Bondowoso (Antara Jatim) - Menjadi ketua organisasi siswa intra sekolah (OSIS) tidak membuat Purwadi gengsi melakukan sesuatu untuk membantu keuangan keluarga dengan menjajakan dagangan.
Purwadi yang kini Ketua OSIS Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 1 Sumber Wringin, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur, ini biasa berjualan gorengan dari ketela pohon ke sekolah.
"Buat apa malu? Yang penting yang saya lakukan halal," kata siswa kelas tiga ini saat ditemui di rumahnya yang sangat sederhana.
Bukan hanya tidak malu. Ia menunjukkan diri sebagai anak muda yang gigih. Gorengan yang biasa disebut "tela-tela" itu ia buat sendiri. Pengerjaan mengupas kulit ketela pohon, mengukus dan memotong sesuai ukuran dilakukan seusai isya dan baru selesai sekitar pukul 21.00.
Kemudian ia istirahat dan pukul 02.00 esok harinya sudah bangun untuk memulai menggoreng tela-tela. Jangan bayangkan menghidupkan api untuk menggoreng ketela itu tinggal memutar pemantik api di kompor. Sebab Purwadi tidak punya kompor gas elpiji ataupun kompor minyak. Purwadi memasak dagangannya itu di tungku yang disusun dari batu bata merah di dapur di bagian belakang rumahnya.
"Saya tidak punya kompor gas. Tidak kuat beli. Apalagi nanti masih harus beli gasnya. Enak pakai kayu tinggal ngambil di sekeliling rumah," katanya.
Memerlukan waktu untuk menyalakan api di tungku itu. Namun Purwadi sudah cekatan menggunakan "seropong" (potongan bambu) untuk menyalurkan udara dari mulut ke dekat api agar nyalanya lebih besar. Maklum aktivitas pemuda yang ibunya bekerja di Surabaya sebagai pembantu rumah tangga dan ayahhnya buruh tani itu sudah biasa dilakukan sejak kecil, sedangkan jualan tela-tela dilakukannya sejak kelas satu SMK.
Angin semilir yang masuk melalui lobang dinding anyaman bambu di dapurnya itu kadangkala cukup membantu Purwadi menghidupkan nyala api.
Tidak hanya mengoreng tela-tela, Purwadi yang dibantu adiknya Santoso (siswa kelas tiga SMP) juga harus masak nasi untuk sarapan keluarga. Pekerjaan itu biasanya selesai sekitar pukul 04.30. Selesai shalat subuh, Purwadi menyempatkan belajar sebentar. Meskipun jarak rumahnya ke sekolah tidak sampai 10 kilometer, Purwadi harus berangkat lebih pagi, antara pukul 05.30 atau pukul 06.00.
"Karena saya naik angkutan. Kalau tidak pagi-pagi tidak kebagian dan bisa terlambat," kata pemuda murah senyum ini seraya mengaku tidak punya sepeda ontel sekalipun untuk ke sekolah.
Untuk gorengan tela-tela yang dikemas dalam plastik masing-masing seharga Rp1.000 itu ia masukkan ke dalam wadah berbentuk kotak. Setiap hari ia membawaa 20 bungkus tela-tela. Dengan demikian omzet dagangan anak kedua dari lima bersaudara ini Rp20.000 setiap harinya.
Purwadi tidak bisa menjelaskan berapa keuntungan per hari hasil penjuualan Rp20.000. Ia hanya punya hitungan mengeluarkan modal sekitar Rp50.000, dengan rincian untuk membeli 20 kg ketela Rp10.000 dan Rp40.000 untuk minyak goreng, bumbu dan plastik pembungkus. Ketela 20 kg itu terjual habis rata-rata untuk satu pekan dengan menghasilkan uang Rp150.000. Untungnya sekitar Rp100.000 untuk satu pekan.
"Sebetulnya dari saya satu minggu itu menghasilkan uang Rp120.000, sementara yang Rp30.000 dari adik saya yang sekarang kelas tiga SMP. Adik saya setiap hari bawa lima bungkuss tela-tela," kata Purwadi.
