"Tadi malam apakah kamu belajar Bahasa Indonesia?". "Tidak". "Mengapa?". "Karena saya sakit". Itulah dialog lepas antara Jang Jeong Hun dengan Jang Yong Gi dalam ruang kuliah di kampus "Hankuk University of Foreign Studies" (HUFS) di Kota Seoul, suatu siang. Satu persatu peserta kursus singkat itu maju ke depan dan bertanya secara bergiliran kepada peserta lainnya. Topik dan kalimatnya harus berbeda antara yang satu dengan lainnya. Setiap pertanyaan selesai dijawab, pengampu mata kuliah Bahasa Indonesia itu Maman S Mahayana dengan gaya jenaka berkata, "Baguus". Kadang jempolnya menujuk ke atas, kadang ke bawah. Arah jempol ke atas dan bawah itu sebetulnya tidak sedang merepresentasikan baik dan buruk. Itu tak lebih dari sekadar pelengkap dari gaya kocak sang dosen di depan kelas. Terkadang Maman harus memotong dengan kalimat, "Urusan rumah tangga. Tidak perlu dijawab," ketika peserta kursus bertanya hal pribadi untuk ukuran budaya Indonesia. Atau, dia menyebut soju, untuk menunjuk kebiasaan masyarakat Korea Selatan yang suka minuman beralkohol. Sesekali Maman yang sudah hampir lima tahun mengajar di HUFS itu menimpali dengan, "Bohong," pada jawaban mahasiswanya. Kadang Maman melanjutkan, "Semalam Anda bersama dengan kekasih." Guru dan para muridnya itu kemudian tertawa berderai. Penuh keakraban. Selain menerima mahasiswa reguler, HUFS juga mengajar para profesional yang ingin mendalami Bahasa Indonesia. Dua lelaki bernama Jang dan tujuh lainnya lainnya adalah manajer perusahaan besar di Korea. Mereka belajar Bahasa Indonesia selama 20 minggu karena dipersiapkan untuk bertugas di Indonesia. Jang Yong Gi mengaku belajar Bahasa Indonesia tidak terlalu sulit karena antara tulisan dengan ucapan tidak berbeda. "Hanya menghafalnya saja yang tidak mudah," katanya. Etos kerja keras Sementara di ruang berbeda tujuh manajer lain masih kesulitan mengikuti dialog dalam fragmen film yang ditampilkan oleh Prof Koh Young Hun, guru besar Bahasa Indonesia di HUFS. Para manajer mengaku masih kesulitan menangkap karena dialog tentang ulang tahun itu terlalu cepat. Maman menjelaskan bahwa peserta kursus program pendek itu belajar tidak lebih dari dua bulan, namun sudah bisa menguasai kalimat-kalimat pendek. Hanya beberapa kata yang kadang salah dalam menempatkan. Hal ini barangkali karena struktur kalimat dalam Bahasa Indonesia dengan Korea yang berbeda. "Mereka tergolong cepat menguasai. Padahal pertemuan kuliahnya terbatas, yakni Jumat dan Sabtu setiap pekan. Selebihnya mereka belajar sendiri di tengah kesibukannya bekerja. Mereka kan memiliki etos kerja keras. Inilah yang harus kita tiru dari masyarakat Korea," ungkapnya. Sejak awal, Maman, saat mengajar, baik mahasiswa reguler maupun peserta kursus singkat, dirinya selalu menggunakan pengantar Bahasa Indonesia. Tentu saja, para mahasiswa itu bingung, meskipun hanya dengan sapaan, "selamat pagi" atau apa kabar?". Ia tidak menggunakan Bahasa Inggris atau Korea sebagai bahasa pengantar dengan tujuan agar mahasiswanya lebih berusaha keras untuk belajar. Hanya sesekali, ia menjelaskan dengan Bahasa Inggris kalau penjelasan dalam Bahasa Indonesia sulit dimengerti oleh para peserta didik. Untuk pengetahuan mengenai keindonesiaan, Maman memasukkan kekayaan budaya Indonesia dalam pelajaran itu. Misalnya, pelajaran pada siang itu. Para manajer berlatih membaca cerita tentang anjungan Sulawesi Selatan yang ada di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) di Jakarta. Mereka kemudian diberi soal berdasarkan ulasan anjungan tersebut. Koh menjelaskan bahwa HUFS selama ini banyak mendidik para profesional yang ingin belajar Bahasa Indonesia. Sejumlah perusahaan besar di Korea telah mengirimkan para manajernya untuk belajar di HUFS. "Bahkan untuk mahasiswa reguler Jurusan Bahasa Indonesia, ada perusahaan, seperti POSCO (perusahaan baja) yang menyediakan beasiswa. Walaupun demikian, setelah lulus, mereka tidak harus bekerja di perusahaan itu. Dukungan seperti itu ada pada jurusan kami," katanya. (*)

Pewarta:

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2013