Perseteruan KPK-Polri itu bukan polemik kemarin sore, karena sudah berulang tiga kali, yakni dua kali pada era Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono dan sekali dalam era Presiden Jokowi sekarang.
Ironisnya, sejak 2009 hingga 2015, pihak-pihak di luar KPK dan Polri pun terbelah. Ada pihak yang pro-KPK dan ada pihak yang pro-Polri, meski pihak yang mendukung KPK lebih dominan, karena KPK pun terselamatkan.
Tidak hanya itu, komunitas pers pun terlibat dalam "Gerakan Penyelamatan KPK", sehingga komunitas pers yang selama ini masuk dalam barisan "Jokowers" pun tidak menghantam KPK, namun justru mengkritisi Jokowi.
Media mempertanyakan inkonsistensi Presiden Jokowi dalam proses pergantian Kapolri dan independensi Presiden terhadap kelompok politik yang mendukung dirinya. Media menuntut kesigapan Presiden dalam menyelamatkan KPK secara kelembagaan.
"Boleh dikata, kita sedang menyaksikan sisi baik dari kemerdekaan pers. Simpati dan pembelaan banyak media terhadap pencalonan Jokowi sebagai presiden tak menjadi halangan bagi pers untuk bersikap kritis," ucap Direktur Eksekutif Matriks Indonesia, Agus Sudibyo.
Dan, pers dalam konflik "Cicak vs Buaya" jilid pertama tahun 2009 mampu memaksa pemerintah menghentikan upaya pelemahan KPK, sehingga SBY akhirnya memerintahkan Kejaksaan Agung menyelesaikan kasus "Cicak vs Buaya" di luar pengadilan.
Situasi yang lebih kurang sama juga tercipta dalam kasus "Cicak vs Buaya" jilid kedua, karena media massa juga menjadi pihak dengan peran sangat menentukan. Semua kekuatan politik akan selalu bertindak dengan menghitung opini publik yang terbentuk melalui media massa.
Tinggal kasus "Cicak vs Buaya" jilid ketiga yang masih berproses. Bedanya, penyikapan masyarakat sipil tidak lagi terbelah menjadi dua gerakan, namun tiga gerakan yakni gerakan "Save KPK" dan "Save Polri", lalu ada "jalan tengah" yakni gerakan "Save Indonesia" (Selamatkan Indonesia).
Gerakan "Save Indonesia" yang antara lain ditunjukkan Paguyuban Rektor PTN se-Jatim itu menunjukkan masyarakat sudah capek dengan polarisasi yang berlangsung enam tahun (2009-2015). "Capeknya tuh di sini...," begitu meminjam istilah artis Cita Citata.
Jadi, polemik KPK-Polri jilid ketiga sudah harus tamat dan polemik jilid keempat tidak boleh ada lagi untuk seterusnya.
Untuk itulah, Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengusulkan perlunya penataan kembali hubungan untuk lembaga dengan fungsi yang sama, seperti MA-MK-KY atau Polri-Kejaksaan-KPK.
"Untuk hubungan KPK-Polri, perlu adanya penataan hubungan untuk lembaga dengan fungsi yang sama, seperti MA-MK-KY atau Polri-Kejaksaan-KPK, sehingga energi bangsa tidak terkuras dan habis untuk mengatasi konflik dan gangguan yang sifatnya internal," pesannya dalam kuliah umum di Universitas Airlangga Surabaya, Selasa (10/2).
Agaknya, DPR dan pemerintah perlu melakukan penataan ulang terkait hubungan fundamental KPK-Polri agar tidak membuat energi politik dan energi sosial terbuang percuma, sehingga energi untuk maju dan sejahtera menjadi hilang... Capeknya tuh di sini... (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015