Surabaya (Antara Jatim) - Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Partai Keadilan Sejahtera Jawa Timur Hamy Wahjunianto membeberkan sejumlah alasan partainya intensif mendekati Nahdlatul Ulama (NU), khususnya menjelang Pemilihan Umum Legislatif 2014. "Sebenarnya PKS sudah menyambung komunikasi dengan Nahdliyyin sejak lama. Karena memang aslinya tidak jauh dan banyak kader dari NU. Contohnya paling nyata yaitu Sekretaris Umum PKS Jatim, Gus Siroj," ujarnya di Surabaya, Kamis. Kendati demikian, mantan Direktur Yayasan Dana Sosial Al-Falah tersebut menyampaikan bahwa kedekatan dengan NU bukan dalam rangka Pemilu saja. Hanya saja, memang belakangan ini lebih intensif. Sejumlah alasannya, kata dia, antara lain sebagai bentuk permintaan maaf karena ternyata masih kurang rajin sowan atau silaturrahim. Kedua, PKS ingin meminta Taushiyah dari para alim ulama, khususnya kalangan Nahdliyyin. "Dari sisi usia organisasi, pengalaman membina masyarakat, bahkan pengalaman berpolitik yang lurus dengan para ulama adalah gudangnya ilmu," ucapnya. Di samping itu, PKS sangat memahami dan mengakui bahwa peran sejarah ulama dan pesantren sangat besar untuk membangun Indonesia. Bagi PKS, Nahdliyyin terbesar di Indonesia. Sehingga, mendengar aspirasi Nahdliyyin, kata Hamy, sama dengan mendengar suara rakyat Indonesia. Belum lama ini, PKS melakukan gerilya di beberapa pondok pesantren. Seperti yang dilakukan Presiden PKS, Anis Matta yang melakukan silaturrahim ke Pesantren Mambaush Sholihin di Suci, Manyar, Gresik. Anis Matta juga diundang sebagai pembicara dialog kebangsaan di Institut Keislaman Abdullah Faqih (INKAFA). Rombongan besar DPP PKS dan DPW PKS Jatim juga menyempatkan sowan ke Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri. Dalam kesempatan tersebut, Anis Matta yang tampil bersama Wakil Gubernur Jatim Saifullah Yusuf dan A’wan syuriah PWNU Jatim, KH Anwar Iskandar, mengatakan bahwa pesantren memiliki saham terbesar ketika perjuangan kemerdekaan. Sehingga membangun Indonesia ke depan tidak boleh mengabaikan peran pesantren. "Budaya di pesantren sangat egaliter dan demokratis. Juga ada budaya penderitaan yang disengaja atau tirakat. Ini bekal warga pesantren menjadi pemimpin Indonesia. Saya juga keluarga pesantren. Dan dulu sangat akrab dengan menu nasi kecap khas santri," katanya. (*)

Pewarta:

Editor : Chandra Hamdani Noer


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2013