Blitar (Antara Jatim) - Berlokasi di Jalan Banteng Blorok 18, Desa Plosorejo, Kecamatan Kademangan Kabupaten Blitar, ribuan orang dari berbagai daerah di Jawa Timur menjejakkan kakinya di Wisata Edukasi Kampung Cokelat. Kehadiran mereka sangat didukung oleh hangatnya sinar mentari kala itu dan akses yang mudah menuju salah satu objek wisata kebanggaan Kota Patria, Blitar. Untuk mencapai area wisata dengan tingkat kunjungan 1.000-2.000 orang pada hari biasa dan meningkat menjadi 6.000 orang pada hari libur itu masyarakat cukup melakukan perjalanan darat. Apabila wisatawan domestik maupun asing berangkat dari Surabaya, mereka hanya perlu mengendarai kendaraan bermotor favoritnya dengan waktu tempuh sekitar empat hingga lima jam untuk sampai ke Blitar. Namun, hal itu tergantung dari rute yang ditempuh, bisa melalui Malang, Pare, maupun Kediri. Khusus masyarakat wisata yang berasal dari Kota Tahu, Kediri, perjalanannya memerlukan waktu dua jam. Setelah tiba di Kota Blitar, Kampung Cokelat yang dikelola oleh Koperasi Petani Kakao Guyub Santoso itu dapat dijangkau melalui jalan kota yang menuju ke arah Kecamatan Kademangan. Lokasinya yang berada di Utara jalan atau sisi kiri jalan, dekat dengan perbatasan Desa Plosorejo dengan Desa Darungan Kademangan. Begitu memasuki area wisata Kampung Cokelat, hidung masing-masing wisatawan akan mencium semerbak aroma cokelat di sekitar area. Setelah membayar tiket masuk Rp5.000 per orang, wisatawan bisa melihat langsung pemandangan kebun cokelat yang sudah didesain apik berpadu aktivitas petani di area penjemuran cokelat yang berada di depan loket tiket. Untuk menarik perhatian pengunjung, kawasan wisata itu dilengkapi beberapa "outlet-outlet" atau gerai yang menyediakan aneka olahan cokelat dengan harga terjangkau rata-rata Rp7.000 per porsi. Seperti minuman cokelat dingin, es krim dan ice cone cokelat, jagung bakar cokelat, mi cokelat, dan bakso cokelat. Bagi mereka yang ingin merasakan menu selain cokelat, ada pula tersaji aneka makanan dan minuman khas Indonesia dengan konsep prasmanan dan hanya dikenakan harga di bawah Rp30.000 per orang. Contoh sambal dan lalapan ikan goreng, lele goreng, berbagai olahan ayam, telur bebek bakar, botok jeroan (ati-ampela), tape ketan hitam, dan sejumlah buah sebagai pencuci mulut. Objek wisata yang terletak di kebun kakao seluas dua hektare itu tidak hanya menarik perhatian masyarakat Blitar ataupun wisatawan domestik melainkan asing. Tak jarang terlihat pengunjung asal Eropa dan gemar melakukan aksi cicip buah kakao secara langsung. Mereka membelah kakao matang yang baru dipetik dari pohonnya dan mulai mencicipi kakao. Bagi mereka, biji cokelat yang masih baru memiliki cita rasa istimewa. Wisatawan lokal yang datang, umumnya di dominasi dari luar Blitar, misalnya Kediri, Madiun, Malang hingga Surabaya. Selain menampilkan buah cokelat, di tempat ini tersedia cokelat yang sudah jadi dalam bentuk batangan termasuk yang sudah diberi tambahan pemanis dari gula. Ada 17 jenis produk yang ditawarkan di antaranya cokelat batangan, permen cokelat, aneka minuman cokelat, hingga kue cokelat, dengan merek "GuSant". Sampai saat ini, pemasaran produk-produk makanan olahan dari cokelat tersebut sudah merambah Malaysia dan Tiongkok. Di dalam negeri, komoditas yang performanya belum sebaik kopi itu bisa memenuhi permintaan pasar Surabaya, Bali, Yogyakarta, Jakarta, dan Batam. Sejak tahun 2013, objek wisata yang bermula dari kebun dan gudang penyimpanan kakao tersebut memang sudah ramai pengunjung walaupun mereka umumnya adalah petani kakao baik asal Blitar sendiri maupun luar Blitar. Seperti dari Pacitan, Madiun, dan Gunung Kidul Jawa Tengah yang sengaja datang untuk belajar menanam kakao yang