Lumajang (Antara Jatim) - Pengurus Himpunan Petani Tebu Rakyat (HPTR) meminta Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Rini Mariani Semarno ikut memperhatikan nasib petani tebu dengan cara merevitalisasi peralatan di pabrik-pabrik gula. "Salah satu yang saat ini sangat kami harapkan adalah pengadaan 'core sampler', alat untuk mengukur rendemen tebu di pabrik-pabrik gula. Selama ini alat pengukur rendemen tebu yang digunakan pabrik gula adalah warisan Belanda," kata Sekretaris Himpunan Petani Tebu Rakyat (HPTR) Lumajang Budhi Susilo di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, Senin. Ia mengemukakan sepengetahuan dirinya baru pabrik gula di bawah PTPN X yang sudah memiliki "core sampler" yang digunakan untuk mengukur rendemen tebu milik petani secara lebih akurat. "Kalau selama ini pengukuran rendemen tebu hanya dirata-rata, yang umumnya hanya 7,5 persen, padahal untuk tebu bagus bisa 9 persen. Mau tebu petani itu bagus, mau tebu petani itu jelek, rendemennya tetap 7,5 persen. Dengan sistem seperti itu, maka petani tidak terpacu untuk menghasilkan tebu berkualitas bagus, karena di pabrik sama saja dengan tebu berkualitas tidak baik," katanya. Ia menjelaskan bahwa dengan alat "core sampler" yang bisa mengukur rendemen setiap satu truk tebu itu, maka hal tersebut akan lebih menguntungkan petani karena akan ketahuan tebu petani yang bagus dengan yang tidak bagus, demikian juga dengan rendemennya. Mengenai harga alat "core sampler" itu, Budhi memperoleh informasi untuk satu unit sekitar Rp5 miliar dan bagi pabrik besar seperti di Jatiroto Lumajang perlu sekitar empat unit atau dengan biaya Rp20 miliar, sedangkan pabrik kecil hanya cukup satu unit. "Dana Rp20 miliar untuk pabrik besar, menurut kami tidak terlalu masalah, demikian juga untuk pabrik kecil yang butuh dana Rp5 miliar. Ini demi kepentingan petani dan industri gula jangka panjang agar petani tetap bergairah menanam tebu dan menghasilkan tebu yang baik," katanya. Menurut dia, jika Mentri BUMN ikut memperhatikan nasib petani dengan merevitalisasi pabrik gula, maka hal itu mendukung program yang dicanangkan oleh Presiden Joko widodo, antara lain meningkatkan produktivitas rakyat, sesuai dengan poin keenam dari program Nawa Cita-nya. Selain masalah pengukuran rendemen tebu dimana petani pemilik tebu tidak bisa terlibat di dalamnya, permasalahan lain adalah harga gula yang sangat rendah. Ia menjelaskan pemerintah sudah menetapkan harga patokan petani (HPP) gula Rp8.500 per kilogram dari sebelunya Rp8.250, namun pada proses lelang peserta tidak ada yang berani membeli sesuai HPP tersebut. Karena tidak sesuai harapan, petani di Lumajang bertekad tidak menjual gualanya. Kini sekitar 7.000 ton gula itu mereka tumpuk di rumah-rumah yang tidak dihuni. Mereka juga melakukan aksi protes dengan membuang puluhan karung gula dalam aksi yang digelar oleh sekitar 300 petani di Lumajang, Kamis (23/10) lalu. "Kalau pemerintah memang peduli kepada petani, mulai sekarang setop impor gula agar gula di dalam negeri, khususnya milik petani bisa terjual dengan harga bagus," kata Budhi Susilo. (*)

Pewarta:

Editor : Endang Sukarelawati


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2014