Kemeriahan Lebaran Ketupat pada "H+6" pasca-Hari Raya Idul Fitri (15/8) di wilayah Kecamatan Durenan serta Kelurahan Kelutan, Kabupaten Trenggalek, selalu mengundang keasyikan tersendiri bagi siapa saja yang berkunjung di daerah tersebut. Suasana berbeda itu dirasakan oleh hampir setiap orang yang sengaja datang jauh-jauh dari berbagai pelosok desa, bahkan luar kota, hanya sekadar untuk menikmati meriahnya Lebaran Ketupat di kota kecil yang letaknya berada di antara Kabupaten Tulungagung, Ponorogo, serta Pacitan ini. Bagaimana tidak, siapa saja yang berkunjung dan beranjangsana di rumah-rumah penduduk di Kecamatan Durenan dan Kelurahan Kelutan, Kecamatan Trenggalek, selalu mendapat jamuan istimewa. Tidak hanya disuguhi jajanan/kue lebaran, para tamu yang datang juga diberi hidangan ketupat sayur plus opor ayam secara cuma-cuma. Suguhan ketupat sayur opor atau lodho ayam ini tentu wajib dimakan, tidak boleh menolak seberapapun kenyang perut para tamunya. Memang tidak ada aturan main baku yang mengharuskan hal itu, tetapi dalam tradisi Jawa, melahap makanan yang dihidangkan merupakan salah satu bentuk penghormatan pada tuan rumah bersangkutan, meskipun hanya sedikit. Begitulah, dari tahun ke tahun Lebaran Ketupat di Trenggalek ini semakin semarak dan diminati oleh banyak orang karena digelar selalu serentak dan masal oleh ratusan bahkan ribuan warga di sejumlah desa di Kecamatan Durenan serta Kelurahan Kelutan, Trenggalek. Begitu antusiasnya menggelar Lebaran Ketupat, beberapa warga yang memiliki ekonomi lebih bahkan rela memasang tenda dan kursi di depan rumah untuk tempat para tamu menikmati hidangan ketupat sayur. Nuansa Lebaran Ketupat terasa semakin asyik karena ritual yang digelar sehari, mulai pagi sekitar pukul 07.00 WIB hingga selesai sekitar pukul 14.00 WIB tersebut selalu diikuti oleh puluhan ribu warga dan wisatwan dari berbagai daerah dan pelosok desa. Mereka yang datang ke daerah ini, sebagian besar merupakan orang-orang yang memiliki sanak kerabat di wilayah Kecamatan Durenan atau daerah Kelurahan Kelutan, tempat digelarnya pesta Lebaran Ketupat. Namun, seiring berkembangnya tradisi yang dikenal dengan istilah "kupatan" ini, pengunjung tidak hanya datang dari kalangan kerabat dekat atau famili, tetapi juga khlayak umum. Seperti terlihat dalam semarak Lebaran Ketupat di wilayah Durenan dan Kelutan, Kamis (15/8). Sejak pagi sekitar pukuk 07.30 WIB, lalu-lintas di jalan raya Tulungagung-Trenggalek yang melintasi wilayah Durenan sudah terlihat padat merayap. Puncak kepadatan lalu-lintas terasa setelah di atas pukul 09.00 WIB. Tidak hanya di jalan-jalan protokol, hiruk pikuk pengunjung juga terasa hingga perkampungan-perkampungan di wilayah dalam. Para tamu dari kalangan kerabat/famili yang berbaur dengan pengunjung umum serta wisatawan seolah saling berlomba mendatangi setiap rumah untuk sekedar mencicipi hidangan makanan ketupat sayur gratis hingga sepuas mereka. "Monggo mas pinarak (silakan mampir mas)," sapa sorang wanita muda bernama Sumarni kepada setiap warga yang melintas di depan rumahnya di Kelurahan Kelutan, Kecamatan Trenggalek. Pagi itu, ibu muda itu tampak sibuk menawarkan sajian ketupat lengkap dengan aneka macam sayur-mayur. Sementara itu ibu-ibu yang lain juga sibuk melayani para pengunjung. Tidak seperti hari-hari biasa, makanan sejenis lontong yang terbungkus anyaman