"Tutupen Botolmu, Tutupen Oplosanmu, Emanen Nyawamu, Ojok Mbok Terus-teruske, Mergane Ora Ono Gunane...," begitulah sepenggal syair lagu dangdut yang sering terdengar di layar televisi, radio, bahkan di tempat-tempat umum lainnya. Lagu dangdut atau pop kerap kali menangkap fenomena yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Benar saja, beberapa waktu terakhir, berita di televisi dan media massa dimarakkan dengan kasus orang meninggal setelah pesta minuman keras (miras) oplosan atau anak-anak usia sekolah yang ketahuan pesta miras oplosan/campuran. Tidak hanya 1-2 kasus, tapi dalam waktu yang hampir berdekatan banyak kasus-kasus miras oplosan yang juga disebut "cukrik" itu menelan korban nyawa sia-sia. Apakah miras oplosan sudah menjadi budaya masyarakat Indonesia?. "Itu (miras oplosan) bukan budaya, tetapi lebih pada sub kultur masyarakat marginal. Aktivitas minum miras atau mabuk adalah bagian dari gaya hidup dan sub kultur masyarakat marginal yang cenderung ingin mendemonstrasikan sikap mereka yang 'ngejago' (sok jagoan)," ucap sosiolog Universitas Airlangga Surabaya, Bagong Suyanto M.Si. Pernyataan Bagong ini selaras dengan komposisi oplosan yang beraneka jenis dengan bahan tambahannya pun memiliki tingkat bahaya yang tinggi dan mengancam keselamatan nyawa pengonsumsinya. Semua itu mereka lakukan untuk jago-jagoan, siapa kiranya di antara mereka yang mampu menenggak minuman tersebut. "Mereka minum miras oplosan yang berbahaya justru karena ingin diakui eksistensinya, keberanian mereka untuk menantang hal-hal yang berbahaya. Tidak peduli bahwa miras oplosan sudah membawa korban jiwa, tetapi justru di situlah letak tantangan dan kebanggaan yang dirasakan masyarakat marginal," kilah alumnus S1 dan S2 Unair itu. Hal ini juga terjawab dari orang-orang yang tertangkap karena kasus-kasus miras oplosan biasanya berkelompok atau dalam jumlah banyak, karena memang harus ada yang "melihat' mereka yang mampu menenggak miras oplosan, sehingga siapa paling jago akan diketahui. "Yang miris adalah ketika mereka yang terlibat pada pesta miras oplosan adalah anak-anak usia sekolah. Anak-anak yang harusnya dijaga dari hal-hal negatif bagi kehidupannya justru menjadi pelaku dan turut mengonsumsi miras oplosan," ungkap dosen sosiologi Unair itu. Bagi Bagong yang mendalami studi perkembangan anak dan kemiskinan, anak-anak usia sekolah yang ikut mengonsumsi miras oplosan tersebut karena mereka adalah bagian dari masyarakat marginal dengan sub kultur yang sama. Selain itu, faktor usia yang juga labil sehingga mudah terpengaruh oleh lingkungan. "Untuk kasus pelaku anak-anak usia sekolah perlu peranan orang tua dan guru-guru di sekolah serta masyarakat di sekitarnya untuk menciptakan lingkungan yang sehat bagi pergaulan dan tumbuh kembang anak-anak tersebut," tukas salah seorang aktivis Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jatim itu. Ia berpendapat bahwa masyarakat dapat ikut mengontrol untuk mencegah agar korban tidak berjatuhan. Caranya dengan melibatkan peran pimpinan masyarakat marginal yang disegani. "Pendekatan hukum formal semata tidak akan menyelesaikan masalah," paparnya. (*)

Pewarta:

Editor : FAROCHA


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2014