Ia menjelaskan bahwa adiknya juga diajari berjualan agar tidak menghilangkan gengsi dan tahu betapa tidak mudahnya mencari uang. Purwadi mengaku bersyukur karena si adik tidak keberatan untuk ikut berjualan.
Keuntungan yyang diperolehnya itu cukup membantu keuangan yang selama ini disangga oleh Salim, sang ayah. Penghasilan Salim sebagai buruh tidak menentu dan jika tidak ada pekerjaan, maka tabungan Purwadi dari berjualan gorengan itu yang dipakai untuk membeli beras dan kebutuhan lainnya. Sementara upah ibunya, Ripa yang bekerja di Surabaya belum bisa digunakan keluarga karena selama ini digunakan untuk mencicil utang akibat si ibu ditipu orang. Ceritanya si ibu dimintai tolong temannya untuk meminjam uang. Ternyata si teman tidak bertanggung jawab. Maka Ripa yang harus menanggungnya.
Untuk uang saku Purwadi sendiri, tergolong sangat kecil, bahkan untuk anak kelas satu SD pun, apalagi di perkotaan.
"Saya bawa uang saku Rp2.000 per hari. Ya, buat beli camilan saja. Kadang hanya saya gunakan Rp1.000," katanya datar dan tanpa beban.
Untuk mengirit pengeluaran, setiap hari Purwadi numpang pada temannya yang membawa sepeda motor saat pulang. Jadi pengeluaran hanya untuk ongkos berangkat. Tentu cara seperti ini memerlukan keterampilan berkomunikasi, karena bagaimanapun Purwadi sering merasa malu terus menerus menumpang. Namun untuk urusan ini, kemelaratan hidup dan aktif di organisasi sekolah telah menempa hidupnya untuk tahan banting. Sebagai konsekuensinya ia harus ringan tangan jika teman-temannya memerlukan bantuan.
Siswa yang oleh sejumlah guru dikenal sebbagai sosok yang peduli pada sesama siswa maupun guru itu memang dikenal ulet. Dengan aktif di OSIS dan Pramuka, ia masih bisa punya waktu untuk mencari uang.
"Seringkali saya menemukan Purwadi menawarkan diri untuk membantu kepada para guru yang sedang mengerjakan sesuatu. Ia memiliki kepekaan yang bagus untuk membantu orang. Kepakaan seperti itu cukup bagus untuk anak seusia dia," kata Evy, guru SMKN 1 Sumber Wringin.
Barangkali tempaan hidup yang mengajarkan lelaki yang bercita-cita kuliah sambil berjualan ini tentang kearifan yang melampaui usianya. Di tengah siswa lainnya masih diselimuti sikap ego dan tidak peduli, Purwadi justru berbeda.
Sebetulnya secara berterus terang Purwadi memiliki hayalan agar dirinya bisa seperti teman-temannya. Memiliki sepeda motor sendiri sehingga bisa bepergian ke mana suka. Namun ia menyadari bahwa hidup harus realistis. Ia harus menikmati keadaan keluarganya yang jangankan membeli sepeda motor, sepeda angin pun tidak kuasa.
Apalagi Purwadi sadar bahwa ia menjadi figur panutan bagi tiga adiknya, Santoso (SMP kelas tiga), Afandi dan Silla Nurcahyati (sama-sama kelas VI SD). Dan sejak kakaknya Ismawati meninggal setahun lalu, beban hidup keluarganya bertambah. Fadil (6), anak dari almarhumah Ismawati juga berkumpul dengan keluarga Purwadi.
Purwadi bertekad agar tiga adik dan satu ponakannya itu bisa sekolah sampai perguruan tinggi tanpa putus. Sebab ia pernah mengalami masa berat saat lulus SD. Karena berbagai pertimbangan ekonomi, ia menuruti keadaan untuk tidak melanjutkan sekolah dan bekerja di usaha kerajinan kulit kerang di Kabupaten Situbondo.
Bekerja di tempat penuh risiko debu sisa gosokan kulit kerang membuat Purwadi sering batuk, bahkan hingga keluar darah. Maklum selama bekerja sekitar tujuh bulan, Purwadi dan pekerja lainnya tidak pernah menggunakan masker untuk melindungi paru-paru agar tidak menyerap udara bercampur debu kulit kerang. Akhirnya Purwadi pulang ke desanya di Sumber Gading, Kkecamatan Sumber Wringin. Ia kemudian melanjutkan sekolah SMP.
