Daun-daun telah berubah warna. Proses perubahan yang tidak serempak, menyajikan keindahan tiada tara. Mulai dari hijau, merah kecokelatan, kuning dan cokelat kering. Hanya temperatur yang sangat dingin hingga 10 derajat saja yang "mengganggu" keindahan pemanja mata itu. Inilah keseimbangan alam. Tidak ada yang indah sempurna atau buruk sempurna. Suatu siang, saya bersama teman, Wisnu, bertemu dua mahasiswa "Hankuk University of Foreign Studies" (HUFS) Korea, yakni Dan Bee Park dan Kang Ye Jun. Pertemuan di bangku taman di salah satu universitas besar itu menumbuhkan kebanggaan akan Indonedia. Pertemuan ini berkat kebaikan hati Bapak Maman S Mahayana, dosen tamu di perguruan tinggi itu. "Saya suka sambal terasi. Kadang-kadang makan nasi campur sambal saja sudah enak," ucap Dan Bee Park, perempuan yang langsung menolak tegas ketika secara bergurau disebut dirinya pernah melakukan operasi plastik. "Saya ingin tinggal di Indonesia bersama keluarga kalau sudah berumur 40 tahun," tutur Kang Ye Jun. Bukan sekadar itu, yang lebih membanggakan lagi adalah bahwa keduanya merupakan mahasiswa jurusan Bahasa Indonesia di HUFS. Mereka adalah mahasiswa semester terakhir yang kelak setelah lulus ingin bekerja di Indonesia. Menurut Prof Koh Young Hun, PhD, guru besar HUFS, jurusan Bahasa Indonesia/Malaysia di perguruan tinggi itu sudah berdiri sejak 49 tahun lalu. Tentu saja, pendirian jurusan itu berkaitan dengan betapa pentingnya suatu negara. Korea Selatan sejak dulu menganggap bahwa Indonesia adalah negara penting. "Tiga puluh tahun yang lalu, saya mendengar dari profesor saya di ruang kelas bahwa Indonesia merupakan negara yang berpotensi tinggi, karena sumber daya alam dan manusianya begitu kaya. Tiga puluh tahun sudah lewat, dan saya sudah menjadi profesor. Saya masih juga mengatakan kepada murid-murid saya bahwa Indonesia negara besar dan berpotensi tinggi dengan alasan yang sama". Demikian tulisan Prof Koh yang dimuat di www.Indonesian.co.kr. Kabar ini seolah menggugurkan kegundahan kita akan besarnya "Gelombang Korea" atau membanjirnya K-Pop yang melanda anak-anak muda di negeri ini. Kenyataan ini menunjukkan bahwa antara Indonesia dengan Korea Selatan sebetulnya dalam gelombang yang saling mempengaruhi. Meskipun kadarnya berbeda. Dan itulah sejatinya kehidupan. Tidak ada yang bisa steril dari pengaruh selama ada komunikasi. Pilihan terbaiknya adalah bagaimana belajar dari bangsa lain akan nilai-nilai kebaikan itu. Xena Levina Atmadja, mahasiswa Universitas Kristen Petra Surabaya yang menjadi pemenang lomba karya tulis internasional tentang Hallyu atau K-Pop mengatakan bahwa seharusnya kita tidak menjadi tukang "copy paste" dari negara lain, khususnya dalam kasus dengan demam Korea ini. Menurut dia, seharusnya kita bisa mengambil nilai-nilai baik, seperti kerja keras dan menggali kreativitas yang merupakan salah satu kunci keberhasilan Korea keluar dari keterpurukan. Inilah suara lain dari anak muda yang juga penggila K-Pop. Tidak sekadar meniru, tapi ada kegelisahan bagaimana bangsanya juga bisa maju. Seperti yang diungkapkan oleh Prof Koh, kalau Korea bisa, Indonesia pasti juga bisa. Indonesia memiliki nilai-nilai luhur sebagai modal dasar menjadi bangsa maju. Misalnya soal pendidikan dan etos bekerja yang disampaikan lewat pepatah, seperti "rajin pangkal pandai" dan "sedikit bicara banyak kerja". Musim gugur terus berjalan menuju salju. Kita berharap, secuil kebanggaan ini tidak berhenti di sini. Kalau orang Korea saja bangga pada Indonesia, apalagi kita. Garuda adalah garuda. Ia bukan burung emprit yang kecil, juga bukan bebek yang hanya bisa hidup di tanah. Sejatinya, ia adalah "penerbang" tinggi. Amin... (*)

Pewarta:

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2013