Hampir semua kesenian tradisional kini berada dalam posisi berhadap-hadapan dengan produk budaya modern yang memiliki daya tarik lebih kuat.
     
Reog, kesenian tradisional kebanggaan masyarakat Ponorogo dan yang memiliki garis darah ke Ponorogo, juga berada di posisi demikian. Hanya saja, nasib baik masih berpihak pada kesenian yang di dalamnya ada pemain bernama warok, jathil, pebarong dan lainnya.
     
Nasib baik reog dapat dilihat dari fakta bahwa hampir semua desa dan kelurahan di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, memiliki grup reog. Bahkan dalam satu desa bisa memiliki lebih dari satu grup. Grup-grup itu terus eksis berpentas, baik untuk "tanggapan" (permintaan untuk pertunjukan) bagi warga yang memiliki hajat tertentu, maupun saat kegiatan-kegiatan festival.
     
Ketua Komisi D DPRD Ponorogo Sukirno berharap semua desa di wilayah itu segera memiliki grup seni tradisional reog.
     
"Dari 300-an desa di Ponorogo, sudah lebih banyak yang memiliki grup reog dan kami harapkan semua segera memiliki grup," katanya kepada Antara.
     
Pihaknya terus mendorong dan mendukung upaya Dinas  Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga (Disbudparpora) Kabupaten Ponorogo untuk mewujudkan semua desa dan kelurahan di daerah itu masing-masing memiliki grup kesenian reog.
     
Ia mengaku kehidupan reog di daerahnya sangat bagus karena sejak dini, anak-anak sekolah sudah dikenalkan. Disbudparpora mendukung sekolah-sekolah yang kini mengadakan ekstra kurikuler seni reog.
     
Biasanya di sekolah, anak-anak itu ada yang memilih seni jathilannya atau karawitannya. Tergantung masing-masing dan itu sangat membantu upaya pelestarian reog di Ponorogo. Apalagi pemerintah daerah juga memberikan bantuan, termasuk untuk grup di desa-desa.  
     
Sukirno mengemukakan bahwa semangat anak muda di Ponorogo luar biasa dalam upaya melestarikan reog. Mereka memiliki kebanggaan yang tinggi atas kesenian yang salah satu pemainnya menggunakan asesoris gabungan wajah harimau dengan hiasan bulu burung merak di bagian atasnya itu.
     
"Kesadaran masyarakat untuk melestarikan reog juga sangat tinggi, apalagi setelah adanya festival yang rutin digelar setiap tahun. Itu juga sangat mendukung," katanya.
 
Peneliti tradisi dari Universitas Jember Prof Dr Ayu Sutarto mengemukakan senyatanya tantangan yang harus dihadapi oleh para pewaris aktif (pelaku) seni pertunjukan tradisional agar bertahan hidup di tengah-tengah pergumulan antara selera lokal dan selera global sangatlah berat.
     
Di satu sisi mereka (para pewaris aktif) memiliki komitmen yang kuat dan tulus untuk senantiasa memelihara dan mencintai tradisinya, tetapi di sisi lain mereka harus juga berhadapan dengan kenyataan "perih" bahwa pasar atau penikmat tidak lagi berpihak kepada produk-produk hiburan tradisional yang mereka tawarkan.
     
Hingga saat ini, kata dia, seni reog masih memiliki pewaris aktif (pelaku) dan pewaris pasif (penikmat atau pasar) yang cukup banyak. Daya tarik seni reog masih cukup besar. Banyak kegiatan penting yang menyuguhkan pertunjukan reog.
     
"Meskipun sekarang ini seni reog tidak lagi menjadi instrumen politik dan hanya memiliki pasar yang terbatas, ia masih dapat bertahan dengan gagah dan mampu mencuri perhatian massa," ucap budayawan asal Pacitan ini.
     
Dalam makalahnya berjudul "Reog dan Ludruk: Dua Pusaka Budaya dari Jawa Timur yang Masih Bertahan", Ayu mengatakan pihak yang bisa menjamin kelestarian sebuah produk kebudayaan dalam era kapitalisme global ini adalah para pewaris aktif dan pasar (pewaris pasif).
     
