Surabaya (Antara Jatim) - Pengamat militer Dr Andi Widjajanto mengemukakan Indonesia merupakan salah satu dari tujuh negara yang diprediksi mampu menerapkan kemandirian pertahanan pada abad 21, selain Amerika Serikat, Rusia, China, India, Brazil, dan Eropa Barat (konsorsium). "Kemandirian pertahanan ini merupakan model ideal untuk membangun industri pertahanan nasional," katanya saat berbicara pada seminar nasional pengembangan teknologi pertahanan di Gedung Moeljadi, Kobangdikal, Surabaya, Senin. Namun, staf pengajar Fisip Universitas Indonesia ini mengatakan bahwa model kemandirian pertahanan hanya bisa dicapai oleh negara-negara yang memiliki status atau berambisi menjadi kekuatan utama dunia dengan ditopang postur militer yang besar. Menurut ia, dalam mengembangkan industri pertahanan domestik, Indonesia dapat memilih salah satu dari tiga model industri yang diterapkan negara-negara di kawasan Asia Timur, yakni pertama, kemandirian pertahanan yang diterapkan Jepang dan China. Kedua, model produksi ceruk yang diterapkan Taiwan dan Korea Selatan, dan ketiga, model rantai produksi global yang dilakukan Malaysia dan Singapura. Widjajanto menjelaskan kemandirian pertahanan diukur dari kapasitas negara untuk menguasai teknologi militer yang dibutuhkan dalam membuat senjata, kapasitas keuangan nasional untuk memproduksi senjata, dan kapasitas industri nasional untuk memproduksi sistem senjata di dalam negeri. "Kemandirian pertahanan ini akan tercapai jika suatu negara mampu untuk minimal memiliki 70 persen kapasitas teknologi, keuangan dan produksi sistem senjata," kata mantan anggota Kelompok Kerja (Pokja) Restrukturisasi Bisnis Militer Indonesia tahun 2005-2006 itu. Selain itu, lanjut Widjajanto, negara tersebut harus mengembangkan rencana strategis pertahanan jangka panjang yang terkait dengan ambisi untuk menjadi kekuatan militer utama di tingkat regional atau dunia. "Komitmen jangka panjang itu salah satunya dimiliki China yang memproyeksikan diri menjadi kekuatan hegemoni pada tahun 2050 dengan tiga target utama," ujarnya. Dari tiga model pengembangan industri pertahanan tersebut, Widjajanto menyebut kemandirian pertahanan merupakan model ideal yang bisa dilakukan oleh Indonesia, dengan menerapkan empat strategi, yakni merumuskan rencana jangka panjang dan membentuk komitmen politik anggaran jangka panjang untuk menjamin kesinambungan program pengembangan alutsista. "Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono periode kedua (2009-2014), Kementerian Pertahanan mengalokasikan anggaran Rp149,78 triliun untuk memenuhi kebutuhan alutsista TNI dan membangun kekuatan darat, laut serta udara secara berimbang sesuai pengembangan postur kekuatan pertahanan minimum 2024," ujarnya. Strategi lainnya adalah merintis aliansi industri pertahanan tingkat regional dan global yang memungkinkan Indonesia mengadopsi teknologi militer terkini, dan pembentukan "network centric posture". Widjajanto menambahkan pengesahan UU Nomor 16 tahun 2012 tentang Industri Pertahanan membuka peluang bagi Indonesia untuk mewujudkan kemandirian di bidang industri pertahanan. "Salah satu kunci pengembangan industri pertahanan pada tahap sekarang adalah peran dan tanggung jawab negara dalam perencanaan, perumusan, pelaksanaan, pengendalian, sinkronisasi, dan evaluasi industri. Artinya, peran dan komitmen besar dari negara menjadi syarat utamanya," tegasnya. Selain Widjajanto, seminar nasional diselenggarakan Sekolah Tinggi Teknologi Angkatan Laut (STTAL) itu, juga menghadirkan pembicara lain, yakni Prof Dr Salim Said (pengamat militer) dan Prof Dr Djoko Santoso (Dirjen Dikti Kemdikbud). "Pembangunan industri pertahanan bukan sekadar persoalan teknis dan dana, tetapi pada dasarnya adalah soal politik. Pilihan politik menentukan bagaimana tugas militer, dari mana datangnya ancaman dan bagaimana menghadapinya, serta senjata apa yang diperlukan untuk menghadapi ancaman tersebut," kata Salim Said. (*)

Pewarta:

Editor : Didik Kusbiantoro


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2013