daun kepala muda ini disajikan secara cuma-cuma alias gratis kepada setiap warga yang sudi mampir di rumahnya. "Ini adalah tradisi Lebaran Ketupat atau biasa disebut kupatan, khusus di daerah Kelutan ini memang belum lama ada tradisi kupatan dengan cara seperti ini, kira-kira masih sekitar lima tahunan," ungkap salah satu warga Kelutan, Nurul. Sedikit berbeda dengan tradisi serupa yang dilakukan di Kecamatan Durenan, di kelurahan yang masuk kecamatan Trenggalek ini, hidangan ketupat disiapkan di depan rumah masing-masing, sehingga para pengunjung dapat dengan leluasa menikmatinya. Kata dia, untuk menghabiskan ratusan ketupat sayur tersebut tidak membutuhkan waktu yang lama, maksimal tiga jam setelah hidangan disajikan langsung ludes diserbu pengunjung. "Tapi tertib tidak berebut, ini tadi belum jam 11 sudah habis," ujarnya dengan raut muka sumringah. Hiburan Kesenian Perayaan lebaran ketupat yang rutin digelar setiap H+7 Hari Raya Idul Fitri ini juga semakin meriah dengan pawai keliling kampung yang menampilkan berbagai macam hiburan, mulai dari Reog Ponorogo, barongsai, liang-liong, kesenian "tiban", drum band, hadrah hingga hiburan panggung dangdut. Di Kota Trenggalek, ribuan warga dari berbagai penjuru daerah dan pelosok desa tumpah ruah di jalan protokol Soakarno-Hatta ini, untuk sekedar menyaksikan hiburan maupun sambil bersilaturrahmi dengan sanak saudara yang ada di sekitar lokasi pertunjukan. Tak pelak kondisi ini menyebabkan arus lalu-lintas menjadi tersendat dan macet hingga lebih dari dua kilometer. "Adanya hiburan ini memang berbeda dengan yang kupatan di Durenan, bukan apa-apa, kami hanya ingin adanya hiburan ini bisa semakin meramaikan acara Lebaran Ketupat," tutur Camat Trenggalek, Edy Sepriyanto. Edy menjelaskan, inisiator untuk meramaikan Lebaran Ketupat dengan aneka hiburan tersebut adalah para tokoh pemuda yang ada di kelutan serta didukung sepenuhnya oleh pemerintah desa hingga kabupaten. Terbukti, setiap tahun Bupati Trenggalek beserta pejabat di bawahnya selalu menyempatkan diri untuk menghadiri kupatan di Kelurahan Kelutan. Sementara itu, di Kecamatan Durenan juga tidak kalah meriah, pagi hari usai menlakukan kenduri bersama di mushola dan masjid sekitar, sebagian pemuda secara beramai-ramai menaikkan puluhan balon udara. Naiknya balon udara tersebut sekaligus menandai dimulainya "open house" di masing-masing rumah warga. Bedanya dengan di Kelurahan Kelutan, Lebaran Ketupat di Kecamatan Durenan tidak ada yang diwarnai hiburan kesenian untuk sekedar menarik minat pengunjung. Paling banter, warga hanya memasang peralatan sound system di depan rumah untuk pengeras suara saat menawarkan hidangan ketupat sayur mereka atau untuk memutar musik guna menambah semarak suasana layaknya sebuah hajatan. Kekhasan inilah yang kemudian menjadi magnet bagi masyarakat untuk menyambangi Kecamatan paling timur di Kabupaten Trenggalek. Mekipun demikian tradisi ini tetap lestari sejak ratusan tahun yang lalu, bakan jumlah masyarakat yang ikut meramaikan lebaran ketupat semakin meluas. "Dulu itu awalnya hanya satu rumah, yakni di rumah kakek saya Mbah Kyai Abdul Maysir atau biasa di panggil Mbah Mesir. Kemudian warga yang ada di sekitar mengikuti," tutur tokoh agama setempat KH Abdul Fattah Muin. Diceritakan, tradisi Lebaran Ketupat ini sebetulnya sudah lazim dilakukan oleh masyarakat Muslim di