Hiruk pikuk penuh fitnah dan intrik yang merebak mewarnai suasana kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014, berakhir sudah. Hasil maksimal belum tentu didapat, yang pasti kemasygulan ada di benak rakyat. Bagaimana masyarakat tidak bingung, Para Tim Sukses dan Juru Kampanye kedua pasangan Capres dan Cawapres bukannya menyampaikan visi, misi serta program kerja yang bersifat substansial, tetapi lebih banyak menonjolkan sisi negatif dari masing-masing pesaing. Maka, tidak heran bila di tengah situasi kampanye sempat terjadi perang "bintang" antarjenderal pendukung masing-masing kubu. Tidak elok, memang, ketika rakyat disuguhi pemandangan para jenderal senior yang mengungkap "dosa" juniornya yang mencalonkan sebagai Presiden. Celakanya, media massa yang seharusnya menjadi penyeimbang, terpaksa meninggalkan prinsip-prinsip independensi, semata karena harus mengikuti kemauan pemilik modal yang terlibat langsung dalam soal dukung mendukung peserta kontestasi. Seperti biasa, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tidak bisa berbuat banyak menghadapi maraknya pelanggaran penggunaan frekuensi oleh sejumlah stasiun televisi. (Sumber lain menyebutkan bahwa KPI sudah merekomendasikan sanksi keras kepada 'TV merah' dan 'TV biru', namun realisasi rekomendasi yang diberikan kepada Kominfo itu belum jelas, apakah menunggu pemerintahan baru atau kapan, entah). Media sosial pun bebas dimanfaatkan oleh pemilik akun untuk mengekspresikan dukungannya. Media ini dianggap lebih aman karena jauh dari konsekuensi hukum. Mereka yang merasa dirugikan oleh tuduhan, penghinaan atau sindiran dalam media sosial, hanya dibenarkan menuntut melalui mekanisme delik aduan. Kondisi menjadi makin parah ketika sejumlah lembaga survei menampilkan hasil penelitiannya atas dasar pesanan dari Tim Sukses masing masing. Masyarakat pun bingung, siapa yang sebenarnya memiliki elektabilitas tinggi di antara kedua kandidat. Hanya acara Debat Capres dan Cawapres yang disiarkan langsung radio dan televisi yang dinilai agak membantu memberikan pemahaman bagi masyarakat tentang kualitas capres yang akan didukungnya, meski pengaruhnya tidak terlalu besar. Sayangnya, kedua capres belum menunjukkan kemampuan seperti yang diharapkan. Satu calon memaksakan diri bersikap tegas, kebetulan berasal dari militer, sedangkan capres lainnya terkesan kurang pandai berkomunikasi, meskipun mengaku telah mencatat hasil kerja nyata. Beruntung, keduanya memiliki cawapres cukup andal sehingga mampu menutup kelemahan capresnya. Hatta Rajasa terlihat cukup menguasai masalah perekonomian, sedangkan Jusuf Kalla banyak diketahui oleh publik karena sarat pengalaman di pemerintahan, baik sebagai menteri maupun Wakil Presiden. Dibanding pilpres-pilpres sebelumnya, pilpres kali ini memang paling seru dan menegangkan karena hanya diikuti dua pasangan, sehingga pertarungan berlangsung "head to head". Perhatian masyarakat pun menjadi lebih terfokus. Sensivitas masing-masing kubu juga sangat terasa ketika satu pihak merasa dizalimi. Otomatis tuduhan penzaliman diarahkan kepada kubu lawan dan sebaliknya. Maka, pada masa tenang 6-8 Juli ini, segenap pendukung kandidat berkesempatan untuk merefleksikan diri. Manfaatkan waktu yang singkat ini untuk sejenak merenung, bahwa kita semua adalah bersaudara dan Pemilu bukanlah segala-galanya dalam mencapai kemakmuran bangsa yang kita idam-idamkan selama ini. Meminjam tausiah ulama, menjatuhkan pilihan pada seorang kandidat pada Pilpres 9 Juli 2014, bukan berarti kita membenci kandidat lainnya. Kita tinggalkan emosi yang pernah kita tunjukkan ketika secara membabibuta mendukung seorang capres/cawapres sebelum ini. Mari kita berpikir jernih sebelum memilih!. (*).

Pewarta:

Editor : Tunggul Susilo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2014