Berawal dari penemuan tak sengaja Surat Wiyoto pada seekor burung berbulu hijau di tahun 1998. Saat itu Surat mencari rumput untuk kambingnya di hutan jati kawasan Sampung, Madiun, Jawa Timur, tiba-tiba burung itu berkelebat terbang.
Penasaran, warga Dusun Suko, Desa Tawang Rejo, Kecamatan Gemarang, Madiun, berusia sekitar 60-an tahun itu mendekati tempat burung itu kabur. Ternyata si burung itu meninggalkan empat telor. Tanpa pikir panjang telor-telor itu dibawanya pulang.
Surat memilih menetaskan telor itu dari pada mengonsumsinya. Telor-telor itu dititiperamkan pada ayam kampung piaraannya dan selang 10 hari menetas yang kebetulan dua jantan dan dua betina. Tidak terlalu sulit membesarkan anak burung merak (Pavo muticus) yang bulunya biasa digunakan untuk hiasan seni Reog Ponorogo itu.
"Sama seperti memelihara ayam, makannya dikasih dedak, tapi waktu kecil dikasih rayap," katanya.
Setelah dipelihara sekitar 2,5 tahun, kedua merak betina bertelor. Telor-telor itu kemudian dieramkan ke kembali ayam kampung piarannya. Merak-merak Surat terus berkembang biak dan ternyata banyak masyarakat yang berminat. Akhirnya ia jual anakan merak itu antara Rp100.000 hingga Rp200.000 per ekor.
Kabar Surat memelihara dan menangkarkan merak akhirnya didengar petugas. Surat tidak tahu "petugas" yang dimaksud dari instansi mana. Merak-merak itu hendak disita karena tergolong dilindungi. Namun, merak-merak berbulu indah dengan dominasi hijau itu telah memerak (menawan) hati Surat. Ia melawan, bahkan ia menantang jika ditembak sekalipun, tetap tidak akan memberikan meraknya.
"Pokoknya saya hadapi. Ditembak sekalipun tidak akan saya kasihkan," katanya di hadapan jurnalis yang mengikuti kegiatan Orientasi Wartawan Konservasi (Owa-K) yang diselenggarakan oleh Forum Konservasi Satwa Liar Indonesia (Foksi) di Taman Safari Indonesia (TSI) II Prigen, Pasuruan, akhir pekan pertama Februari 2015.
Setelah itu penangkaran merak Surat berjalan aman. Sampai 12 tahun kemudian, yakni pada 2010 ia mengurus surat izin penangkaran ke Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA). Pengurusan itu dilakukan setelah banyak orang menyarankan, agar legal dan lebih aman. Izin itu harus diperpanjang setiap lima tahun.
Namun, Surat mengaku ada yang berubah setelah mengantongi izin tersebut. Sejumlah aturan harus ia taati, antara lain hanya boleh menjual merak usia minimal 1,5 tahun dan harganya tidak boleh lagi murah. Minimal sepasang Rp20 juta. Bukannya Surat merasa senang dengan lonjakan harga tersebut. Ia mengaku lebih senang dengan harga lama sebelum mengurus izin karena peminatnya lebih banyak dan lakunya lebih cepat.
"Kalau sekarang yang beli kan hanya orang-orang kaya. Beberapa bulan belum tentu ada yang laku, padahal biaya perawatannya tidak sedikit," kata pria yang tidak begitu memahami komunikasi Bahasa Indonesia tersebut.
Ia menjelaskan, untuk memberi pakan merak-merak miliknya yang kini berjumlah 20 ekor atau 10 pasang itu, rata-rata Surat menghabiskan Rp900 ribu setiap bulan. Uang itu diperoleh dari menjual hasil pertanian atau menjual kambing piaraannya.
Mengenai perkembangbiakan meraknya, Surat mengaku kini ada penurunan. Kalau sebelumnya satu betina bisa bertelor empat sampai enam butir dalam setahun, kini hanya menghasilkan satu telor. Selain itu banyak anakan merak yang mati. Biasanya penyakit anakan merak itu keluar air dari hidungnya. Surat menyebutnya terkena flu burung, padahal menurut dokter hewan, bukan.
Biasanya ia memberi obat dengan menyebut merek tertentu yang biasa diberikan pada ayam untuk mengobati merak piaraannya itu.
Ia menjelaskan karena sering bertarung jika ditaruh dalam satu kurungan, ke-10 pasang itu kini dipisah dalam sekat-sekat dengan sepasang jantan dan betina, meskipun tetap dalam satu kandang yang keseluruhan seluas 6 X 10 meter.
