Jombang (Antara Jatim) - Kematian 14 warga Desa Ngrimbi, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Selasa (28/2) menyisakan duka. Bukan hanya bagi warga di daerah itu, melainkan warga Jombang seluruhnya.
Ironisnya, daerah yang berjarak sekitar 40 kilometer dari pusat Kota Jombang itu ternyata tidak masuk ke dalam daerah yang berpotensi bencana.
Suasana haru dan duka masih menyelimuti keluarga Sribatih (70), salah seorang korban selamat. Ia masih ingat betul bagaimana musibah tanah longsor itu terjadi tepat di samping rumahnya.
Nyawanya juga hampir melayang, ketika rumahnya juga hampir tenggelam ditelan tanah. Namun, saat itu rumahnya hanya tertimpa tiang listrik. Walaupun tiga orang selamat, mereka harus kehilangan Sodik, cucunya yang lain. Ia saat itu tidur di rumah temannya, setelah kegiatan pengajian memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW di masjid desa setempat.
Saat kejadian, Sribatih tinggal bersama dengan cucunya, Misbakhul Anam (28) dengan istrinya, Khotimah (20).
Misbakhul mengatakan, seluruh keluarga saat itu sedang istirahat. Terlebih lagi, hujan juga turun sangat deras, sehingga tidur pun sangat pulas.
Ia terkaget, ketika mendengar suara keras di rumahnya. Ternyata, rumahnya tertimpa tiang listrik.
"Saat itu malah tidak tahu jika ada tanah longsor. Yang saya tahu, rumah tertimpa tiang listrik dan sangat gelap," katanya mengingat musibah yang terjadi pada Selasa dini hari itu.
Ia langsung masuk dan menyelamatkan istri serta neneknya dibawa ke rumah saudara yang berada di seberang sungai. Jaraknya hanya sekitar 1 kilometer.
Ia pun kembali membawa senter untuk mengetahui dengan pasti kejadian malam itu. Ia datang dengan sejumlah warga. Ia terhenyak. Seketika, ternyata tanah longsor sudah menutup empat rumah yang berada di sampingnya.
Suasana juga mencekam. Sorotan lampu senter langsung mengarah ke samping rumahnya. Saat itu, ia sempat melihat sebuah tangan yang menggapai-gapai, meminta tolong. Tangan itu adalah tetangganya, yang rumahnya bersebelahan dengan rumah yang ditinggalinya.
"Tubuhnya sudah tertimpa atap dan tangannya menggapai-gapai, istilahnya minta tolong," ujarnya.
Ia dengan para tetangga lain berhasil mengangkat kedua pasangan suami istri itu dan langsung membawanya keluar dari rumah. Selang beberapa menit kemudian, ternyata terjadi longsor susulan.
Ia dengan para tetangga sudah tidak berani lagi mendekat dan baru memastikan kejadian malam itu keesokan harinya.
Warga terhenyak menyaksikan musibah tanah longsor itu. Empat rumah yang berada tepat di belakang tebing setinggi hampir 100 meter longsor dan menimpa rumah itu.
Seluruh penghuni yang diketahui tertimpa ada 14 orang. Mereka semua masih kerabat. Tujuh di antaranya bisa ditemukan jenazahnya di hari pertama. Pencarian melibatkan warga dibantu tim SAR, TNI, serta polri.
Terkendala Cuaca
Pencarian para korban sempat terkendala. Tingginya curah hujan membuat petugas tidak dapat melanjutkan pencarian. Struktur tanah yang liat juga membuat pencarian tidak maksimal.
Kepala Seksi Pencegahan dan Kesiapsiagaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Jombang Gunadi mengatakan longsor susulan sering terjadi ketika petugas sedang mencari para korban.
Tak ayal, petugas berusaha menyelamatkan diri, dan menunggu longsoran kembali reda. Setelahnya, pencarian kembali dilanjutkan.
Ia juga mengatakan, tujuh korban memang mudah ditemukan di hari pertama karena tanah yang menimpa tubuh mereka tidak terlalu dalam.
"Lha sisanya ini memerlukan waktu. Petugas sudah mengeruk, tiba-tiba terjadi longsor lagi," ujarnya.
Sampai hari ke-5 pencarian tinggal dua korban yang belum ditemukan. Petugas sempat hampir putus asa mencari keberadaan jenazah bapak dan anak itu, Sail (48) dan Fatkurozi (17). Sejumlah pihak menduga, tubuh keduanya tertimpa batu. Saking besarnya batu, mesin eskavator yang ada pun kesulitan memindah posisi batu itu.
Bupati Jombang Nyono Suharli menegaskan pencarian akan dilakukan dengan rentang waktu tujuh hari. Jika memang masih ada yang tidak ditemukan, petugas tidak dapat melanjutkan pencarian. Bahkan, keluarga juga sudah mengaku ikhlas jika memang jenazah tidak ditemukan.
Beruntung, setelah pencarian dilakukan terus menerus, akhirnya dua korban terakhir bisa ditemukan. Jarak di antara mereka tidak terlalu jauh, hanya sekitar 1,5 meter. Tubuh keduanya dimandikan dan langsung dibawa ke rumah sakit untuk keperluan "visum et repertum".
Kepala Desa Ngrimbi Sucipto mengaku bersyukur dengan ditemukannya seluruh jenazah korban tanah longsor. Ia dengan warga lainnya juga menggelar doa bersama yang dilakukan di mushalla desa.
