Ponorogo (Antara Jatim) - Di antara maraknya grup reog yang hidup di berbagai daerah di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, dalam beberapa tahun terakhir muncul reog kreasi yang bisa disebut obyokan.
     
Reog obyokan adalah reog yang ditampilkan dengan mengakomodasi seni-seni lain, khususnya yang modern, seperti masuknya lagu dangdut dan lainnya.
     
Camat Jetis, Ponorogo, Fadhlal Kirom, juga mengakui bahwa di desa-desa di wilayah kerjanya juga banyak reog obyokan dan itu sangat digemari oleh masyarakat.
     
Ia mengemukakan bahwa salah satu masalah yang dihadapi kesenian tradisional adalah tidak mampunya seni itu menghidupi para pelakunya secara ekonomi. Dengan reog obyokan, diakui grup itu banyak mendapat undangan pentas di masyarakat.
     
"Reog obyokan itu adalah realitas yang berkembang di masyarakat bawah. Reog obyokan itu kadang mirip kayak campur sari. Pakai lagu-lagu pesanan. Jathil menjadi fokusnya, seperti sinden," kata budayawan asal Ponorogo Dr Sutejo.
     
Ia menilai reog kreasi itu merupakan salah satu cara hidup masyarakat kelas bawah pecinta seni tradisi di desa-desa. Dengan cara seperti itu grup mereka bisa eksis karena sering mendapat tanggappan pentas dari orang yang punya hajatan, seperti sunatan, pernikahan, syukuran dan lainnya.
     
"Mereka tidak mikir dengan konsep pembakuan tari reog yang dilakukan oleh pemerintah daerah, dalam hal ini dinas pariwisata. Pembakuan itu kan hanya di panggung festival, sementara di masyarakat justru hidup yang lebih adaptif dengan kreasi dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat bawah," kata dosen di Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) PGRI Ponorogo ini.
     
Menurut pengamatannya, reog obyokan itu sudah berjalan dalam 12 tahun terakhir. Ia mengakui adanya sudut pandang berbeda antara pelaku reog di tingkat bawah dengan keinginan pemerintah daerah. Hal itu sebetulnya sesuatu yang wajar dalam pergumulan sosial dan budaya.
     
"Sama dengan Bahasa Indonesia, ada yang baku, namun praktiknya, kan menggunakan secara bebas. Ini memang menjadi dilema. Kalau diakomodasi, nanti dikhawatirkan akan merusak pakem dan filosofi dari cerita reog. Sementara di sisi lain, masyarakat memandang dari aspek hiburan dan meriahnya saja, tidak peduli dengan pakemnya," katanya.
     
Hanya saja, ia mengajukan jalan tengah agar keduanya bisa sama-sama berjalan. Misalnya pemerintah daerah memberikan sarana juga sehingga ada reog versi hiburan (obyokan) dan ada yang versi festival atau sesuai pakem.
     
Kepala Bidang Kebudayaan pada Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga (Disbudparpora) Pemkab Ponorogo Bambang Wibisono mengemukakan pemerintah daerah memang menekankan keaslian reog sesuai pakemnya.
     
Pada ketentuan dalam festival, baik saat HUT Ponorogo maupun saat Garebeg Syuro, pihaknya tetap berpatokan bahwa semua grup reog harus berpegang pada pakem atau tidak mengakomodasi munculnya reog kreasi.
     
"Kami memang menegaskan tidak boleh boleh ada kreasi, seperti menambah instrumen atau kostum. Ini kami lakukan demi menjaga kemurnian reog," katanya.
     
Meskipun ketentuan itu sudah baku, kata dia, tidak mengurangi animo pelaku seni reog untuk mengikuti festival. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir grup reog lokal dibatasi karena animo grup dari luar Ponorogo sangat tinggi.
     
Festival yang diselenggarakan selama lima malam itu hanya maksimal menampilkan 45 dari idealnya 40 grup. Dengan 45 grup, maka setiap malam ditampilkan sembilan grup. Sebelumnya festival itu masih bisa menambah jumlah grup yang tampil karena dimulai sejak sore hari.
     
"Tapi karena banyak yang meminta tampil malam, akhirnya dimulai malam hari. Dengan durasi tampilan setiap grup sekitar 20 menit, maka setiap hari pementasan berakhir hingga tengah malam. Kasihan yang tampil terakhir karena penontonnya sedikit," katanya.
     
Bambang menjelaskan bahwa pihaknya mengakomodir banyak grup dari luar Ponorogo, yakni 25 grup, sementara dari lokal hanya sekitar 20 grup. Biasanya, dari kecamatan diambil lima grup dan selebihnya dari sekolah-sekolah di daerah itu.

"Memang ada suar-suara yang tidak enak dengan pembatasan ini. Mau bagaimana lagi, karena banyak grup dari luar yang mau ikut. Ada yang dari Lampung itu sampai ikut 18 kali. Dan mereka bangga meskipun tidak pernah menang dalam festival," katanya.
     
Ketua Komisi D DPRD Ponorogo Sukirno mengemukakan bahwa reog kreasi memang berkembang di luar perlombaan atau festival. Diakui bahwa dengan adanya kreasi itu memang menarik minat masyarakat untuk menyaksikan pementasan.

Namun demikian, pihaknya bersama pemerintah daerah belum berpikir untuk membuatkan wadah tampil bagi reog obyokan tersebut. Hal itu dikhawatirkan akan merusak atau bahkan justru bisa mengalahkan reog yang berpegang teguh pada pakem.
     
Sementara Ramelan (65), salah seorang pelaku reog, lebih melihat kesenian itu secara keseluruhan yang dianggapnya ada penyimpangan dari aslinya. Ia melihat bahwa kesenian reog itu dari awal sudah mengandung aspek dakwah.
     
Karena mengandung aspek dakwah, kebiasaan yang kini melekat pada reog, seperti minuman keras juga dianggap menyimpang dari aslinya. Diakui bahwa di sejumlah daerah masih ada pemain-pemain reog yang suka meminum arak di sela-sela pentas.
     
"Reog yang asli itu tidak ada minuman keras. Kalau sekarang ada, itu hanya orang per orang saja, bukan bagian dari reog," kata Mbah Ramelan, demikian panggilan akrab lelaki yang kini tinggal di Kecamatan Siman ini.
     
Sementara salah seorang tokoh yang juga juru kunci makam Bathoro Katong, Sunardi, juga sependapat dengan Mbah Ramelan mengenai filosofi reog. Ia menyoroti warok yang aslinya merupakan tokoh yang hidupnya prihatin, sehingga tidak mungkin memiliki tubuh yang kekar seperti saat ini.
     
"Kalau yang asli itu, makan dan minumnya saja ditakar. Mereka sering berpuasa dan lelaku lainnya. Dengan seperti itu, maka tidak mungkin mereka memiliki badan besar dan kekar," katanya. (*)

Pewarta: Masuki M. Astro

Editor : Tunggul Susilo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015