Surabaya (Antara Jatim) - Jaringan Kerja Masyarakat Sipil Indonesia untuk Perlindungan Hak-hak Pengungsi, SUAKA, mendukung kebijakan pemerintah Indonesia untuk bersikap tegas terhadap kebijakan "turn backs" dari pemerintah Australia. "Kami menyetujui pernyataan Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa bahwa tindakan Australia telah melanggar hak asasi manusia dari para pencari suaka," kata Co-Chair dari Suaka, Muhammad Hafiz, dalam siaran pers yang diterima Antara di Surabaya, Sabtu. Sejak pemilihan umum Australia pada 2013, kebijakan Australia tentang pengungsi dan pencari suaka telah berubah secara signifikan,di antaranya mengembalikan para pencari suaka ke Indonesia, baik dalam kapal-kapal yang mereka gunakan atau setelah perpindahan ke kapal baru yang telah Australia sediakan untuk berlayar kembali ke perairan Indonesia. "Itu pelanggaran hukum internasional, karena itu pernyataan Menteri Luar Negeri menunjukkan bahwa Indonesia sedang berperan dalam kepemimpinan yang kuat dalam menggarisbawahi pentingnya hak asasi manusia dalam membangun solusi wilayah tentang pencari suaka dan pengungsi," katanya. Program Manager untuk Advokasi PBB-OKI dari Human Rights Working Group (HRWG) itu menegaskan bahwa sikap Indonesia yang fokus pada solusi wilayah itu penting dan menunjukkan komitmen pada Bali Process tentang Penyelundupan Manusia, Perdagangan Manusia dan Kejahatan Lintas-Bangsa Terkait dan Jakarta Declaration tentang Irregular Movement of Persons. "Kedua hal tersebut sangat penting dalam kerangka kerja wilayah yang menyasar pada rumitnya masalah perdagangan dan penyelundupan manusia, karena korban dari perdagangan manusia adalah berbeda dengan pencari suaka atau pengungsi," katanya. Ia menyatakan pencari suaka dan pengungsi merupakan kelompok yang terpaksa meninggalkan negara asal mereka untuk menyelamatkan hidup. Banyak pencari suaka dan pengungsi sebenarnya lebih menginginkan hidup di negara asalnya daripada harus menempuh perjalanan jauh dari Tanah Air. "Jadi, kebanyakan dari mereka sebenarnya tidak hendak merantau ke luar negeri, karena itu kami menilai perlindungan para pencari suaka dan pengungsi adalah isu hak asasi manusia di tingkat regional, yang tidak dapat berfokus hanya kepada kejahatan dan perlindungan kedaulatan negara di perbatasan," katanya. Suaka mendesak pemerintah Indonesia untuk memastikan langkah-langkah yang dilakukan akan melindungi hak asasi manusia yang paling mendasar sebagaimana dukungan dan pendampingan yang memadai kepada para pencari suaka dan pengungsi, daripada meninggalkan mereka tanpa harapan atau cara-cara untuk bertahan. "Sayangnya, opini publik di Australia telah tercemar selama beberapa tahun tentang isu pencari suaka, karena dengan yang mencoba untuk mencapai tepi laut Australia dengan menggunakan kapal dianggap sebagai ancaman kepada keamanan nasional," katanya. Kebijakan Australia melalui beberapa pemerintahannya telah mengkriminalisasi pencari suaka yang mencoba mencari perlindungan di luar "cara biasa" atau "regular channels" yang mungkin ganjil dengan realitas dari migrasi yang terpaksa akibat pelanggaran hak asasi manusia. "Dalam Konvensi tentang Status Pengungsi 1951 (Konvensi Pengungsi) telah diatur mekanisme proses penentuan status untuk pencari suaka yang tiba di perbatasan negara pihak konvensi tersebut. Ini berarti bahwa Australia berwajib untuk mengikuti dan melindungi hukum internasional tanpa pertimbangan pendapat pribadinya tentang pencari suaka," katanya. Hingga kini, ada sekitar 10.000 pengungsi dan pencari suaka di Indonesia. Suaka sangat menghargai upaya UNHCR Indonesia dalam proses pencarian solusi jangka panjang untuk kelompok ini. (*)

Pewarta:

Editor : Didik Kusbiantoro


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2014