"Secara fisik dan psikis, sebetulnya antara sanggup dan tidak sanggup," ucap Rara Suratman, seorang tenaga kerja Indonesia (TKI) di Korea Selatan.
Pria asal Bekasi ini menceritakan betapa beratnya harus bekerja sambil kuliah. Ia adalah satu dari ratusan TKI di Korea Selatan yang rela meluangkan waktu istirahatnya untuk menimba ilmu.
Pekerja di sebuah pabrik otomotif di Incheon ini menjelaskan bahwa jam kerja TKI di Korea Selatan dalam sehari rata-rata di atas delapan jam.
Jumlah itu kadang bertambah kalau mereka harus lembur. Beratnya pekerjaan tidak membuat para TKI itu menyurutkan semangat ketika ada kesempatan kuliah.
Mereka punya obsesi yang sama dengan anak-anak muda pada umumnya saat lulus SMA yang ingin menimba ilmu di perguruan tinggi. Karena keadaan ekonomi, mereka harus merelakan mimpi berpendidikan tinggi itu dan bekerja ke negeri orang adalah pilihan terbaik yang mereka ambil.
"Ketika ada kesempatan Universitas Terbuka membuka pendidikan di Korea, kami sangat senang. Walaupun memang berat untuk berbagi waktu, tenaga dan pikiran dengan pekerjaan," tutur Rara.
UT membuka kelas di Korea sejak 2011 dan Rara merupakan angkatan kedua. Karena harus bekerja, perkuliahan di UT Korea diselenggarakan pada setiap hari Minggu.
Saat ini, pengelola UT Korea menyewa tempat di salah satu gedung di kampus "Seoul National University of Education" di Seoul.
Dirinya kadangkala pulang dari tempat bekerja ke tempat tinggalnya hingga pukul 19.00 waktu setempat. Di tempat tinggalnya tidak bisa langsung istirahat karena masih harus belajar atau menyelesaikan pekerjaan rumah dari kampusnya.
Ia harus rela tidur hingga larut malam. Karena kurangnya waktu tidur, tidak jarang ketika kuliah mengantuk.
Bahkan dalam perjalanan dengan kereta bawah tanah atau subway sering tertidur. Stasiun yang dituju pun terlewatkan. Karenanya, ia harus kembali naik kereta ke stasiun tujuan.
"Pernah karena waktunya mepet dan saya tertidur di kereta, saya terpaksa naik taksi agar tidak terlambat tiba di kampus. Waktu itu ada ujian. Ya, itulah suka dukanya bekerja sambil kuliah. Yang penting fisik masih kuat, tidak masalah," paparnya.
Mahasiswa jurusan komunikasi ini mengaku banyak belajar dari semangat dan etos kerja orang Korea Selatan. Karenanya ia beharap semangat dan etos kerja keras tersebut juga menjadi bagian dari anak-anak muda di Indonesia.
"Mudah-mudahan apa yang kami lakukan ini tidak hanya untuk diri kami tapi juga menjadi contoh bagi orang lain, khususnya di dalam negeri. Hanya dengan bekerja keras kita akan sukses," kilahnya.
Pengakuan yang sama juga diungkapkan Dikka Hermansyah, mahasiswa angkatan pertama. Baginya memang tidak mudah membagi waktu antara bekerja dengan belajar.
Lelaki asal Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) itu mengaku kuat melakukan dua jenis kegiatan tersebut karena ingin "menebus" dendam masa lalu untuk kuliah.
"Saya dulu setamat SMA pernah ikut ujian masuk perguruan tinggi dan lulus. Cuma kesempatan itu tidak saya ambil karena tidak ada biaya. Saya sudah tidak punya orang tua. Kalau sekarang ada kesempatan, maka saya tidak menyia-nyiakan meskipun sangat berat membagi waktu," tukasnya.
Ia mengemukakan bahwa dirinya rela menggunakan waktunya istirahat di hari Minggu untuk menimba ilmu dengan harapan bisa untuk perbaikan hidup di masa depan.
Pekerja di bagian kontrol kualitas warna pabrik tekstil di Korea Selatan itu menyadari bahwa dirinya tidak mungkin selamanya bisa menjadi tenaga kerja di negara orang.
"Mudah-mudahan dengan bekal pendidikan S1 nanti, bisa saya pergunakan masa depan. Saya menilai bahwa ilmu komunikasi yang saya dapat di bangku kuliah banyak sekali manfaatnya untuk berhubungan dengan orang lain," urai pria yang juga menekuni dunia hiburan ini.
Ia mengakui bahwa setelah bekerja selama tujuh tahun di Negeri Ginseng banyak hal yang bisa dipelajari dari orang Korea. Sama dengan Rara, Dikka juga merasa banyak belajar dari semangat dan etos kerja orang Korea.
"Rasanya malu kalau di sini saya bersantai-santai. Maka saya ingin mengajak juga anak-anak muda di Indonesia untuk memanfaatkan waktu sebaik-baiknya, apalagi yang masih pelajar atau mahasiswa," timpalnya.
Permasalahan para pekerja yang kuliah bukan hanya membagi waktu. Agus Palali, pekerja asal Jawa Tengah, pada 3 November 2013 harus mengikuti ujian di rumah sakit di Dae Jung, Gwangju.
Mahasiswa semester empat jurusan manajemen ini, sebagaimana dilansir http://utkoreanews.wordpress.com mengalami kecelakaan sebelum ujian akhir semester. Tangannya tergencet mesin saat ia sedang bekerja.
Dalam kondisi sakit, ia harus mengerjakan ujian mulai pukul 09.00 hingga 16.00 sore waktu setempat. Pekerja yang mahasiswa itu dibantu pengawas Perdana Adhitama untuk mengerjakan soal.
Tidak mudah bagi Agus mengerjakan soal ujian karena persiapan yang minim untuk belajar setelah mengalami kecelakaan.
Sementara Rully Akbar dan Saruji yang mengambil jurusan Bahasa Inggris berharap agar ilmunya bisa menunjang pekerjan dan relasi selama di Korea.
Saruji yang bekerja satu tahun lebih di Korea mengaku mengalami kesulitan berkomunikasi dengan teman kerja dari negara lain karena kemampuan bahasa Inggrisnya.
Kini, ia mulai bisa berkomunikasi yang lebih baik dengan teman kerjanya tersebut. Rully yang baru bekerja lima bulan di Korea mengaku termotivasi untuk kuliah karena ingin bisa berkomunikasi yang lebih baik dengan teman-teman bekerjanya atau dengan warga negara asing lainnya di negeri orang.
Satu hal yang membuat mereka bangga adalah bisa kuliah tanpa membebani orang tuanya. Mereka juga merasa memiliki pengalaman yang lebih dari sekadar mahasiswa biasa karena harus berjuang menuntut ilmu dalam keterbatasan waktu. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2013
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2013