Apabila para pewaris aktifnya masih mempertahankan dan memeliharanya dengan baik, katanya, maka sebuah produk kesenian akan tetap hidup. Begitu juga, apabila pasar (penikmat atau pewaris pasif) masih membutuhkan dan mengapresiasinya, maka ia akan bertahan sebagai komoditas yang memiliki arti ekonomis sehingga para pewaris aktifnya dapat memperoleh rezeki darinya.
     
"Tetapi apabila pasar tidak membutuhkannya, maka ia hanya akan bertahan sebagai 'klangenan' bagi para pewaris aktifnya saja, yakni menjadi sesuatu yang dicintai dan diapresiasi secara pribadi, tetapi nilai ekonomisnya sangat rendah. Hal ini juga berlaku bagi seni reog dan seni ludruk," katanya.
     
Ada tiga hal yang dapat mempertahankan kehidupan suatu bentuk seni pertunjukan. Pertama, memiliki pewaris aktif yang memiliki komitmen kuat untuk melestarikan seni pertunjukan yang digelutinya. Reog dan ludruk mempunyai pewaris aktif yang cukup setia, dan itulah yang membuat keduanya dapat bertahan.
     
Kedua, memiliki pewaris pasif yang cukup setia untuk datang dan membeli pementasan karena pewaris pasif adalah pasar yang dapat mendukung keberadaan sebuah seni pertunjukan. Sejatinya, seni reog yang bercitra agraris dan seni ludruk yang bercitra nonagraris masih memiliki penikmat yang fanatik.
     
Ketiga, ada campur tangan negara. Di Provinsi Jawa Timur, seni reog dan ludruk menjadi kebanggaan para pewarisnya karena keduanya menjadi penyangga identitas lokal pemiliknya.
    
Budayawan asal Ponorogo Dr Sutejo MHum mengatakan lestarinya reog hingga saat ini karena orang Ponorogo, baik yang tinggal di wilayah itu maupun yang sudah merantau ke daerah lain, bahkan anak turunnya masih memiliki kebanggaan terhadap seni leluhurnya.

Buktinya, di Surabaya atau di Malaysia pun ada "kampung" reog
yang merupakan masyarakat asal Ponorogo yang bermukim secara turun
temurun di wilayah itu, termasuk "menurunkan" seni reog itu.
    
"Saya kira salah satu kuncinya reog hingga kini tetap lestari adalah rasa bangga memiliki reog itu. Dan mungkin hal itu tidak dimiliki oleh masyarakat lain yang seni tradisinya mulai banyak ditinggalkan dan kalah oleh produk modern," kata dosen di Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) PGRI Ponorogo ini.
     
Senada dengan itu, Kepala Bidang Kebudayaan pada Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga (Disbudparpora) Pemkab Ponorogo Bambang Wibisono mengatakan kepedulian perguruan tinggi ikut mendukung efektifnya upaya pelestarian seni tradisional reog.
     
"Salah satunya adalah Universitas Brawijaya Malang. Tahun lalu 10 dari 15 anak Ponorogo yang diterima di kampus itu lulus lewat jalur kesenian reog," katanya.
     
Menurut dia, Universitas Brawijaya (UB) menerapkan seleksi khusus itu kemungkinan karena memiliki grup reog yang sudah berpestasi di tingkat nasional. Dengan cara itu maka UB bisa dengan mudah melakukan regenerasi pemain reog di masa mendatang.
     
Ia mengemukakan bahwa dengan kepedulian UB Malang itu, menambah semangat para orang tua siswa dalam mendukung anak-anaknya mengikuti kegiatan ekstra-kurikuler seni reog di sekolahnya.
     
Orang tua sangat peduli pada anak-anaknya yang memiliki talenta di bidang seni, khususnya reog. Mereka justru sangat mendukung karena menjadi nilai plus sekolah. Sejak 1994, seni reog memang masuk kurikulum mulok (muatan lokal) di sekolah-sekolah.
     
Ia mengemukakan, selain hampir setiap desa di Ponorogo memiliki satu bahkan lebih grup reog, kini hampir semua sekolah tingkat menengah di daerah itu juga memiliki grup reog.
     
Selain ajang dua festival tahunan, yakni saat HUT Kabupaten Ponorogo dan festival setiap bulan Syuro, pemerintah daerah juga menyediakan tempat di dalam kota untuk pentas setiap malam purnama dan penampilan di Telaga Ngebel. (*

Pewarta: Masuki M. Astro

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015