Panen tebu sejak beberapa bulan lalu hingga masa giling berakhir tidak membuat petani di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, bisa tersenyum menikmati hasil.
Gula milik petani terpaksa tidak dijual karena harga penawaran yang sangat rendah. Pada lelang terakhir, Kamis (6/11) 2014 di Surabaya hanya ditawar Rp7.875 per kilogram.
Petani berharap gula mereka dapat terjual di atas Rp8.000 per kilogram atau sesuai dengan harga patokan petani (HPP) Rp8.500 per kilogram sesuai yang dietapkan pemerintah.
"Karena itu gula hasil produksi di bawah PTPN XI tidak terjual, termasuk milik petani. Kami para petani sepakat untuk tidak menjual gula-gula itu kalau harganya rendah," kata Sekretaris Himpunan Petani Tebu Rakyat (HPTR) Lumajang Budhi Susilo.
Akibatnya, kini 12.500 ton gula milik petani di wilayah itu menumpuk karena belum laku dijual sesuai harga yang diinginkan. Jumlah itu akan lebih banyak jika dihitung dengan gula milik Pabrik Gula Jatiroto yang juga belum dilepas ke penjual.
Untuk mendapat perhatian dari pemerintah, para petani tebu di Lumajang beberapa waktu lalu melakukan aksi membuang gula ke jalan. Belum mendapat perhatian juga, ada petani yang akan membakar ladang tebunya, namun niatan itu hingga kini belum dilaksanakan.
Sebetulnya, petani kini mulai melunak dengan niat melepas gula mereka asalkan harganya sedikit di atas Rp8.000 per kilogram. Meskipun tidak bisa menikmati untung, dengan harga di atas Rp8.100 saja, mereka tidak terlalu banyak menanggung rugi.
Ia mengibaratkan kondisi petani kini "sudah jatuh tertimpa tangga". Petani kini juga menghadapi masalah dengan perbankkan karena kredit mereka sudah jatuh tempo pelunasan.
"Kami mohon betul pengertian perbankan untuk memahami kondisi petani tebu saat ini karena harga gula betul-betul sangat murah," katanya.
Menurut dia, kalau saat ini petani tidak melunasi pinjamannya, itu karena memang tidak ada uang sama sekali. Jika perbankkan memasukkan para petani tebu dalam "daftar hitam" sebagai penerima kredit, maka hal itu betul-betul akan menyulitkan petani untuk memulai tanam tebu di tahun depan.
Kalau kebijakan itu diberlakukan oleh perbankkan dipastikan tahun depan produksi tanaman tebu akan berkurang karena petani tidak punya biaya tanam dan perawatan, apalagi sekarang sudah ada petani yang beralih ke tanaman lain karena usaha tebu terus merugi.
Budi mengemukakan sebetulnya ada dana Progran Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL) dari PTPN XI, namun hingga kini dana itu belum bisa dinikmati oleh petani, tanpa penjelasan lebih lanjut.
"Kalau dana PKBL ini cair, lumayan buat petani. Alokasi setiap satu hektare lahan sebanyak Rp25 juta, dan setiap petani dibatasi hanya maksimal empat hektare. Pinjaman ini cukup ringan, bunganya hanya 6 persen per tahun," katanya.
Budhi berharap agar ke depan gula kembali ditangani oleh Bulog, sebagaimana di Zaman Orde Baru. Dengan demikian, maka para mafia gula akan kesulitan untuk memainkan harga yang kini membuat petani merugi.
"Dengan ditangani oleh Bulog kembali, maka harga gula akan stabil dan masa depan industri gula akan kembali baik. Kalau seperti ini terus, pabrik-pabrik gula nanti bisa tutup karena petani sudah enggan menanam tebu," katanya.
Budhi Susilo menilai, "pahit"-nya harga gula ini juga akibat stok gula melimpah setelah pemerintah membuka kran impor gula.
Menurut dia, kalau pemerintah memang peduli kepada petani, mulai saat ini impor gula disetop agar gula lokal terjual dengan harga bagus.
Selain meminta menyetop impor gula, ia juga berharap Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Rini Mariani Semarno ikut memperhatikan nasib petani tebu dengan cara merevitalisasi peralatan di pabrik-pabrik gula.
"Salah satu yang saat ini sangat kami harapkan adalah pengadaan 'core sampler', alat untuk mengukur rendemen tebu di pabrik-pabrik gula. Selama ini alat pengukur rendemen tebu yang digunakan pabrik gula adalah warisan Belanda," katanya.
Ia mengemukakan sepengetahuan dirinya baru pabrik gula di bawah PTPN X yang sudah memiliki "core sampler" yang digunakan untuk mengukur rendemen tebu milik petani secara lebih akurat.
"Kalau selama ini pengukuran rendemen tebu hanya dirata-rata, yang umumnya hanya 7,5 persen, padahal untuk tebu bagus bisa 9 persen. Mau tebu petani itu bagus, mau tebu petani itu jelek, rendemennya tetap 7,5 persen. Dengan sistem seperti itu, maka petani tidak terpacu untuk menghasilkan tebu berkualitas bagus, karena di pabrik sama saja dengan tebu berkualitas tidak baik," katanya.
Dengan "core sampler" yang bisa mengukur rendemen setiap satu truk tebu itu, maka hal tersebut akan lebih menguntungkan petani karena akan ketahuan tebu petani yang bagus dengan yang tidak bagus, demikian juga dengan rendemennya.
