Oleh Abd Aziz Pamekasan (Antara) - Forum Kajian Kebijakan Publik (FKKP) Madura mengingatkan Pemkab Pamekasan akan potensi carok massal dalam pembangunan "embung" (penampung air) di Desa Bangkes yang diprotes pemilik lahan karena belum dilunasi, sedangkan pembangunannya telah berlangsung. Direktur FKKP Madura Mu'id Syakrani di Pamekasan, Rabu, mengatakan pemerintah harus bertindak cepat menyelesaikan pembebasan lahan milik warga, sebab jika dibiarkan berlarut-larut, bisa berpotensi menimbulkan situasi yang tidak kondusif, bahkan bisa terjadi carok massal. "Kasus Waduk Nipah di Sampang perlu menjadi pembelajaran yang berharga yang penyebabnya hampir sama dengan pembangunan embung di Pamekasan ini," katanya. Dalam rilis yang diterima Antara FKKP menyatakan, potensi kisruh pada kasus pembebasan lahan embung di Desa Bangkes, Kecamatan Kadur, sangat besar karena beberapa hal. Pertama, pelaksanaan pembangunan proyek di areal seluas empat hektare itu memang terindikasi tidak prosedural, karena pembangunan dilakukan sebelum lahan dibebaskan. Hasil kajian FKKP menyebutkan, dalam berbagai kasus tanah yang dijadikan lahan pembangunan proyek di Madura, pola pembebasan lahan yang tidak beres selalu menimbulkan masalah di kemudian hari. Kasus Waduk Nipah di Kabupaten Sampang yang menelan korban jiwa, serta menimbulkan benturan antara warga dengan aparat keamanan merupakan salah satu contoh nyata. Demikian juga dengan kasus sengketa lahan pendidikan yang terjadi selama ini. "Semuanya itu kan prosesnya sama. Jadi pembebasan lahannya belum diselesaikan, tapi pembangunannya telah dilakukan. Kami menganalisa, potensi pembangunan embung di Desa Bangkes itu bisa sama, apabila tidak segera diatasi," katanya menjelaskan. Kedua, faktor lain yang bisa memicu potensi pergerakan massa dalam kasus pembangunan embung di Kabupaten Pamekasan karena saat ini tahun politik. Ia menjelaskan, oknum warga yang tidak bertanggung jawab bisa memanfaatkan momentum itu dengan berdalih bahwa uang untuk pembebasan lahan yang semestinya menjadi hak warga masih digunakan para pejabat politik di Pamekasan untuk kepentingan pemilu. "Alasannya kan sangat sederhana. Yakni pembangunan dilaksanakan, sedang dana untuk pembebasan lahan belum cair. Padahal ketentuannya, lahan dulu, baru pembangunan," katanya. Mu'id mengatakan, proses dengan tahapan pembebasan lahan dulu baru pembangunan akan dianggap "kebenaran faktual" dan bisa diterima pemikiran semua kalangan, termasuk masyarakat desa. Jika, pemilik lahan tidak terima, lalu meminta dukungan pada warga lain dengan alasan telah dibohingi dan tidak akan dibayar, maka bisa jadi proyek pembangunan yang telah berjalan saat ini dibongkar paksa dengan alasan tidak ingin dijual lagi. "Yang perlu dipahami oleh semua pihak baik pemkab ataupun pemerintah pusat, bahwa kekompakan dan memiliki rasa prihatin bagi orang yang dianggap teraniaya di kalangan masyarakat perdesaan di Madura masih tinggi," katanya. Faktor ketiga, menurut FKKP proyek itu bermasalah, yakni pembangunan ambruk. Kondisi itu telah menimbulkan anggapan publik bahwa pembangunan itu tidak serius dan terkesan asal-asalan. Padahal saat pembangunan kondisi curah hujan tidak terlalu tinggi, dan di lokasi pembangunan tidak terjadi banjir. "Kaitan ambruknya pembangunan embung dengan pembebasan lahan menimbulkan anggapan di kalangan masyarakat setempat, termasuk pemilik lahan bahwa memang ada sesuatu yang tidak beres dalam pelaksanaan pembangunan proyek itu," katanya. Oleh karenanya, FKKP mendorong agar pemerintah, segera melunasi dana pembebasan lahan milik warga yang dijadikan lokasi proyek pembangunan embung tersebut, untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, semisal terjadinya carok massal atau gerakan serentak menolak pembangunan embung. Apalagi, kasus carok massal di Kabupaten Pamekasan akibat sengketa tanah juga pernah terjadi pada tahun 2006 di Desa Bujur Tengah, Kecamatan Batumarmar. (*)

Pewarta:

Editor : FAROCHA


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2014