Surabaya (Antara Jatim) - Mantan Panglima Tentara Nasional Indonesia Jenderal (Pur) Endriartono Sutarto menilai bahan bakar minyak (BBM) sebenarnya tidak perlu naik bila pemerintah serius dalam melanjutkan konvensi gas secara berkesinambungan.
"Biaya konvensi BBM ke gas itu tidak mahal dibandingkan dengan subsidi BBM. Memang, konvensi gas itu terasa mahal di awal, tapi dalam jangka panjang akan sangat murah," katanya dalam sarasehan di Universitas dr Soetomo (Unitomo) Surabaya, Senin.
Dalam sarasehan nasional bertajuk "Bincang Kebangsaan dan Kerakyatan Bersama Endriartono Sutarto" yang digelar Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) Unitomo Surabaya, ia menduga konvensi BBM ke gas itu tidak berlanjut karena ada pihak yang merasa kepentingan pribadinya dirugikan.
"Kalau ada konvensi gas mungkin ada segelintir orang yang dirugikan dengan tidak bisa mengekspor BBM, tapi mestinya ya cari rezeki dengan cara lain, jangan mencari rezeki dengan tega mengorbankan rakyat," kata salah seorang anggota Majelis Wali Amanah (MWA) UI itu.
Jenderal kelahiran Purworejo, Jawa Tengah, 29 April 1947 itu mengingatkan pemerintah sebaiknya jangan mengekspor BBM, batu bara, atau bahan mentah energi, karena Indonesia bisa mengalami krisis seperti halnya BBM, sehingga Indonesia justru akan berbalik menjadi importir.
"Kita harus belajar dari pengalaman buruk pada BBM, karena pemerintah justru akan mengalami kesulitan seperti sekarang dengan menanggung subsidi BBM yang tidak terkendali. Usahakan mengekspor hasil industri, bukan bahan mentah," katanya.
Alumni AKABRI tahun 1971 yang pernah menjadi Kasad, Wakil Kasad, dan Komandan Sesko TNI itu menegaskan bahwa pemimpin yang tidak berkebangsaan dan berkerakyatan dengan mementingkan bangsa dan rakyat di atas segalanya akan membuat rakyat menjadi kehilangan.
"Kalau rakyat merasa kehilangan pemimpinnya, maka rakyat akan merasakan negara tidak hadir ketika mereka menghadapi masalah, sehingga rakyat akan mencari cara sendiri untuk menyelesaikan masalahnya. Kalau caranya demokratis ya enak, tapi bisa juga anarkis," katanya.
Mantan Asisten Operasi Kepala Staf Umum (Asops Kasum) TNI di Mabes TNI dan Komandan Paspampres di era Presiden Soeharto itu menilai pertumbuhan ekonomi 6,3 persen sekarang juga belum menguntungkan rakyat.
"Itu karena pertumbuhan ekonomi masih berkisar pada masalah jasa, transportasi, finansial, bahan mentah, dan sebagainya yang tidak menumbuhkan lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Jadi, pertumbuhan ekonomi yang baik itu tidak merata dan masyarakat miskin tetap miskin," katanya.
Ke depan, katanya, pemerintah perlu menggenjot pertumbuhan ekonomi yang memihak kepada mayoritas masyarakat, seperti sektor industri dan pertanian. "Industri itu menyerap banyak pekerja, sedangkan pertanian juga begitu dan juga penting untuk negara agraris seperti Indonesia, lalu untuk Indonesia timur perlu dibangun pelabuhan, bukan jembatan," katanya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2013
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2013