Surabaya (Antara Jatim) - Arkeolog dan peneliti batik Prof Dr Kusnin Asa menegaskan bahwa batik tidak bisa lagi diperjualbelikan seperti pedagang kaki lima, melainkan perlu revolusi dalam bisnis batik. "Jual batik itu jangan kayak dulu, pembatik butuh uang untuk beli beras, lalu kain batiknya dijual dengan harga asal laku," katanya dalam seminar 'Arkeologi dan Fashion Batik' di Gedung W Universitas Kristen Petra (UKP) Surabaya, Sabtu. Di hadapan puluhan perajin batik, desainer, dan pecinta batik dari Komunitas Batik Jatim di Surabaya (KiBaS) itu, ia menjelaskan sekarang saatnya batik diperdagangkan melalui kerja sama antara pembatik/desainer dengan perajin/industri. "Kalau pembatik/desainer dan perajin atau industri jalan sendiri-sendiri, maka batik akan sulit berkembang, karena tekstil bermotif batik yang berkembang," ucapnya dalam seminar untuk memperingati HUT ke-5 KiBaS itu. Menurut peneliti yang studi di Belanda dengan disertasi tentang Batik Pekalongan itu, batik akan sulit berkembang karena harganya mahal, sedangkan tekstil bermotif batik akan laku karena harganya sangat murah. "Kalau hal itu dibiarkan, maka motif atau ragam hias tentang batik akan stagnan dan bahkan batik sebagai budaya akan mati, karena itu pemerintah harus mendorong kerja sama antara pembatik dengan perajin batik," ujarnya. Penulis buku "Mozaik Batik Indonesia" itu mengatakan kerja sama pembatik dengan perajin akan membuat harga batik tidak terlalu mahal, tapi motif atau budaya batik tidak akan mati, karena batik akan diperdagangkan dengan manajemen baru. "Manajemen baru itu tepat untuk menyambut Perdagangan Bebas ASEAN, karena perajin akan melakukan repro atas desain batik yang dihasilkan para pembatik. Jadi, batik produksi perajin X tapi ada merek dengan nama pembatik X, sehingga pembatik akan menerima royalti dan perajin atau industri tidak sekadar menjual tekstil bermotif batik," tukasnya. (*)

Pewarta:

Editor : Chandra Hamdani Noer


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2014