinan Pondok Pesantren Sunan Drajat Kiai Abdul Ghofur, Pondok pesantren Sunan Drajat merupakan satu-satunya pesantren peninggalan wali di tanah Jawa yang masih tersisa. Sedangkan delapan wali lainnya, hanya menyisakan makam.

Dianggap satu-satunya peninggalan wali, karena hingga sekarang ini Ponpes Sunan Drajat masih dimanfaatkan sebagai pusat kegiatan belajar mengajar Agama Islam.

Mulai TK hingga Universitas dengan jumlah siswa dan mahasiswa sekitar 8.000 orang. Mereka datang dari berbagai daerah di Indonesia.

"Dulu di sinilah Sunan Drajat mengajar para santrinya," imbuhnya.

 Abdul Ghofur mengungkapkan pesantren Sunan Drajat didirikan Sunan Drajat pada 1460. Kini pesantren Sunan Drajat telah berubah menjadi pesantren megah, yang pembangunannya menghabiskan dana Rp150 miliar, termasuk di dalamnya pemancar radio FM.

 "Di sinilah satu-satunya peninggalan wali di Tanah Jawa yang masih tersisa termasuk sumur yang berada di dalam masjid di ponpes," katanya. (*)

Pewarta: Slamet Agus Sudarmojo

Editor : Chandra Hamdani Noer


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015