Pulau Jawa, hanya saja di Durenan memiliki keunikan tersendiri. Sejarah Lebaran Ketupat Konon, awal mulanya Mbah mesir selalu rutin menjalankan ibadah puasa sunah syawal atau yang akrab dikenal dengan "nyawal". Selama menjalankan puasa sunah enam hari setelah lebaran pertama tersebut, tokoh agama ini tidak menggelar "open house" layaknya masyarakat lainnya. "Baru selah enam hari menjalankan puasa sunah, Mbah Mesir menerima tamu untuk berlebaran atau silaturrahmi," terang KH Fattah Muin. Lambat laun masyarakat sekitar yang mengetahui kebiasaan sang kiai kemudian ikut serta melakukan hal yang sama dan baru menggelar perayaan Idul Fitri pada saat Lebaran Ketupat. Cucu Mbah Mesir ini mengaku bersyukur tradisi turun temurun ini masih tetap terjaga dan lestari, ia juga mengapresiasi adanya Lebaran Ketupat yang dilakukan di beberapa daerah. Namun, pemimpin salah satu pondok pesantren ini mengaku tidak sepakat apabila Lebaran Ketupat dikemas dengan berbagai hiburan dan keramaian lain. "Kalau di daerah lain 'monggo' tapi untuk Durenan lebih baik dibiarkan apa adanya, karena orang yang mau kesini ini tujuannya hanya satu yakni bersilaturrahmi. Tanpa hiburanpun tetap ramai," imbuhnya. Dikutip dari situs resmi ormas NU di www.nu.or.id, diterangkan bahwa kediaman KH Abdul Fattah Muin di Desa Durenan, Kecamatan Durenan termasuk lokasi yang jadi jujugan para pengunjung. Maklum, di pondok Pesantren Babul Ulum inilah cikal bakal tradisi Lebaran Ketupat Durenan dikembangkan. Tradisi kupatan ini biasanya digelar pada hari ketujuh bulan Syawal. Dalam riwayatnya, semula, Kupatan Durenan hanya dilakukan ahlul bait Bani Masir atau Mbah Mesir. Namun, belakangan, tradisi ini sudah merambah ke desa-desa lain, seperti di Desa Ngadisuko, Kendalrejo, Semarum, Pakis dan Pandean di Kecamatan Durenan. Dijelaskan, Mbah Mesir adalah panggilan akrab KH Abdul Masyir, seorang kiai terkenal di Durenan. Almarhum yang wafat pada tahun 1861 merupakan putra Kiai Yahudo, Slorok, Pacitan, yang masih keturunan Mangkubuwono III, salah seorang guru Pangeran Diponegoro. Sebagai kiai terkenal, KH Abdul Masyir punya hubungan erat dengan kenjeng Bupati Trenggalek saat itu. Kerena keakrabannya ini, setiap usai shalat id, Mbah Mesir selalu diundang Bupati ke pendopo. Tetapi Mbah Mesir biasanya menjalankan puasa Syawal selama enam hari berturut-turut, dan setelah itu pulang ke rumahnya di Durenan. "Saat itulah, biasanya para santri dan warga sekitar berdatangan untuk silaturrahmi lebaran kepada Mbah Mesir," papar KH Abdul Fattah Muin. Sepeninggal Mbah Mesir, tradisi kupatan diteruskan anak cucunya. Hingga sekarang, tradisi kupatan masih terus berlangsung dan bertambah ramai. KH Abdul Masyir atau Mbah Mesir pada zamannya merupakan salah satu pejuang yang ikut mengusir penjajah. Ia berhasil mempersatukan rakyat Durenan yang saat itu sempat terjadi permusuhan antara satu sama lain. "Mbah Mesir mampu merangkul semua warga agar menghentikan permusuhan," terang Sanusi, juru kunci makam KH Abdul Masyir. Mbah Mesir yang semasa hidupnya mendirikan pondok pesantren di Desa Durenan yang bernama Al Hikam dan menyiarkan ajaran Islam di wilayah Mataraman, pernah menjadi jujugan sejumlah pendiri pondok pesantren besar di Jatim, seperti Lirboyo, Jampes, Ploso.(*)

Pewarta:

Editor : Chandra Hamdani Noer


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2013