Purwadi bersama ayah, adik dan keponakannya hidup di rumah sederhana dan hanya bagian depannya berdinding tembok yang batanya belum dikuliti. Tidak ada kamar di rumah itu, kecuali sekat dari kain dan anyaman bambu, termasuk sekat dengan dapurnya. Dengan alas rumah bagian belakang yang hanya tanah, keluarga itu meletakkkan kasur di tanah. Tentu dari segi kesehatan kurang baik.
Sementara di ruang tamu yang dilengkapi kursi tua menggunakan plesteran dari campuran pasir, semen dan kapur.
Ruang depan rumah itu dihiasai sejumlah bunga buatan dari kertas dan plastik. Semua itu merupakan karya dari Purwadi. Ia berobsesi, keterampilan itu kelak bisa menghasilkan uang. Karena karyanya itu masih banyak kekurangan, bunga-bunga buatan itu belum ada yang terjual. Namun, pelajar yang juga bisa membuat kaligrafi tersebut tidak putus harapan. Ia menggantunggkan optimismenya pada perjalanan waktu dan pengasahan keteramppilan yang terus menerus.
Untuk keperluan makan, keluarga ini sebetulnya tidak banyak. Karena cukup denggan nasi campuran beras dan jagung dipadu dengan sayur bening dan sambal, sudah membuat Purwadi dan keluarga nikmat. "Kalau pakai tempe, apalagi telor kan nambah biaya. Nasi dengan sayur dan sambal terasi sudah terasa enak kok," katanya seraya memperlihatkan nasi jagung dan sayur bening di "meja" makan di sisi kanan ruang sempit menuju dapur.
Mengenai jual gorengan, sudah dua bulanan ini Purwadi tidak bisa berproduksi. Bukan karena habis modal, tapi kiriman singkong yang macet. Penjual singkong tidak pernah datang ke rumahnya tanpa ia tahu alasannya. Sebetulnya ia sangat ingin pergi ke rumah penjual singkong itu. Tapi apa daya, kendaraan tak punya.
Purwadi tidak mau larut dalam kekosongan aktivitas bisnisnya itu. Ia kemudian memperoleh ide untuk berjualan pulsa seluler. Bermodal Rp250.000 untuk deposit pulsa membuat bisnis Purwadi kembali berjalan. Uang Rp250.000 itu diporelah dari tabungan Rp150.000 dan Rp100.000 hasil pinjaman dari temannya. Meskipun tidak sebanyak hasil berjualan tela-tela, Purwadi mulai bisa tersenyum. Setiap hari ia bisa mengantongi untung Rp3.000. Ya, Rp 3.000, bukan Rp30.000 apalagi Rp300.000.
Pengusaha "super kecil" ini punya kiat untuk melariskan bisnisnya. Kalau penjual pulsa lain ambil untung Rp1.500 untuk sekali isi ulang, Purwadi cukup untuk Rp1.000.
"Bisanya ada teman atau guru yang beli pulsa ke saya. Ya rata-rata sehari ada tiga pembeli dengan untung saya dapat Rp3.000," katanya.
Rencana setelah lulus SMK, Purwadi memiliki impian untuk bekerja di Jepang. Ini karena sejumlah kakak kelas di SMKN Sumber Wringin ada yang di negeri Matahari Terbit itu.
Namun di satu sisi Purwadi sangat ingin bisa malanjutkan sekolah ke perguruan tinggi. Meskipun masih bimbang, Purwadi kemungkinan akan memlih kuliah sambil mengasah keterampilan bisnisnya dengan pasar lebih luas ketika berada di kampus.
"Mudah-mudahan saya juga bisa mendapatkan beasiswa untuk biaya kuliah nanti," katanya.
Purwadi adalah segelintir anak muda yang memiliki karakter kuat untuk maju. Ia memiliki modal untuk sukses, yakni pekerja keras dan prestasi akademik yang selalu rangking satu di kelas sejak tahun pertama sekolah di SMKN Sumber Wringin. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2014
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2014