Kekeringan, jenis bencana satu ini sepertinya sudah begitu familiar bagi masyarakat kita, terutama di pulau Jawa (plus Madura) yang memiliki tingkat kepadatan penduduk tertinggi di Indonesia. Setiap kali datang kemarau, pemberitaan yang selalu muncul selalu mengaitkan dengan persoalan sediaan baku air bersih maupun untuk memenuhi kebutuhan air minum. Bahkan, "menu wajib" setiap kali kemarau tiba itu terkadang diawali sebelum musim hujan berakhir, karena media sudah ramai-ramai menulis potensi kekeringan yang mulai ataupun segera melanda beberapa kawasan di berbagai wilayah Indonesia, khususnya di Jawa. Lebay! Ya, terkadang terbersit pemikiran seperti itu. Hujan masih turun, meski sudah mulai jarang, tetapi sejumlah pihak sudah mulai teriak kekeringan. Entah itu petani ataupun masyarakat yang kebetulan daerahnya memang menjadi langganan kekeringan atau bahkan pemerintah daerah sendiri yang mulai berhitung mengenai potensi kekeringan di wilayah masing-masing. Daerah-daerah atau kawasan yang selama ini selalu menjadi langganan kekeringan dengan cepat menghiasi pemberitaan di sejumlah media mainstream, sehingga seolah bencana ini sudah begitu dekat dan menyebabkan penderitaan yang tidak terperikan bagi sebagian masyarakat kita yang mengalami langsung. Kondisi sebenarnya sangat mungkin tidak separah itu, terutama di awal musim. Dampak kemarau memang terjadi, kekeringan, namun di permulaan musim kering biasanya baru sebatas penyusutan sediaan baku air bersih dalam tanah. Air masih bisa didapat, namun debitnya menurun drastis dari waktu ke waktu seiring masa kemarau yang memang menjadi siklus iklim di Indonesia. Demi memenuhi kebutuhan air bersih untuk minum, memasak, dan MCK (mandi, cuci, dan kakus), warga harus menempuh jarak yang cukup jauh dari pemukiman mereka. Masalahnya, penyusutan baku air dalam tanah akan terus terjadi (dan semakin parah) seiring berjalannya waktu/masa kemarau. Akibatnya, pasokan air alami untuk memenuhi hajat hidup lingkungan sekitarnya juga menurun. Sawah-ladang mengering, aneka tanaman pun layu. Warga yang membutuhkan air untuk minum, memasak ataupun mandi-cuci-kakus, juga mulai kesulitan. Aneka persoalan mendasar sebagai dampak musim kering inilah pesan yang ingin dimunculkan melalui opini pemberitaan mengenai kekeringan. Kendati warga yang daerahnya mengalami kekeringan bukan berarti tidak memiliki akses sama sekali terhadap sumber air, seberapapun jauhnya, pasokannya jelas jauh menurun. Untuk memenuhi kebutuhan air satu individu manusia, menurut standar WHO adalah 12 liter/orang atau standar nasional 10 liter/orang, jelas tidak mencukupi. Dampaknya tentu mengkhawatirkan ketika kondisi kekurangan air bersih ini terus menyebar ke kawasan lain di sekitar titik awal bencana kekeringan terjadi, sebab selain wilayah terdampak semakin luas, jarak tempuh warga untuk "berburu" air bersih juga semakin jauh, dan jatah yang bisa diperoleh semakin sedikit karena harus berbagi dengan banyak orang. Fakta dan fenomena kesulitan air bersih semacam itulah pesan yang ingin disampaikan melalui opini media/pemberitaan. Maksudnya jelas, supaya tercipta empati bersama untuk mengatasi, atau setidaknya mencari solusi penanggulangan atas kekeringan yang mulai melanda. Baru-baru ini, Gubernur Jawa Timur Soekarwo mengungkapkan hingga pertengahan September ini telah ada 22 dari 38 kabupaten/kota se-Jawa Timur yang mengalami kekeringan. Beberapa daerah dimaksud bahkan dia sebut masuk kategori parah sehingga perlu mendapat penangulangan secara cepat, yakni bantuan tandon air sekaligus penyaluran air bersih secara kontinyu menggunakan truk-truk tangki milik daerah. Berhasilkah? Bisa jadi, tapi tentu sulit dikatakan merata. Faktanya, beberapa daerah di pesisir selatan seperti Trenggalek, Ponorogo dan Pacitan masih saja muncul keluhan masyarakat mengenai sulitnya mendapat air bersih. Sedikit aneh, karena sebenarnya pemerintah daerah masing-masing telah memprediksi bencana tersebut sejak jauh hari dan melakukan sejumlah langkah penanggulangan dalam bentuk dropping atau pasokan air bersih. Tidak meratanya pasokan air bersih itu selain dipengaruhi wilayah terdampak meluas, hal itu mengindikasikan pemerintah kewalahan dalam menghadapi bencana laten setiap musim kering tersebut. Perencanaan penanggulangan bencana masih terlalu instan dan kurang matang. Gubernur Soekarwo memang menjanjikan untuk membuat upaya terobosan strategi penaggulangan jangka menengah dengan membuat pipa water tower dan sumur bor untuk daerah-daerah yang diidentifikasi menjadi langganan kekeringan. Langkah itu tentu harus didukung, meski kita patut sanksi apakah pelaksanaan kebijakan tersebut bisa merata di daerah-daerah yang menjadi langganan banjir, sebab kenyataannya, sejumlah embung geomembran yang dibangun Pemprov Jatim maupun masing-masing pemerintah daerah masih sangat terbatas. Apalagi di wilayah Madura yang daerahnya rata-rata tidak memiliki cukup tanah kas desa untuk digunakan sebagai lokasi embung. Oleh karena itulah, penanggulangan bencana kekeringan sebaiknya terencana, memiliki banyak alternatif solusi, serta terkonstruksi dengan baik. Upaya penanggulangan secara instan melalui penyaluran air bersih tentu sangat diperlukan untuk mengatasi kondisi kekinian, demikian pula dengan strategi jangka menengah membangun embung geomembran, sumur bor ataupun pipa water tower di daerah-daerah kering kritis. Namun, perencanaan jangka panjang yang tak boleh dilewatkan adalah melakukan konservasi di kawasan tangkapan air. Pemerintah dan masyarakat harus bisa pula mendorong munculnya semangat kearifan lokal dalam hal pemeliharaan sumber-sumber air yang ada di masing-masing daerah. Sebab tanpa ada kemauan secara komprehensif dalam mengantisipasi bencana laten kekeringan tersebut, fenomena kesulitan air bersih akan terus terjadi dan bahkan semakin meluas. (*)

Pewarta:

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2014