berkualitas dunia. Dari hasil tanaman kakao itu, Kampung Cokelat kini dikenal sebagai penentu harga kakao internasional. Bahkan, mutu biji kakao Indonesia mampu menempati posisi ketiga di pasar global. Besarnya potensi tersebut mendapat tanggapan positif dari PT Puspa Agro selaku pengelola Pasar Induk Agribisnis Jemundo, Sidoarjo dan akhirnya menjalin kerja sama dengan Koperasi Petani Kakao Guyub Santosa, Blitar. Ketua Koperasi Petani Kakao Guyub Santosa Blitar, Kholid Mustofa, menyatakan, melalui kebun kakao yang pengembangan bisnisnya kian mendapat dukungan dari pemerintah daerah setempat maka volume produksi kakaonya bisa mencapai 180 Kilogram per hari. Dari angka tersebut, dominasi 70 persen produksi dijual ke Malaysia dan sisa 30 persennya di pasar lokal. Sejumlah biji kakao yang dihasilkan petani Blitar itu, dijual ke pembeli/pabrikan di luar negeri secara tunai. Namun, bahan baku yang dikirim ke pasar asing itu diolah dalam produk jadi dan diperdagangkan lagi di Indonesia. Fluktuasi Rupiah Oleh sebab itu, sekaligus menjelang diberlakukannya masyarakat ekonomi ASEAN (MEA) 2015 maka koperasi yang menaungi 138 karyawan Kampung Cokelat itu berkomitmen mengolah bahan baku sendiri menjadi berbagai produk cokelat. Meski volumenya minim, olahan cokelat yang menjadi cikal bakal bisnis yang baik bagi daerah Blitar itu sudah dipasarkan ke sejumlah daerah. Untuk harga jual produk, misal, cokelat batang GuSant ditawarkan mulai Rp10.000 per batang dengan aneka rasa, misalnya, aroma jeruk dan "milk chocolate". Dengan demikian, perlahan tapi pasti usaha yang berawal dari koperasi bisa ekspor produk olahan cokelat dan menjadi kekuatan ekonomi daerah. "Tahun 2015, kami bersama Puspa Agro siap membangun pabrik kakao di sini dengan investasi Rp6 miliar dan mengkalkulasi modal untuk perdagangan kakao yang membutuhkan Rp3,8 miliar," ungkap Kholid, ditemui saat Diskusi Media dengan Petani Kakao, di Blitar, Sabtu (4/4). Ia optimistis, melalui kerja sama bisnis dengan Puspa Agro maka cita-cita Koperasi Guyub Santosa untuk ekspor bisa terealisasi. Penyebabnya, untuk mengirim cokelat sebanyak 200 ton atau sebesar 10 kontainer ke luar negeri membutuhkan dana besar minimal Rp6 miliar. Dengan hubungan bisnis yang tercipta bersama pengusaha asli Jatim itu, kakao yang dihasilkan tidak lagi dijual kepada subpembeli, melainkan konsumen utama. Tetapi, saat ini dengan adanya subpembeli maka kondisi bisnis kakao itu mampu menyejahterakan petani yang juga anggota koperasi tersebut. Apalagi, keberadaan subpembeli bisa memudahkan koperasi tersebut untuk mencari dana dalam mengembangkan usaha kakao di Kampung Cokelat. Contohnya, seperti sekarang ketika nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) fluktuatif dan mengakibatkan banyak pengusaha kelimpungan mempertahankan bisnis mereka. Akan tetapi, bingung menentukan sikap menjalankan usaha sebagai pengaruh pelemahan rupiah justru tidak dialami oleh petani kakao di Blitar. Mereka bangga dengan posisi dolar AS yang semakin menguat, karena keuntungan yang diperoleh kian besar. "Ujung-ujungnya petani kakao di sini tambah sejahtera. Mereka tidak perlu khawatir dengan cara apa menghidupi keluarga tercintanya," tuturnya. Sementara itu, Direktur Utama PT Puspa Agro, Abdullah Muchibuddin, meyakini, melalui kerja sama yang ditingkatkan setiap saat dengan kalangan petani terutama yang berbadan usaha koperasi maka produk agrobisnis di Jawa Timur bisa dikenal di penjuru Nusantara. Selain itu, menciptakan Jatim sebagai Provinsi Agro. Hal tersebut sekaligus memudahkan Jatim khususnya dari sektor agrobisnis untuk berbenah menjelang MEA 2015 dan AFTA tahun 2016. "Kami hadir di Jatim sebagai tengkulak budiman dan jadi agen pemerintah. Kami