Profesi guru hingga saat ini masih dipandang sebagai "pekerjaan" yang sangat mulia di Tanah Air, bahkan di muka bumi ini. Karena kemuliaannya, seorang komposer bernama Sartono pun menciptakan lagu khusus untuk guru yang berisi pujian dan sanjungan (hymne) terhadap profesi guru dan dijuluki sebagai Pahlawan Tanpa Tanda Jasa karena jasa-jasanya, karena ketulusan dan pengabdiannya tanpa pamrih. Belasan dan mungkin puluhan tahun silam, profesi guru tidak banyak dilirik, kecuali orang-orang yang benar-benar ingin mengabdikan diri pada bangsa dan negara lewat pendidikan. Pada masa-masa itu, gaji guru tidak lah cukup untuk dijadikan sandaran menghidupi keluarga, sampai-sampai seorang penyanyi, Iwan Fals, mengumpamakan seorang guru adalah seseorang yang sangat sederhana dengan julukan "Umar Bakri" yang pergi dan pulang mengajar dengan menggunakan sepeda angin butut dan pakaian yang sangat sederhana. Kondisi dan perumpamaan itu berbalik 180 derajat dan mungkin hingga 360 derajat karena "keistimewaan" profesi guru dalam beberapa tahun terakhir ini. Sejak adanya tunjangan tambahan bagi guru, yakni tunjangan profesi pendidik (TPP) sebesar satu kali gaji pokok, secara perlahan kesejahteraan dan kehidupan guru terus meningkat, bahkan untuk guru yang sudah berstatus pegawai negeri sipil (PNS), bisa dipastikan kehidupannya jauh lebih baik dibanding ketika zaman "Umar Bakri". TPP yang diberikan kepada pemerintah kepada guru membawa dampak yang sangat besar terhadap kehidupan seorang guru, bahkan mantan Kepala Kementerian Agama (Kemenag) Kota Malang pun mengakui sejak adanya TPP, pendaftar calon haji di kota pendidikan itu meningkat drastis. Apalagi kalau pasangan suami-istri itu sama-sama berstatus PNS, sehingga kalau masih ada guru PNS yang mengeluh karena kesejahteraannya kurang terjamin, berarti ada yang salah dalam mengelola keuangannya, apalagi PNS sekarang juga diberikan uang lauk pauk yang jumlahnya juga lumayan besar. Memang, sejak adanya sertifikasi dan perubahan pola dalam sistem belajar mengajar yang menuntut guru harus menguasai teknologi terkini, penyusunan bahan ajar yang lebih baik, pekerjaan guru sedikit ada peningkatan, apalagi ada ketentuan jam mengajar minimal bagi yang sudah tersertifikasi. Namun, semua itu terbayarkan dengan adanya pendapatan yang seimbang. Jika kehidupan guru PNS dan sudah tersertifikasi menjadi benar-benar "mulia" secara materi, bagaimana dengan guru-guru yang masih berstatus honorer dan belum tersertifikasi atau murni mengandalkan honor dari sekolah dan beban mengajarnya pun sama dengan guru-guru berstatus PNS dan tersertifikasi. Kesejahteraan mereka sangat jauh dan bagaikan bumi dan langit, apalagi guru honorer yang mengajar di pelosok atau daerah terpencil, berkilo-kilo meter jarak antara sekolah dengan rumah harus ditempuh demi siswa-siswi mereka. Tak jarang honor yang diterima dari sekolah sangat jauh dan tidak sebanding dengan pengabdian yang mereka berikan pada bangsa dan negara, apalagi honorer guru di SD. Di zaman seperti sekarang ini, masih ada guru yang hanya menerima honor dari sekolah sebesar Rp200 ribu sampai Rp300 ribu ditambah insentif dari pemerintah setempat tidak lebih dari Rp300 ribu per bulan. Namun mereka tidak pernah mengeluh, dengan tulus dan ikhlas mengamalkan ilmunya bagi anak-anak di daerah terpencil, bahkan tak jarang mereka juga harus membeli buku ajar sendiri sebagai panduan. Tapi kenapa, guru-guru yang bertugas di perkotaan masih saja sering mengeluh dengan profesi yang sudah menjadi pilihannya, apalagi sejak diberlakukannya Kurikulum 2013 yang masih belum banyak dipahami guru, namun dipaksa untuk tetap diterapkan. Pada Hari Guru, 25 November 2014, hal yang perlu dipikirkan semua pihak, para wakil rakyat dan pemerintah, bagaimana memperjuangkan guru-guru di daerah terpencil ini bisa memperoleh kesejahteraan yang layak melalui gaji (pendapatan) mereka agar tidak terjadi kesenjangan yang cukup dalam antara guru PNS yang sudah tersertifikasi dengan guru honorer yang mengajar di desa-desa terpencil dengan kondisi geografis yang sulit dijangkau.(*)

Pewarta:

Editor : Tunggul Susilo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2014