Batik di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, memiliki sejarah besar, bahkan pernah mengalami masa jaya sehingga menjadi penyuplai produk bernilai seni tinggi itu ke luar daerah.

Di antara bukti kejayaan masa lalu itu, Ponorogo pernah memiliki bengkel batik yang merupakan satu-satunya di Indonesia. Bengkel itu menjadi tempat mendidik pelaku batik, baik dari sisi teknis maupun sisi pemasaran dan manajemen.

Kini batik di Ponorogo hanya menyisakan segelintir orang yang setia pada jalan seni di bidang busana itu. Salah satunya adalah Mariana. Perempuan yang beberapa periode duduk sebagai anggota DPRD Kabupaten Ponorogo itu membuka usaha di rumahnya di Jalan Semeru Nomor 30 Ponorogo.

Perempuan yang lama aktif di organisasi Nahdaltul Ulama ini sejatinya meneruskan usaha batik orang tuanya Faisoluddin yang dimulai sejak 1921. Pada 1970 hingga 1981 usaha itu vakum dan Mariana memulai kembali dan mengendalikan usaha mulai 1984.

"Tapi ya begini ini kondisinya. Besar belum, tapi mati juga tidak mau. Sekarang kondisinya memang beda. Dari sisi motif, dulu konsumen yang nyari batik, sekarang batik yang mencari konsumen. kalau dulu batik apapun pasti laku, sekarang harus mengikuti kemauan konsumen," katanya.

Karena itu, katanya, kondisi tersebut memerlukan kreativitas dari para pebatik agar produknya diminati oleh konsumen. Kebetulan saat ini yang laku adalah batik tulis. Motif yang biasa ia buat adalah flora dan fauna, termasuk bulu merak yang merupakan asesoris reog, kesenian khas Ponorogo.

Ia bercerita bahwa pada masa jayanya sekitar 1970-an di Ponorogo ada sekitar 750 pengusaha batik dan pada 1980-an hanya menjadi belasan. Mulai 2000-an hingga kini pengusaha batik di Ponorogo mulai berusaha bangkit lagi.

Di Batik Mariana sendiri pernah memiliki 35 pekerja dan kini tinggal empat orang yang tetap, sementara yang bekerja di rumah masing-masing sebanyak 14 orang. Karena itu kalau kemudian banyak permintaan batik, Mariana dan pekerja lainnya mendidik pekerja secara dadakan.

Untuk mengembalikan kejayaan batik Ponorogo ia berkali-kali mengusulkan ke pemerintah daerah agar ada seragam batik khas Ponorogo, khususnya saat garebek suro. Agar semua pengusaha merasakan manfaatnya, ia mengusulkan agar penggunaan batik itu tidak harus satu motif.

Menurut dia, usaha batik layak didorong karena bisa melibatkan ibu-ibu rumah tangga agar memiliki penghasilan. Apalagi batik bisa digololngkan pekerjaan padat karya. Satu lembar kain batik bisa melibatkan enam pekerja.

"Batik juga melatih kesabaran lho. Saya melihat para pebatik di tempat ini sabar-sabar semua. Waktu di Mesir saya didatangi oleh kepala sekolah setingkat SMP di sana yang anaknya berperangai keras dan mau diikutkan kelas belajar batik," katanya.

 Menurut Mariana, batik juga sarat dengan filosofi. Misalnya di batik bermotif sidomukti ada unsur udara, darat, laut dan tempat ibadah yang melambangkan harmoni manusia dengan lingkungan dan penciptanya.

Selain melayani motif-motif yang sudah pakem, Mariana juga biasa melayani pembeli yang menginginkan motif baru dengan filosofi khas. Ia pernah membuat motif yang sampai kini belum bisa diberi nama karena kesulitan mencari kata dalam Bahasa Kawi atau Jawa kuno.

Batik itu dibuat dengan motif sembilan mawar, daun waru, panah bermata tiga sebagai penyangga di bawah, kemudian dua merpati bertengger di bagian atas. Mawar melambangkan jiwa Rasulullah bersama para sahabat dan penerusnya, panah bermata tiga melambangkan iman, ihsan dan Islam.

"Daun waru melambangkan hatinya umat dan dua merpati melambangkan harmoni. Kalau sudah seperti itu, maka surga adalah tempatnya. Batik itu memang akan digunakan untuk pernikahan," tuturnya.