Mengenai harga alat "core sampler" itu, Budhi memperoleh informasi untuk satu unit sekitar Rp5 miliar dan bagi pabrik besar seperti di Jatiroto Lumajang perlu sekitar empat unit atau dengan biaya Rp20 miliar, sedangkan pabrik kecil hanya cukup satu unit.
"Dana Rp20 miliar untuk pabrik besar, menurut kami tidak terlalu masalah, demikian juga untuk pabrik kecil yang butuh dana Rp5 miliar. Ini demi kepentingan petani dan industri gula jangka panjang agar petani tetap bergairah menanam tebu dan menghasilkan tebu yang baik," katanya.
Jika Menteri BUMN ikut memperhatikan nasib petani dengan merevitalisasi pabrik gula, kata dia, hal itu mendukung program "Nawa Cita" Presiden Joko widodo, antara lain meningkatkan produktivitas rakyat, sesuai dengan poin keenam.
Sementara itu Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia atau AGRI membantah ada anggotanya yang melakukan penjualan gula rafinasi ke pasaran sehingga merusak harga komoditas gula lokal dan merugikan petani.
"Sesuai ketentuan gula rafinasi tidak dijual ke pasar tapi diperuntukan untuk industri makanan dan minuman yang memang membutuhkan kualitas tinggi," kata Wakil Ketua I Bidang Kebijakan, Regulasi dan Hukum AGRI Albert Y Tobagu kepada pers di Jakarta.
Gula rafinasi atau gula kristal putih adalah gula mentah yang telah mengalami proses pemurnian untuk menghilangkan molase sehingga gula rafinasi berwarna lebih putih dibandingkan gula mentah yang warnanya lebih kecokelatan.
Menurut Albert, pihaknya tidak mungkin melakukan penjualan gula rafinasi ke pasar, karena hal itu menyalahi aturan dan setiap gula yang dijual ke industri makanan dan minuman kuotanya sudah ditetapkan dan dilaporkan ke Kementerian Perdagangan.
Kehadiran gula rafinasi di Indonesia sejak tahun 1997 didorong oleh kebutuhan industri makanan dan minuman dalam negeri yang bahan bakunya belum dapat dipenuhi oleh industri gula nasional.
Ia juga mengemukakan bahwa AGRI sejak 2008 sampai kini terus memberikan dana talangan kepada petani dan pada 2014 kembali mendapat penugasan dari pemerintah karena situasi musim giling tebu selama tahun ini mengalami harga terendah.
"Kita tetap memberikan dana talangan kepada petani gula pada saat para pedagang tidak ada yang mau memberikan dana talangan sehingga petani minta kepada kami," katanya.
Menurutnya, jumlah kuantum dana talangan yang diberikan oleh AGRI sebanyak 250 ribu ton dari 19 pabrik gula dengan harga Rp8.500 per kilogram. Sampai saat ini AGRI telah memberikan dana talangan 200 ribu ton senilai Rp1,7 triliun yang telah tersalurkan 50 ribu ton, sehingga stok gula tani milik AGRI tersisa 150 ribu ton.
"Situasi tersebut menyebabkan kami menanggung kerugian dari penurunan harga dan beban bunga pinjaman bank," katanya.
Sementara PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) berharap pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Joko Widodo dan Jusuf Kalla mendukung perkembangan industri gula nasional.
"Kami berharap pemerintah baru melakukan moratorium atas gula rafinasi," kata Direktur Utama RNI Ismed Hasan Putro.
Ia menyebutkan kebijakan pemerintah terkait dengan gula rafinasi pada akhir 2013 berdampak buruk terhadap industri dan pabrik gula nasional.
"Gula rafinasi membanjiri pasar nasional sementara produksi pabrik gula lokal menumpuk di gudang," katanya.
Menurut Ismed, RNI yang memiliki 10 pabrik gula mengalami kerugian sekitar Rp300 miliar sebagai dampak kebijakan itu.
"Porsi usaha terkait gula di RNI ini mencapai sekitar 60 persen sehingga laba atau rugi BUMN ini ditentukan dari gula," katanya.
Ia menyebutkan kerugian juga dialami BUMN lain yaitu PT Perkebunan Nusantara (PTPN). "Dalam sejarah baru kali ini ada karyawan pabrik gula, bahkan kontraktor yang dibayar dengan gula, bukan dengan "Soekarno-Hatta" (uang)," katanya.
Ismed juga mempertanyakan keseriusan pemerintah melaksanakan dan mewujudkan program swasembada gula.
"Program swasembada gula hanya omong kosong jika ada kebijakan pemerintah yang tidak sejalan dengan program itu," katanya.
Menteri Perdagangan Rachmat Gobel menyatakan pihaknya siap mengurangi impor raw sugar atau gula mentah, dengan tujuan untuk membangun industri dalam negeri agar mampu terus berkembang dengan baik.
"Jika mungkin bisa dikurangi akan saya kurangi, namun dengan tujuan untuk membangun industri dalam negeri," katanya.
Rachmat mengatakan, apabila terjadi pengurangan impor raw sugar tersebut maka industri dalam negeri harus juga dibangun, namun hingga saat ini keputusan tersebut masih akan dibicarakan terlebih dahulu dengan para pemangku kepentingan untuk menentukan kebijakan selanjutnya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2014
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2014