Mengenai status merak-merak yang sudah terjual, ia mengaku sudah ada identitasnya masing-masing berupa chip yang dipasang pada kulit merak. Surat sendiri memiliki catatan atau buku induk mengenai merak yang sudah dijualnya.
Penasihat Foksi Tony Sumapau mengatakan masyarakat harus didorong melakukan penangkaran seperti yang dilakukan oleh Surat. Penangkaran berizin itu bisa dilakukan oleh penggemar merak atau oleh yang berkepentingan untuk memanfaatkan bulunya.
Selain bisa meningkatkan ekonomi masyarakat, hal ini juga bisa menyelamatkan populasi merak jawa atau merak hijau yang merupakan satwa endimis dan identitas Jatim, namun kini terancam punah.
Hal ini belajar dari kasus jalak atau curik bali yang dulu juga diambang kepunahan. Setelah penangkaran resmi dibuka, termasuk pasarnya, akhirnya populasi jalak bali meningkat pesat dari sebelumnya 300 ekor, kini bisa mencapai 2.600 ekor. Harga per ekor yang semula Rp30 juta, kini merosot menjadi Rp3 jutaan, bahkan kurang.
"Orang tidak berminat lagi mencuri jalak bali di Taman Nasional Bali Barat sehingga habitatnya aman. Untuk apa-apa susah-susah mencuri kalau di pasaran yang resmi banyak, harganya lebih murah. Padahal sebelumnya, setiap ada pelepasliaran jalak bali di Taman Nasional Bali Barat selalu hilang lagi dicuri orang. Untuk merak juga bisa dilakukan dengan hal seperti ini," kata salah satu direktur di TSI ini.
Tony mengemukakan bahwa banyaknya perburuan merak karena bulunya digunakan untuk hiasan kesenian Reog dan tarian kabaret. Reog yang berasal dari Ponorogo kini sudah berkebang di sejumlah daerah lain, termasuk Jakarta, bahkan di Sumatera hingga ke Malaysia.
Salah satu pendiri Foksi ini mengatakan bahwa yang harus diperhatikan dari penangkar tradisional adalah masalah kesehatan satwa. Mereka harus memiliki peengetahuan memadai mengenai kesehatan merak, termasuk urusan kandangnya.
Demikian juga masalah perkawinan sedarah (inbreeding) seperti pada merak milik Surat yang berasal dari satu induk yang secara genetis kurang baik.
"'Kulo mboten semerep' (saya tidak tahu)," kata Surat ketika ditanya kemungkinan meraknya kurang bagus karena perkawinan sedarah.
Tony memperkirakan, mulai jarangnya merak milik Surat yang bertelor juga karena masalah perkawinan sedarah itu.
"Kemungkinan besar banyaknya anakan merak yang mati juga karena secara genetis tidak baik sehingga anakannya mudah terserang penyakit. Nanti, lama-lama yang besar tidak bisa bertelor sama sekali. Ini perlu ada darah segar dengan cara mengawinkan dengan merak yang dari keturunan atau induk berbeda," katanya.
Sementara kurator satwa pada TSI Prigen drh Ivan Chandra mengacungi jempol atas kegigihan Surat memelihara satwa langka tersebut, meskipun pada dasarnya mengambil telor burung itu di hutan tidak boleh karena dilindungi.
Ivan mengeluarkan beberapa catatan mengenai apa yang dilakukan Surat Wiyoto dengan meraknya. Pertama, mengenai anggapan penyakit flu burung. Ia yakin dari gejala yang muncul pada merak tersebut, tidak ada gejala mengalami flu burung. Karena jika terserang virus H5N1 itu pasti merak-meraknya akan tertular dan semua mati.
Ia setuju dengan Tony Sumampau mengenai perkawinan sedarah. Karena itu merak Surat Wiyoto perlu segera dikawinkan dengan merak lain yang tidak satu turunan agar diperoleh anakan yang sehat.
Ivan juga mengingatkan bahwa di musim hujan, satwa-satwa itu harus dihindarkan dari tiupan angin yang terlalu kencang agar tidak mudah terkena penyakit. Selain itu sangat penting dilakukan perawatan rutin dengan memeriksakan satwa tersebut ke dinas peternakan setempat.
"Meskipun hewannya tidak sakit, harus diperiksa berkala. Jangan nunggu sakit baru diperiksa," katanya.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015