Menghasilkan batik tulis memang tidak mudah. Saat ini Mariana hanya menghasilkan satu batik tulis halus setiap bulan. Kain batik berukuran 2 meter x 50 sentimeter itu dijual Rp2 juta per lembar. Untuk batik sedang, bisa dihasilkan tiga lembar per bulan. Batik itu dijualnya Rp500 ribu per lembar.

"Untuk batik tulis biasa yang harganya antara Rp110 ribu hingga Rp200 ribu, sebulan bisa menghasilkan 10 sampai 20 lembar. Kalau yang batik cap bisa 1.500 per bulan dengan harga sekitar Rp100 ribu. Untuk yang gabungan tulis dengan cap bisa 500 potong dengan harga sekitar Rp150 ribu," katanya.

 Ia mengemukakan bahwa meskipun usahanya belum sebesar yang diharapkan, dia bertekad untuk tidak berhenti membatik karena sudah menjadi bagian dari hidupnya. "Selain itu agar tidak cepat pikun," katanya tertawa.

Dalam buku berjudul "Keeksotikan Batik Jawa Timur; Memahami Motif dan Keunikannya" yang ditulis oleh Dr Yusak Anshori dan Adi Kusriyanto disebutkan bahwa seni batik di Ponorogo memiliki riwayat yang cukup tua.

Disebutkan bahwa daerah perbatikan lama ialah di daerah Kauman yang sekarang dikenal sebagai Kepatihan Wetan. Dari Kauman itu batik kemudian meluas ke desa-desa Ronowijoyo, Mangunsuman, Kertosari, Setono, Cokromenggalan, Kadipaten dan lain-lain.

Dijelaskan bahwa saat itu zat pewarna yang digunakkan masih alami yang berasal dari kayu-kayuan, seperti mengkudu dan kayu tinggi. Sementara kain dasarnya sudah dibuat dengan menggunakan mesin.

Batik cap di Ponorogo baru dikenal setelah Perang Dunia I. Awalnya teknik cap ini dibawa oleh seorang pengusaha Tionghoa asal Bayumas, Jawa Tengah, Kwee Seng, ke Ponorogo. Saat itu sekitar awal abad ke-20 daerah Ponorogo terkenal batiknya menggunakan pewarna nila yang tidak luntur.

Hal itu yang menyebabkan pengusaha-pengusaha batik dari Banyumas dan Solo yang kebanjiran order memberikan pekerjaan kepada pengusaha-pengusaha batik cap di Ponorogo. Batik cap asal Ponorogo dikenal sebagai batik kasar berbahan mori biru dengan harga yang lebih murah. Hal ini yang membuat batik cap kualitas kasar dari Ponorogo kemudian terkenal di seluruh Indonesia.

Dalam hal batik tulis, zaman dulu pebatik Ponorogo banyak menyuplai kebutuhan batik di pasar Jawa Tengah. Itulah sebabnya banyak pebatik di Ponorogo menghasilkan motif-motif klasik Jawa Tengah yang banyak dipesan orang.

Sebagai contoh hingga kini motif Sekar Jagad dengan sentuhan khas batik Ponorogo yang berorientasi ke selera Jawa Tengahan, seperti warna hitam, coklat dan putih yang masih banyak dibuat.

Sementara budayawan asal Ponorogo Dr Sutejo, MHum mengemukakan batik adalah aset budaya dari Kota Reog itu untuk bisa dikembangkan di masa depan.

Ia menyarankan pemerintah daerah mewajibakn sekolah untuk menjadikan batik sebagai kegiatan ekstra kurikuler. Apalagi batik di daerahnya memiliki sejarah besar sehingga mampu membuat stadion, gedung koperasi megah, gedung sekolah, dan pabrik mori yang juga besar.

"Pertimbangan filosofisnya, batik itu bernilai seni tinggi, simbol kebudayaan, dan dapat menjadi terapi mental untuk kesabaran, dan ketelatenan atau keuletan," kata dosen di Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) PGRI Ponorogo ini.

Sutejo juga mengusulkan perlunya gerakan kebudayaan untuk membangkitkan kejayaan batik di Ponorogo, misalnya pegawai pada hari tertentu wajib menggunakan batik asli Ponorogo.

"Secara ekonomi, potensi eksplorasi batik di Ponorogo sangat bagus. Ini karena ada kegiatan besar rutin di Ponorogo, seperti peringatan HUT Ponorogo, garebeg Suro, peringatan Agustusan, Lebaran dan lainnya," imbuhnya.(*)

Pewarta: Masuki M. Astro

Editor : Chandra Hamdani Noer


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015