fokus untuk membangun sistem perdagangan produk agrobisnis dan menstabilkan harganya sehingga tidak ada lagi disparitas harga mencapai 500 persen per barang," ujarnya. Kalau di Kampung Cokelat, menjelang diberlakukannya MEA 2015 maka Koperasi Guyub Santosa dan pihaknya berupaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM). Salah satunya dengan mensertifikasi seluruh petani kakao dan karyawan di usahanya tersebut secara bertahap. Meski begitu, dari 138 karyawan di Kampung Cokelat kini sudah satu orang karyawan tersertifikasi yakni Imam Bahrowi yang bekerja sebagai Analis Pengolahan Cokelat. Di samping itu, karena Guyub Santosa masih berstatus Koperasi maka melalui kerja sama dengan Puspa Agro proses perizinan edar barang bisa lebih mudah karena mereka di bawah naungan perusahaan lokal tersebut. Ia berharap, dengan pengembangan dan perluasan lahan yang dilakukan secara pasti pada tahun 2015 maka Kampung Cokelat bisa menyumbang peningkatan konsumsi cokelat orang Indonesia. Apalagi kini tingkat konsumsi cokelat di Tanah Air masih 0,3 Kilogram per orang/tahun. Angka itu lebih rendah dibandingkan negara bukan penghasil kakao seperti Amerika Serikat dengan tingkat konsumsi cokelat sembilan Kilogram per orang/tahun dan Eropa 11 Kilogram per orang/tahun. Untuk meningkatkan konsumsi cokelat itu sendiri, Kampung Cokelat juga sengaja memberlakukan paket harga kunjungan dengan tujuan edukatif. Misalnya, sebesar Rp10 ribu per anak, tingkat SD/SMP Rp20 ribu per anak, paket SMA Rp30 ribu per anak, dan wisata umum atau keluarga Rp50 ribu per orang. Dengan mengikuti paket wisata itu, pengunjung akan diajari tentang cara budi daya dan olahan tanaman kakao, melihat proses produksi cokelat, cara menghias cokelat, sampai mengenal bisnis cokelat. Mereka juga mendapatkan fasilitas minuman cokelat dan diperbolehkan membawa pulang cokelat yang sudah mereka hias. Waspadai Krismon Terkait kondisi perekonomian Jatim selama diterpa pelemahan rupiah terhadap dolar AS. Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia Wilayah Jawa Timur, Syarifuddin Basara, mengungkapkan, secara umum ekonomi Jatim masih membaik. Atmosfer positif itu tampak dari penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK) pada posisi Januari 2015 mencapai Rp387,18 triliun atau meningkat sebesar 14,25 persen. Suku bunga simpanan meningkat dari rata-rata tertimbang 4,42 persen (Desember 2014) menjadi 4,49 persen pada bulan Januari 2015. Lalu, pertumbuhan kredit di Jawa Timur mencapai 12 persen dengan nilai nominal Rp343,53 triliun. Indikator tersebut, mengalami pertumbuhan yang lebih tinggi daripada pertumbuhan DPK dan kredit nasional yang masing-masing sebesar 14,22 persen dan 11,63 persen. Dari sisi total aset perbankan di Jawa Timur pada Januari 2015 mencapai Rp478,94 triliun atau mengalami pertumbuhan sebesar 12,81 persen (yoy). Walau demikian, kondisi di Jatim bisa dikatakan masih lebih lambat dibandingkan pertumbuhan aset di tingkat nasional sebesar 14,04 persen (yoy). Sementara penyaluran kredit, d Jatim didominasi oleh kredit yang bersifat produktif dengan pertumbuhan sebesar 12,62 persen untuk kredit modal kerja dan 8,43 persen untuk kredit investasi. Kedua kredit tersebut memiliki proporsi 73,47 persen dari total kredit. Berikutnya, untuk kredit konsumsi mengalami pertumbuhan sebesar 12,56 persen dan memiliki proporsi 26,53 persen dari total kredit. Dilihat dari sektor ekonomi, penyaluran kredit didominasi oleh sektor-sektor utama dalam struktur PDRB Jatim. Misalnya, sektor industri pengolahan (29,53 persen) dan sektor perdagangan besar dan eceran (25,55 persen) dengan pertumbuhan masing-masing sebesar 13,36 persen dan 11,98 persen. Tingginya penyaluran kredit di Jawa Timur