Sejak tahun 2013, Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) sudah menjadi isu hangat dan menyita perhatian dunia, tak terkecuali Indonesia. Sesungguhnya, Indonesia lebih dikenal dengan negara yang menawarkan Islam moderat dan dunia pun tertarik. Namun, Indonesia yang moderat itu pun tak luput dari "serbuan" ISIS. Bahkan, ISIS pun kini mengoyak "jantung" dari Islam moderat ala Indonesia yakni Jawa Timur, sebuah provinsi yang menjadi sumber rujukan dari Islam moderat itu sendiri. Buktinya, Tim Detasemen Khusus (Densus) 88/Antiteror Polri bersama tim Polda Jatim menangkap satu terduga anggota gerakan radikal Negara Islam Irak-Suriah (ISIS) di Tulungagung, yakni RS, pada 27 Maret 2015. Tertangkapnya RS itu merupakan pengembangan atas penangkapan sebelumnya (25/3), yakni tiga terduga anggota ISIS di Malang, yakni Abdul Hakim, Helmi Muhammad Alamudi dan Ahmad Junaedi. Dari sejarah, ISIS muncul di negara Timur Tengah, dengan dalih membawa isu agama. Konsep yang mereka bawa adalah konsep khilafah, mendirikan negara Islam. Itu tercermin dalam dua huruf yakni I (islamic) dan S (state). Pakar sejarah Prof Dr H Azyumardi Azra menjelaskan Timur Tengah merupakan wilayah regional yang tidak pernah stabil pasca-Perang Dunia II. Sampai saat ini, terjadi pergolakan politik dan kekerasan. Faktor utama dari gejolak itu adalah konflik Palestina-Israel, yang merupakan pertarungan antarnegara Arab sendiri, maupun konflik politik domestik seperti gerakan Islamis, Ikhwanul Muslimin. Ketika gelombang demokrasi sampai ke Suriah, bertambahlah berbagai kelompok oposisi. Sebagian gerakan oposisi tersebut murni gerakan pro-demokrasi, namun bagian lebih banyak justru kelompok militan radikal. Sejak tahun 2013, ISIS juga telah mengonsolidasikan berbagai kelompok radikal yang berkonflik satu sama lain. ISIS saat ini juga mulai menyebar ke berbagai negara di belahan dunia lain, selain Timur Tengah. Dalam aksinya, ISIS tidak segan berbuat nekat. ISIS dituduh bertanggung jawab atas banyak pembantaian warga sipil, pengeboman bunuh diri, penyanderaan wanita dan anak-anak, serta eksekusi dan pemenggalan terhadap tahanan. ISIS bertolak belakang dengan ajaran Islam yang "rahmatan lil 'alamin". Hal itu bisa diketahui dari perilakunya yang bisa melukai orang lain. Perbuatan mereka radikal. Mewaspadai gerakan ISIS ataupun ajaran Islam radikal harus dilakukan di berbagai lini, termasuk pendidikan. Dunia pendidikan juga menjadi sasaran empuk ajaran ini didoktrin. Medio Maret 2015, dunia pendidikan di Jawa Timur, dikejutkan dengan temuan adanya muatan materi yang mengajarkan Islam radikal. Hal itu termuat di buku Pendidikan Agama Islam kelas XI untuk semester genap. Materi yang dinilai mengajarkan kekerasan ini terdapat pada halaman 78, buku PAI yang dikeluarkan tim MGMP PAI Kabupaten Jombang. Dalam buku itu, memuat ajaran Wahabi dengan tokoh sentralnya Muhamad bin Abdul Wahab. Dijelaskan pada halaman itu, yang boleh dan harus disembah adalah Allah SWT. Orang yang menyembah selain Allah telah menjadi musyrik dan boleh dibunuh. Hal ini tentunya sangat memprihatinkan. Di saat negara maupun organisasi masyarakat lainnya sedang berupaya keras membendung paham ajaran yang mengajarkan radikal serta ISIS, justru materi yang memuat ajaran radikal keluar di buku pelajaran anak sekolah. Sejumlah kalangan menilai adanya temuan itu tidak perlu dibesar-besarkan. Pemerintah melalui institusi Dinas Pendidikan Kabupaten Jombang juga menjamin akan menarik buku tersebut. Namun, yang perlu diperhatikan, adalah kinerja dari tim MGMP yang membuat buku tersebut. Ketika membuat buku, terlebih lagi terkait dengan paham agama, seharusnya juga konsultasi dengan ahlinya. Hanya munculnya nama Abdul Wahab yang sebagai tokoh sentral ajaran Wahabi menunjukkan jika tim MGPM tidak teliti. Seharusnya, jika ingin memberikan pengetahuan dan pencerahan terkait dengan ajaran agama, juga dimunculkan tokoh agama lainnya, atau bahkan sama sekali tidak memunculkan tokoh agama yang mengajarkan kekerasan, melainkan memunculkan tokoh agama yang mengajarkan pluralisme. Di Indonesia, bahkan di Jombang, banyak tokoh agama yang mengajarkan pluralisme dan toleransi, seperti Presiden KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, KH Wahid Hasyim, ataupun KH Nurcholis Madjid. Masalahnya, Indonesia sendiri masih belum menyatakan ISIS dan sejenisnya sebagai organisasi terlarang, padahal "negara di dalam negara" adalah ancaman yang sangat jelas bagi NKRI. Belum adanya payung hukum yang jelas untuk mengekang gerakan itu, membuat aparat penegak hukum hanya menggunakan hukum positif seperti Undang-undang Antiteror atau tindak pidana umum di dalam KUHP untuk menindak seseorang yang memiliki kaitan jaringan ISIS. Pemerintah diharapkan tegas membuat peraturan yang menyatakan organisasi yang mengajarkan radikal sebagai organisasi terlarang. Bukan hanya ISIS, tapi organisasi apapun, termasuk mereka yang ingin mendirikan "negara di dalam negara". Jangan sampai menunggu paham itu beredar luas dan menjadikan rakyat sebagai tumbal. (*)

Pewarta:

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015