Ia juga mengatakan, sampai saat ini relawan ataupun TNI juga masih datang ke lokasi bencana untuk keperluan pemulihan lahan serta jalur.
"Kalau bukit sementara dibiarkan kosong. Tapi, sudah ada rencana akan tukar guling dengan Perhutani, dan nantinya ditanami pohon jati," ucapnya.
Ia mengaku sedih dengan musibah yang mengakibatkan 14 orang warganya meninggal dunia. Musibah itu merupakan pelajaran penting, dan ia berharap seluruh warganya terutama yang tinggal di daerah rawan longsor untuk mengungsi.
Di daerah itu, terdapat 20 kepala keluarga (KK) yang berada di daerah rawan bencana. Oleh Bupati pun, mereka akan direlokasi ke tempat yang lebih aman.
"Tapi, kalau siang warga masih sering pulang ke rumah dan malamnya baru mengungsi," ucapnya.
Tak Masuk Lokasi Daerah Bencana
Dusun Kopen Desa Ngrimbi, Kecamatan Bareng, Kabupaten Jombang tak masuk dalam daerah bencana. Justru, kecamatan sebelah, tepatnya Kecamatan Wonosalam yang masuk dalam daerah bencana.
Wonosalam merupakan salah satu daerah yang sering terjadi longsor. Hal itu ditegaskan oleh Bupati Jombang Nyono Suharli. Karena dinilai berpotensi bahaya, pemerintah bahkan memasang alat pendeteksi getaran gempa di daerah ini.
"Titik di sini tidak termasuk rawan bencana, bahkan yang kami khawatirkan di Wonosalam. Musibah ini di luar perkiraan," tutur Bupati Nyono Suharli.
Kepala Seksi Pencegahan dan Kesiapsiagaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Jombang Gunadi mengatakan alat pendeteksi getaran gempa "early warning system" dipasang sejak dua bulan lalu di Kecamatan Wonosalam. Alat itu terhubung langsung di BPBD Provinsi Jatim.
Saat kejadian, getaran gempa ternyata memang belum terpantau. Padahal, alat tersebut berfungsi. Dimungkinkan, karena batas radius, sehingga getaran gempa tidak tertangkap alat pendeteksi tersebut.
Di Kabupaten Jombang, terdapat sejumlah daerah yang rawan bencana. Data di BPBD setempat, terdapat 165 desa di 21 kecamatan daerah ini yang rawan bencana.
Kepala BPBD Jombang Nurhuda mengatakan sebelumnya terdapat 145 desa yang diidentifikasi sebagai daerah rawan bencana.
"Bencana yang dimaksud meliputi longsor, banjir, puting beliung selama musim hujan, serta kekeringan dan kebakaran pada saat musim kemarau," paparnya.
Ia mengatakan, kecamatan yang paling parah terjadi di Wonosalam dan Bareng, dan untuk kecamatan lain seperti Mojowarno, Mojoagung, Sumobito, dan Kesamben terancam banjir.
Banjir yang terjadi di daerah itu disebabkan air kiriman dari Sungai Kopen Ngrimbi dan kawasan Wonosalam yang turun melalui Sungai Gunting dan Banteng di wilayah Kecamatan Mojoagung. Air mengalir menuju hilir hingga Kecamatan Sumobito dan Kesamben.
Kawasan rawan bencana lainnya terdapat di empat kecamatan wilayah utara sungai, yakni Kecamatan Ploso, Kabuh, Ngusikan dan Plandaan.
Selain teridentifikasi rawan banjir, daerah ini juga rawan terjadi kekeringan. Salah satu pemicunya, daerah tersebut masuk di daerah aliran sungai (DAS), di antaranya sub DAS Sungai Gunting Wonosalam, Bareng, Sub DAS Sungai Marmoyo, Sub DAS Sungai Ngotok. Ring kanal dari Kesamben mengalir ke barat menuju sungai gunting dan DAS Brantas.
Pihaknya mengimbau warga yang berada di wilayah rentan terjadi bencana meningkatkan kewaspadaan. Terlebih lagi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Jawa Timur, memprediksi cuaca buruk masih akan terjadi sampai akhir Februari.
Masih Tergopoh
Wakil Ketua DPR Pramono Anung menyebut penanganan bencana di Indonesia masih tergopoh, terutama jika hal tersebut terjadi. Padahal, dana bencana yang disediakan oleh pemerintah mencukupi.
"Dana bencana cukup, tapi manajemen masih kurang. Dan, sering tergopoh ketika (bencana) terjadi," katanya saat berkunjung ke Kediri.
Ia mengatakan, bencana yang terjadi seharusnya bisa diprediksi sebelumnya. Hal itu belajar dari pengalaman penanganan bencana di sejumlah negara salah satunya Jepang. Mereka bisa memprediksi terjadinya bencana dengan bantuan alat "early warning system".
Walaupun tidak semua tepat, ia menyebut minimal ada data. Terlebih lagi Indonesia berada di cincin api atau "ring of fire" yang rentan terjadinya letusan gunung berapi ataupun bencana alam akibat tumpukan lempeng tektonik.
Pihaknya berharap, dalam penanganan bencana dilakukan dengan maksimal, dan petugas pun juga bisa berjaga secara maksimal.
Selain itu, sosialisasi juga seharusnya terus dilakukan kepada masyarakat, agar mereka pun juga mengerti kondisi bencana.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2014
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2014