menunjukkan fungsi intermediasi perbankan yang sudah cukup baik. Berdasarkan lokasi proyek atas kredit yang disalurkan, "Loan to Deposit Ratio" (LDR) tercatat cukup tinggi sebesar 102,29 persen. Angka LDR yang berada di atas level 100 persen mengindikasikan adanya dana kredit dari bank di luar wilayah Jatim untuk pembiayaan proyek. Tingginya LDR juga dipengaruhi oleh penurunan rata-rata suku bunga kredit dari 12,38 persen (Desember 2014) menjadi 12,34 persen. Sementara, performa Non-Performing Loan (NPL) pada masa kini berada di level 2,05 persen atau mencatatkan kinerja baik karena di bawah ambang batas tingginya NPL sesuai ketentuan BI sebesar lima persen. Di sisi lain, pelemahan rupiah bagi sebagian pengekspor justru memberikan dampak positif. Misalnya pengekspor yang menggunakan bahan baku lokal. Lalu, industri perhiasan, kerajinan tangan, furnitur serta produk perikanan dan kelautan dinilai kian cemerlang. Bahkan, dengan produk pertanian, perkebunan serta kehutanan. Diperkirakan, sejalan dengan tertekannya rupiah maka pendapatan mereka justru bisa tumbuh 10-15 persen. Ketua Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI) Jatim, Isdarmawan Asrikan, menjelaskan, mereka yang mengandalkan bahan baku lokal dipastikan banyak meraup keuntungan atas melemahnya rupiah dibandingkan pengekspor yang mengandalkan bahan baku impor. Hal itu tidak hanya ditunjang oleh kurs semata tetapi ikut didukung pengembangan pasar baru non-tradisional misalnya Taiwan, Afrika, dan Timur Tengah. Meski bahan baku lokal, produk perkebunan seperti karet, kopi dan kakao justru mengalami kontraksi. Hal itu disebabkan adanya kelesuan di pasar internasional yang menimbulkan persoalan tersendiri bagi pelaku usaha dalam negeri. Seperti, harga komoditas kopi menunjukkan tren penurunan jika dibandingkan dengan tahun lalu. Saat ini, harga kopi arabika di New York berkisar 2.900 dolar AS per ton. Padahal pada akhir 2014 harga bisa mencapai 3.500 dolar AS per ton. Pelemahan rupiah, juga dirasa sangat menekan bagi pengekspor yang mengandalkan bahan baku impor. Khususnya mereka yang menjalankan bisnis di sektor manufaktur baik tekstil maupun plastik. Oleh sebab itu, mereka terus berupaya melakukan substitusi bahan baku impor dengan produk lokal. Senada dengan Isdarmawan, Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa timur, Bidang Organisasi dan Keanggotaan, Dedy Suhajadi, menambahkan, saat ini pelaku usaha semakin was-was terutama terkait rencana Bank Central Amerika yang akan menaikkan suku bunga menjadi 1,5 persen dari sebelumnya yakni 0,25 persen. Jika suku bunga tersebut jadi dinaikkan, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sulit bertahan di kisaran Rp12.800 - Rp13.000 per dolar AS. Kalau itu terjadi, akan ada gejolak luar biasa hingga melebihi Krisis Moneter (Krismon) pada tahun 1998. Dampaknya, khawatir Dedy, pelaku perbankan di Tanah Air bisa tutup. Kemudian, pengusaha yang memiliki pabrik dan industri di penjuru Nusantara menderita kerugian sangat besar hingga berujung bangkrut dan tutup. Untuk itu, Kadin Jatim meminta Pemerintah Pusat agar secepatnya mengatasi permasalahan itu dengan serius. Dengan begitu, hal tersebut sekaligus memberikan pekerjaan rumah tersendiri bagi Tim Ekonomi Kepresidenan Joko Widodo. Mereka harus ekstra bekerja guna mencarikan solusi atas permasalahan tersebut. Melalui berbagai tindakan tepat dan selalu mengutamakan kepentingan masyarakat termasuk paket ekonomi yang diterapkan maka Indonesia mampu mencapai target pendapatan devisa 1 miliar dolar AS atau Rp12 triliun. Salah satunya dari kebijakan pembebasan visa untuk 45 negara.(*)

Pewarta:

Editor : Chandra Hamdani Noer


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015